CakNun.com

Penderitaan dalam Keyakinan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit

Seorang Jamaah Maiyah mengemukakan: “Saya nitèni, selalu sehabis kita mengupacarakan Wirid Wabal di Maiyahan, lantas kita terhantam sendiri oleh keramatnya. Kita lantas mengalami masalah, dibentur problem, dihantam kejadian atau peristiwa yang berat. Bisa dalam urusan pribadi keluarga, bebrayan atau masyarakat dan politik nasional — di mana justru para pemohon Wabal yang terkena masalah”.

Berkali-kali pengalaman yang sama membuat Jamaah Maiyah yang lain menyatakan tidak berani lagi wiridan Wabal, karena ngeri kena bumerang sehingga malah ambyar sendiri. Sementara “musuh” mereka baik-baik saja, tetap melenggang bahkan seperti menjadi lebih kuat.

Hamba-hamba yang setia bertaqwa kepada Allah, seakan-akan justru berjalan di jalanan yang sangat licin di tepi jurang neraka. Sementara orang-orang yang dhalim dan fasiq, seakan-akan dilindungi Allah, lancar-lancar saja semua urusan dan pelaksanaan nafsunya.

Nabi Ya’kub wanti-wanti kepada anak-anaknya ketika akan berangkat mencari Yusuf dan Benjamin: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.

Manusia berjuang menempuh jalan, berjuang menyusuri kehidupan yang terjal, untuk mencari kemashlahatan — dan kalau sedikit saja ia berputus asa atau merasa putus harapan, ia langsung bisa tergelincir ke dalam kekufuran. Sementara mereka yang justru sudah kafir, fasiq dan dhalim, berjalan melenggang, menjadi tokoh bangsa, menikmati kekuasaan sampai istri dan anak-anaknya, dengan aman-aman saja.

Sebenarnya tidak benar-benar aman. Allah Swt berfirman: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.

Kanjeng Nabi Muhammad Saw bahkan menegaskan: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad)

Menurut Allah dan Rasulullah, golongan yang berkuasa dan kaya, dhalim dan fasiq, memang sengaja dibukakan pintu-pintu kesenangan, tetapi kemudian disiksa sekonyong-konyong. Orang-orang yang bertaqwa bertanya: “Kapan tiba waktunya yang disebut sekonyong-konyong itu? Kapan para penguasa dhalim itu akan mendadak terdiam dan berputus asa? Berapa hari lagi? Berapa bulan lagi? Berapa tahun lagi? Berapa abad lagi?” O, nanti di akhirat akan pasti balasan Allah akan menimpa.

Ratusan juta manusia dari lahir hingga mati tidak pernah mengalami “sekonyong-konyong” itu. Rasanya sejak puluhan abad yang lalu selalu demikian keadaannya: yang berkuasa merajalela tanpa hukuman yang nyata dari Allah dalam skala besar, sementara yang beristiqamah taqwa dan bersabar hidup dalam ketidakberdayaan dan terancam putus asa dari abad ke abad. Sampai bangsa Indian musnah, sampai bangsa Inka Maya habis tak tertinggal satu pun. Sampai bangsa Indonesia yang aslinya penuh fadhilah dan ketangguhan menjadi lemah selemah-lemahnya dan bodoh sebodoh-bodohnya karena komplikasi dan kecanggihan penjajahan berabad-abad lamanya. Dan kalau sedikit saja muncul rasa putus asa, mereka terancam dituduh Allah sebagai orang kafir, dan justru kompatibiltasnya adalah dengan adzab Allah. Dan untuk mendapatkan kelegaan dari balasan Allah kepada para penguasa yang dhalim akhlaq-nya, yang musyrik pandangan pikirannya, yang palsu hubungan vertikalnya — semua manusia yang hancur selama hidup di dunia harus menunggu Maliki Yaumid-Din di akhirat kelak.

Tetapi ketika masih di dunia pun Allah membuktikan bahwa kaum Nabi Nuh yang durhaka benar-benar dihajar dengan banjir bandang. Nuh berkata: “Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri”.

Tapi itu kasus Nabi Nuh, bukan kita. Seberapa modal taqwa tawakkal kita jika dibandingkan dengan Nabi Nuh, untuk mendapatkan pemenuhan dari Allah? Seberapa kesengsaraan dan penderitaan kita untuk memenuhi syarat agar Allah berkenan mendatangkan adzab-Nya? Kita semua bukan Nabi, hidup kita tak semenderita Nabi Nuh. Andaikan pun istri-istri kita kafir seperti istri Nabi Nuh, tidak menghargai susah payah perjuangan kita dan bahkan mengejek dan meremehkan kita — apakah kualitas derita kita itu cukup memadai di pandangan Allah untuk supaya Ia mengabulkan doa kita?

Kalau kita mempertanyakan itu, orang akan menuduh bahwa kita berputus asa. Kalau kita bertauhid, bertaqwa, bertawakkal, kita diuji dengan ditabrak oleh tantangan-tantangan besar yang sering serasa tak tertanggulangi oleh kelemahan dan keterbatasan kita. Kalau satu digit saja iman dan taqwa tawakkal kita berkurang atau menurun, Allah menghajar kita dengan penderitaan yang berat dengan tema ujian atau cobaan.

Itulah posisi Jamaah Maiyah sekarang ini. Itulah posisi saya sendiri. Jamaah Maiyah dan saya pribadi mengalami penderitaan yang luar biasa justru tatkala kita beristiqamah dan bertahan menegakkan keyakinan kita kepada Allah Swt. Setiap kali kita menyatakan “In lam yakun biKa ‘alayya ghadlabun fala ubali”, asal Engkau tidak marah kepadaku maka aku tidak peduli pada apapun saja ketentuan-Mu atas hidupku. Lantas Allah menguji kita dengan memberikan ujian dan penderitaan, seakan-akan sambil berkata: “Coba rasakan ini kalau memang kalian tidak peduli”. Supaya penderitaan itu bisa kita sangga, kita berpendapat bahwa itu bukan adzab melainkan ujian. Dan kita bingung: kenapa mereka yang kafir, dhalim dan fasiq tidak diuji, tidak dikasih cobaan berupa kesulitan dan penderitaan seperti orang beriman? Bahkan seperti penuh berkah hidupnya dan terus menerus dilindungi Allah?

Kita wiridan Wabal, setiap kali kita ndridhil mewiridkan “Ainama takunuu ya`ti bikumullahu jami’an innallaha ‘ala kulli syai-in qadiir”, “wamakaru wa makarallah wallahu Khairul makirin”, “wama romaita idza romaita walakinnallaha rama”, “waqul ja`al haqqu wazahaqal bathil, innal bathila kana zahuqa” dan ratusan wirid lagi, termasuk “Tahlukah” yang tidak kita karang sendiri melainkan mengikuti yang Allah Swt sendiri ajarkan melalui Kitab dan Nabinya — Jamaah Maiyah mengalami bahwa mereka dan kita sendiri yang terkena “mandi” dan keramatnya wiridan itu. Sampai-sampai ada Jamaah Maiyah yang takut wiridan.

Sejak puluhan tahun silam saya rutin ditimpa fitnah dan derita sosial, tetapi semua pelakunya saya maafkan 100% dan menata masa depan dengan mencabuti semua ranjau dendam dan kebencian. Ketika Pemimpin Negara ini berkonsultasi kepada saya, saya memenuhinya dengan total dan ikhlas, dan memafhumkan beliau: “Sampeyan tahu semua kalimat saya itu lahir dari cinta murni sebagai hamba Allah dan kasih sayang nasionalisme kepada seluruh rakyat Indonesia. Kalimat-kalimat saran saya itu tidak akan lahir kalau tidak terlabih dahulu saya sudah membersihkan diri dari amarah, mangkel, berang, dendam, benci dan muak”.

Ketika sejumlah kelompok mewawancarai saya tentang tokoh-tokoh yang dulu puluhan tahun lamanya menyiksa saya, memfitnah saya, bahkan membunuh saya–mereka tidak mendengar satu huruf jawaban pun dari saya yang mengandung amarah dan dendam. Prinsip “mikul dhuwur mendhem jero” saya wujudkan 100% untuk masa depan kehidupan manusia.

Akan tetapi kelegowoan saya itu ternyata juga belum mencukupi di pandangan Allah Swt sebagai bukti dan wujud keikhlasan saya kepada segala yang manyakiti saya dan kepasrahan total saya kepada Allah Swt. Keramat Wabal itu malah balik menancap ke jantung kehidupan saya. Ditanazzaulkan oleh Allah kepada saya penderitaan yang luar biasa, tombak dan pedang ketidakadilan yang Allah membiarkannya menancap ke jantung hati saya. Allah membiarkan fitnah-fitnah besar kepada saya menyebar di internet global, sementara kita harus terus yakin secara batin, hati dan pikiran bahwa Allah sedemikian adilnya. “Faman ya’mal mitsqala dzarrotin khairan yaroh, wa man ya’mal mitsqala dharratin syarran yaroh” tanpa kita punya ilmu, pengetahuan dan kemampuan untuk membuktikannya.

Allah mengurung saya di sel penjara cinta-Nya yang sangat misterius dan amat sukar dipahami. Dan andaikan saya ditakdirkan oleh hidup berabad-abad lamanya, dan tidak kunjung tiba momentum “sekonyong-konyong” balasan Allah itu, tetap saja posisi Jamaah Maiyah dan saya hanya satu pilihan: mendengarkan Bapak Ya’kub: “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.

Itu pun di tengah jalan kita dihadang kebingungan lagi. Kita bershalawat: “Ya nafsu la taqnathi min zallatin adzumat. Innal kabaira fil ghufrani kallamami”. Wahai Jiwa, janganlah engkau putus asa karena dosa yang besar. Sesungguhnya dosa-dosa besar itu bila diampuni, bagaikan garam yang melebur dalam air.

Allah berfirman: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

O, jadi Allah mengampuni semua dosa para penguasa, golongan yang berbuat dhalim dan melampaui batas. Asalkan mereka tidak berputus asa dari rahmat-Nya, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Pantas lancar-lancar saja kedhaliman dunia dan Indonesia. Bagaimana dengan hamba-hamba Allah yang tidak berkuasa, yang perbuatannya tidak melampaui batas, tidak menindas, tidak berbohong, tidak menipu? Tentu saja tidak sah secara apapun bahwa Allah tidak memberi rahmat, rezeki dan perlindungan kepada orang-orang yang beriman dan kita semua. Tetapi dalam hal merajalelanya kedhaliman di dunia, dalam hal kita ditimpa oleh ketidakadilan — yang berlangsung dan kita alami rasa-rasanya membuat kita menduga bahwa kita ini tidak pantas berdoa untuk keadilan, tidak layak memohon kemashlahatan luas sebagaimana yang Allah sendiri mengajarkan.

Perjuangan penuh penderitaan kita selama hidup di dunia adalah menunggu dipenuhinya janji Allah:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ

Menunggu mungkin bukan beberapa hari, bukan beberapa bulan atau tahun, bahkan bukan beberapa abad. Kemungkinan besar harus kita siapkan penantian hingga kelak di kehidupan Akhirat.

Yogya Hari Mocopat Syafaat November 2020.

Lainnya

Menderita Karena Maiyah

Menderita Karena Maiyah

Sejak beberapa bulan silam, terutama sesudah tanggal 20-an Oktober kemarin saya sudah, sedang dan terus menuliskan sangat banyak tetes-tetes Balada Baladi.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Amar Maiyah

Amar Maiyah

Tidak hanya polarisasi Pilpres dan konfrontasi Pilpres. Soal apa saja dalam bermasyarakat, bernegara, berkebudayaan dan berperadaban—dalam Maiyahan di Purworejo beberapa hari yll disimpulkan bahwa dikotomi pertentangan utama dalam kehidupan manusia adalah antara pihak yang Dhalim dengan yang Madhlum.

Redaksi
Redaksi

Topik