Bahtera Maiyah
Satu
Selama beberapa bulan, proses ijtihad atas nash Tawashshulan Maiyah mengalami dinamika dan perkembangan sampai sekian tahap. Mengalami dinamika, perkembangan, penambahan, pengurangan, pentepatan dan berbagai sisi pertimbangan.
Itu semua semata-mata disebabkan oleh kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan saya bersama teman-teman Progress di Kadipiro.
Sempat mengalami husnudhdhon bahwa Allah sendiri menciptakan jagat raya ini “fi sittati ayyamin”. Menciptakan alam semesta secara bertahap sampai hitungan enam. Kita berkonsultasi kepada Cak Fuad Marja’ Maiyah, sampai akhirnya bersamaan dengan pengantar ini beliau juga menuliskan “bayan” untuk “ndunungke” Tawashshulan kita bersama.
Tulisan saya ini juga mengantarkan salah satu tahap, yang terbukti tidak mampu saya perkirakan atau batasi sampai kapan proses pemuaian tadabbur Tawashshulan ini.
Itu juga berarti nash Tawashshulan maupun pelaksanaannya bukanlah sesuatu yang qath’i (mutlak, pasti dan baku) sebagaimana ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah Swt. Itu sesuai dengan hakikat kita semua sebagai makhluk: dhonny, relatif, dinamis, naik turun, timbul tenggalam, siang malam kemudian pagi lagi.
Maka demikianlah juga Maiyah tidak memaknai teks “Allahu Akbar” sebagai Allah Maha Besar. Sebab ke-maha-an tidak mungkin dijangkau oleh manusia. Ke-maha-an Allah tidak mungkin bisa bulat-bulat menjadi kognisi pemahaman manusia yang sangat terbatas. Maka “Allahu Akbar” kita terjemahkan menjadi Allah Yang senantiasa Maha Lebih Besar secara terus-menerus. Bukannya Allah berubah dan berkembang. Allah itu sendiri mutlak “wujud qidam baqa”. Tetapi daya jangkau manusia terhadap kemaha-besaran-Nya tidak pernah berhenti berkembang, memuai, meluas, mengagung tanpa batas.
Maka ijtihad dan proses tadabbur atas Tawashshulan adalah salah satu dimensi Tawashshulan itu sendiri. Adalah upaya terus-menerus untuk mentauhidkan diri kepada Allah. Adalah ikhtiar tanpa henti untuk mencakrawalakan presisi ketepatan sikap dan penempatan diri kita semua kepada Allah Swt.
Dua
Berdasarkan proses pemuaian itu, teks Tawashshulan pada tahap terakhir yang bersama-sama kita baca pada 6 Juli 2022, telah mencapai struktur yang lebih tertata dengan telah diberikan nama pada setiap bagian di mana totalnya ada 12 bagian dalam teks Tawashshulan tersebut.
Ke-12 bagian itu adalah Qabliah, Iftitah, Salam Limalaikatillah, Katur Dhumateng Kanjeng Nabi, Ayatul Mafatih, Baiat Tauhid, Shalawatun Nur, Rojunas Syafaah, Shalawat Taslim, Maqamat Hajat, ’Indal Qiyam, dan Doa Ikhtitam.
Dari 12 bagian itu, yang merupakan bagian baku dalam teks Tawashshulan adalah Salam Limalaikatillah, Katur Dhumateng Kanjeng Nabi, dan Shalawatun Nur.
Salam Limalaikatillah, berisi lima sub-bagian dengan bacaan tawashshul (tetapi dengan redaksi yang berbeda dari umumnya) yang menyebut nama-nama Malaikat yang dibacakan oleh Mukhtar (yang memimpin) lalu diikuti para Jamahir (jamaah) uluk salam mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh kepada para malaikat tersebut.
Para jamaah Maiyah sudah mendapatkan pemahamannya dari pembelajarannya tentang aktivasi malaikat, dan karena itu di bawah judul bagian Salam Limalaikatillah pada edisi 6 Juli 2022 itu, saya memberikan keterangan: “Allah memperbantukan para Malaikat mengawasi hidup per-manusia, juga menugasi mereka melakukan dan menjaga banyak hal dalam kehidupan secara keseluruhan. Maiyah melaksanakan akhlaqul karimah dengan membiasakan diri menyampaikan salam kepada para Malaikat. ”
Kemudian bagian baku Katur Dhumateng Kanjeng Nabi pada sub-bagian pertamanya kita membaca surat Al-Fatihah untuk Kanjeng Nabi Muhammad sebagai Nabi, Rasul, dan Pemberi Syafaat. Sub-bagian berikutnya kita membaca surat Al-Fatihah untuk para Nabi, Rasul, Wali, dan Ulama. Dan sub-bagian terakhir kita membaca Al-Fatihah untuk kedua orang kita, orang-orang yang punya hak atas kita, serta untuk semua kaum muslimin dan muslimat.
Dan dengan maksud untuk presisi itu pula, saya memberikan keterangan di bawah judul bagian Katur Dhumateng Kanjeng Nabi: “Tiga Alfatihah dihaturkan kepada Allah untuk:…. ”
Redaksi kalimat Tawashshul pada dua bagian di atas berbeda dari umumnya karena kita merasa perlu lebih akurat bahwa sekalipun yang diberi salam adalah Malaikat dan yang diaturi surat Al-Fatihah adalah Kanjeng Nabi Muhammad beserta para Nabi dan Rasul serta para Wali Allah dst sesungguhnya subjek yang kepadanya kita memohon adalah Allah Swt, maka redaksinya mendahulukan Allah melalui Ilallahir Rahmanir Rahim wal Fattahi wal Khalim baru kemudian likhadroti...
Bagian baku selanjutnya adalah Shalawatun Nur. Mengapa Shalawatun Nur? Para jamaah Maiyah sudah belajar tentang Nur Muhammad, dan saya telah memberikan keterangan di bawah judul bagian ini: “Hamparan dan putaran makhluk ciptaan, aliran dan getaran jagad raya dan isinya, ruang dan waktu, segala partikel dan ragam unsur, dimulai dari ciptaan Nur Muhammad dan dipuncaki oleh wujud sempurna Kanjeng Nabi Muhammad bin Abdullah Saw. Maka senantiasa teguhkan pembaiatan diri dan rasa syukur atas kesucian Allah yang menginisiatifi itu semua.”
Di luar 3 bagian yang baku, terdapat bagian-bagian yang tidak baku dalam arti anak-cucuku Jamaah Maiyah yang sedang melaksanakan Tawashshulan bisa memilih beberapa bacaan saja di dalamnya, tidak harus semuanya. Karena itu, di bagian tidak baku ini sudah disiapkan item bacaannya cukup banyak (dari a, b, c, d, dst) sebagai pilihan. Walaupun dibaca semua juga tentu lebih afdhal. Tujuan memberikan pilihan tidak sekedar supaya lebih meringankan, tetapi agar bacaan ayat Al-Qur’an, Shalawat, atau wirid bisa disesuaikan dengan konteks yang dialami masing-masing Jamaah Maiyah atau lingkaran mereka.
Salah satu bagian tidak baku itu adalah Maqamat Hajat yang di dalamnya telah tertera 14 item berisi bacaan doa dari Al-Qur’an, bacaan doa dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw, dan bacaan wirid lainnya. Fokus Maqamat Hajat ini adalah adanya konteks dan kebutuhan dari para pendzikir, di mana apapun konteks dan kebutuhannya, goal-nya adalah perkenan Allah. Kita melantunkan dzikir dan doa sebagai ikhtiar.
Tiga
Pada tahap mutakhir ijtihad Tawashshulan kita terdorong untuk mengamsalkan Maiyah sebagai semacam Bahtera Nuh di tengah banjir global kegila-duniaan, kaserakahan, kekufuran dan kemunafikan dll. Kita dikepung oleh atmosfer, fakta, mekanisme dan formula-formula kebohongan manusia terhadap hakiki nilai kehidupan yang diciptakan oleh Allah swt. Kepungan itu dalam banyak hal membuat kita tidak berdaya dan karena itu kita membutuhkan pertolongan dari-Nya. Banjir kegila-duniaan, kekufuran dan kemunafikan yang menimpa seluruh penduduk dunia dan bangsa Indonesia di abad milenial ini bukanlah kehendak Allah, melainkan produk dari merajalelanya hubbun-dunya, nafsu ammarah dan lawwamah para penghuni modernisasi dan pelaku Globalisasi. Salah satu efeknya adalah takdir Allah atas keindahan dan kesejahteraan Indonesia malah melahirkan inferioritas, keterpurukan, kerendahan dan kehinaan.
Kalau Allah menuturkan doa Nabi Nuh “Robbinshurni bima kadzdzabun” — maka Maiyah bisa memperluas dan memperlembut mata pandangnya atas fakta “kadzdzabun” yang tak terbatas wilayahnya, konteksnya, bidangnya, kasusnya dlsb. Ada kadzdzab politik, kadzdzab media, kadzdzab medsos, kadzdzab ilmu pengetahuan, kadzdzab konstelasi, kadzdzab berupa salah paham, gagal paham, kufur paham, tak mau paham, hingga munafiq paham dan kufur paham. Nasi bisa dikadzdzabi atau dikufuri atau diingkari sebagai bukan nasi. Demikian juga Indonesia dan dunia bisa mengkadzdzabi Maiyah dalam berbagai level dan kadar. Indonesia dan dunia bisa mengkufuri Maiyah sebagian atau keseluruhan, relatif atau mutlak.
Maka kita mohon pertolongan kepada Allah agar air bah Nuh itu di-tanazzul-kan oleh Allah Swt entah dalam wujud apa dan bagaimana, dan kita sudah sejak awal diperintahkan untuk membangun Perahu Maiyah. Menuju Indonesia 2024 dan waktu-waktu berikutnya, kita berdebar-debar menghayati husnudhdhon kita kepada Mannan Halim Rahman Rahim Allah Swt kepada tangis tawashshulan kita semua.
Mulai Tawashshulan Mocopat Syafaat 17 Agustus 2022, berikut Simpul-simpul dan lingkaran-lingkaran Jamaah Maiyah semuanya — membaca doa-doa Nabi Nuh yang kita ambil dari Al-Qur’an. Doa-doa Nabi Nuh itu kita tambahkan dalam daftar bacaan Maqamat Hajat dalam teks Tawashshulan dan pada saat Tawashshulan Mocopat Syafaat nanti kita pilih untuk kita baca bersama. Demikian juga lingkaran-lingkaran Jamaah Maiyah yang hari-hari ini dan ke depan sedang melaksanakan pembacaan Tawashshulan membaca doa-doa Nabi Nuh tersebut. Sebut saja ini sebagai Tawashshulan Nuhiyah.
Masing-masing Jamaah Maiyah dapat menentukan sendiri akan membaca misalnya sebanyak 100 x. Supaya lebih mudah dan ringan, 100 kali tersebut bisa dibaca setiap habis shalat lima waktu sebanyak 20 x, sehingga sehari tercapai 100 x. Kalau mau afdhal, tidak membatasi diri hanya pada hitungan 100. Atau teknis lainnya yang lebih mudah atau lebih sesuai dengan setiap jamaah. Pada kesempatan kapan saja yang tidak dilarang untuk itu.
Kapal Nuh dizinkan oleh Allah Swt mendarat di bulan Muharram. Hari-hari ini sampai berakhirnya bulan Muharram, seluruh Jamaah Maiyah serentak mentawashshulkan kepada Allah Swt dan mewiridkan “Robbinshurni bima kadzdzabun” dengan kadar masing-masing: bakda shalat, ketika duduk, berdiri, berbaring, berkendaraan, kapan saja mewiridkan itu sebanyak-banyaknya, sgar semoga Allah Swt berkenan menempatkan Maiyah di tempat yang berkah di tengah peta zaman yang penuh banjir kekufuran dan kemunafikan. Semoga “Robbi anzilni munzalan mubarokan wa Anta khoirul Munzilin” mendapat perkenan qabul dari Allh Swt untuk Maiyah, semua dan setiap jamaahnya, dalam wujud yang kita pasrahkan penuh kepada-Nya.
Bahkan tidak berhenti setelah bulan Muharram. Setelah selesai Mocopat Syafaat, secara khusus Jamaah Maiyah akan menentukan PR-nya masing-masing yang diambil dari teks terakhir Tawashshulan, untuk dilaksanakan di rumah atau di kesempatannya masing-masing.
Kita Jamaah Maiyah tidak mampu mencapai kualitas seperti Nabi Nuh AS, apalagi Rasulullah Muhammad Saw. Maka kita merasa tidak pantas dan bukan levelnya untuk berdoa sebagaimana Nabi Nuh:
وَقَالَ نُوحٞ رَّبِّ لَا تَذَرۡ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ دَيَّارًا
“Wahai Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.”
(Surah Nuh: 26)
Akan tetapi Jamaah Maiyah sangat beriman, sangat mempercayai, menikmati dan ber-husnudhdhon kepada Mannan Karim Rahman Rahim-nya Allah Swt. Jamaah Maiyah yang setia berkumpul, sinau bareng, menyanyikan iman kepada Allah dan mendendangkan cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, setiap bulan bertahun-tahun lamanya, tidak akan pernah putus asa terhadap kemurahan pertolongan Allah serta ketegasan-Nya atas kekufuran.
Yogyakarta, 12 Muharram 1444 H / 10 Agustus 2022