Online, in Between Lines, Beyond the Line
Di salah satu Kebon beberapa nomor sebelum ini saya bercerita tentang stigma “berwajah Islam” di kalangan seniman Yogya selama lebih 30 tahun yang mengakibatkan sejumlah hal menimpa saya.
Di salah satu Kebon beberapa nomor sebelum ini saya bercerita tentang stigma “berwajah Islam” di kalangan seniman Yogya selama lebih 30 tahun yang mengakibatkan sejumlah hal menimpa saya.
Saya tidak berkeberatan dan tidak kecil hati melihat Indonesia dengan pemerintahnya, kaum intelektualnya, lembaga-lembaga penyangganya, para stakeholders-nya, semakin ke sini, semakin ke era-era mutakhir, semakin bergerak ke ujung waktu, semakin meremehkan Islam.
Berlangsung suatu dekade di mana kaum Muslimin dan Indonesia dihujani oleh ekspresi budaya “Takfiry”.
Dalam hidup ini yang kita ketahui paling pasti adalah mati.
Karena yang diuar-uarkan di banyak media kebanyakan adalah Emha karangan masyarakat, buzzer, netizen dan para penganut Agama Purbasangka, bukan Ainun Nadjib yang diciptakan dan diperjalankan oleh Allah dan yang ia sendiri mengkhalifahi dirinya.
Sebenarnya Cak Nur relatif lebih dipahami dan diterima di dan oleh Indonesia dibanding saya.
Akhirnya generasi-generasi baru yang lahir merupakan “Garuda-garuda yang berubah mengkerdil menjadi Emprit”.
Memang Cak Nur adalah contoh dari salah satu korban kelalaian kita semua sebagai bangsa dan sebagai ummat.
Bersama Kiai Tohar saya membawa kawan dari Solo murid seorang Mujtahid Syifa (Pengobatan) ke rumah Cak Nur alias Dr.
Ada manusia yang tersungkur hidupnya oleh kehancuran dan keterpurukan. Karena salah pilih siapa yang ditauhidinya dan apa yang diprimerkan selama hidupnya.
Saya sangat senang pada penggunaan kata “tersungkur” oleh Allah swt di dalam AlQur`an.
Sejak ketika usia 4 tahun saya mulai disuruh qiro`ah di depan umum, diajari oleh Ibu saya paket “Wa biHi nasta’inu ‘ala umurid dunya wad din”.
Setiap menulis, aspirasi utama yang saya wajibkan atas diri saya adalah semangat bersyukur.
Salah satu surat yang kita semua hafal sejak balita adalah “Al-Falaq”.
Setelah menjalani hidup sejak 1953 dan menjalani usia “Abu Sittin” (usia 60-an) saya menulis Kebon sampai seri ke 226, menjadi orang tua sok tahu, berlagak mengerti banyak hal, seolah-olah paling matang dan bijaksana, sedemikian rupa sampai beberapa bulan terakhir ini saya dihinggapi rasa bosan kepada diri saya sendiri, tiba-tiba saya mendapat kejutan.
Lewat tengah malam Maiyahan di Padangan Jawa Timur, di mana teman-teman KiaiKanjeng tidak tega melihat saya berjam-jam berdiri dengan kaki dan tubuh gemetar, dengan ekspresi suara yang lemah, akhirnya tidak bertahan, saya ambruk pingsan.
Kalau manusia-manusia tertentu, apalagi ternyata adalah bagian dari Jamaah Maiyah sendiri, melakukan pendhaliman kepadaku, merusak integritas dan bebrayanku, menyakiti, merusak dan mengacaukan silaturahmi sosial dan semestawiku, niatilah satu pekerjaan ringan.
Apapun jenis pengalamanmu selama menjalani hidup, pasti engkau sangat banyak belajar tentang kemuliaan tapi juga kehinaan.
Sejak Patangpuluhan dulu para penghuninya tiap hari harus siap hati legowo dan sikap bijaksana untuk menerima tamu-tamu yang bermacam-macam.
Suatu siang saya mendapat surat panggilan untuk datang ke kantor polisi.
Sepeninggal Marja’ Maiyah KH Ahmad Muzzammil saya dan semua Jamaah Maiyah sungguh-sungguh “kelangan enggok” dalam hal-hal yang berkaitan dengan narasi Islam terutama yang dari Kitab-Kitab Kuning.
Pagi tadi pukul 06.15, 42 tahun silam, Sabrang Mowo Damar Panuluh, lahir di Klinik Angkatan Udara seberang Kraton Pakualaman Yogya.
Semua nama-nama yang saya sebut terkait Pakde adalah manusia-manusia mulia dan kreatif.
Di banyak Kebon yang lalu tidak sedikit saya kisahkan hal-hal yang menyangkut almarhum Pakde Nuri (Muhammad Zainuri).