Berlindung Kepada-Mu Dari-Mu
Wabah sedunia yang sedang berlangsung ini membuat badan terutama wajah dan hidungku selalu bertabur harum alam dunia dan wewangian surga. Aku sangat menikmati itu dan mensyukurinya. Anugerah virus ini memperkuat iman taqwa dan tawakkalku, mencerahkan akal dan kewaspadaanku, serta meneguhkan ketergantunganku kepada-Nya.
Yang aku sangat tersiksa sampai hatiku sering merasa tak tahan dan jiwaku serasa tak sanggup menanggungnya lagi, adalah riuh rendah suara manusia di dunia. Jangankan dunia maya dengan medos-nya, medjum-nya, medteng-nya, medren-nya dll yang subhanallah wastaghfitullah waa’udzubillah busuknya, bergelimang ghibah dan fitnah, kebodohan dan kelaliman, kekejaman dan kehinaan. Sedangkan nonton teve yang menayangkan olahraga kesukaanku pun semakin lama semakin tidak tahan oleh pilihan kata, komposisi kalimat, mindset bahasa dan spektrum berpikirnya para komentator.
Apalagi berita-berita politik, kekuasaan, dunia intelektual, budaya keagamaan, Negara, Pemerintah, bangsa, rakyat, cendekiawan, masyarakat, aktivisme, users, followers yang merupakan hamparan duri dan pecahan kaca-kaca yang sangat melukai perasaan, akal, dan kesehatan jiwaku. Sesungguhnya, andaikan tak kuterima sepercik dari tujuh triliun samudera ilmu Allah, maka untuk melakukan peledakan-peledakan, ekstremisme dan radikalisme, untuk menghancurkan, melengserkan, menjatuhkan, meneggelamkan matahari kemudian menerbitkan matahari berikutnya yang baru – hanyalah satu langkah kecil dari salah satu sudut di lubuk jiwaku. Sekurang-kurangnya kiri kananku menjadi tahu bahwa aku bisa ngebom dengan kadar yang melebihi milik mereka semua. Bahwa aku lebih liar dan nekad dibanding semua sejarah keliaran dan kenekadan. Tinggal satu langkah kecil. Satu langkah kecil.
Tetapi tidak ada debu yang bertabur, angin yang menyapu, segala peristiwa alam dan manusia sekecil apapun apalagi yang besar dan dahsyat – yang bisa terjadi kecuali Allah Swt memang sengaja membikinnya, memerintahkannya, mengizinkannya atau membiarkannya. Bahkan meskipun aku didapuk menjadi manusia, ahsanu taqwim yang diberi hak untuk mengkhalifahi kehidupan – sejak masa kanak-kanakku tak satu pergerakan kecil apapun pada kaki dan tanganku yang bersumber dari iradahku sendiri, apalagi lawwamah dan ammarah. Tak satu langkah kecil pun yang aku pernah memerdekan diriku dari “innama amruHu idza arada syai`an an yaqula lahu kun fayakun”. Sebab aku bukanlah aku, aku hanya cipratan debu dari-Nya. Aku tidak ada, sebab sangat nyata narasi “la ilaha illallah”.
Jadi setiap hari dan malamku akhir-akhir ini ku isi dengan rintihan “Ya Allah a’dzubllahi minallah. A’udzu biKa minKa. Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, dari segala yang Kau perintahkan, Kau izinkan atau Kau istidraj-kan untuk terjadi dan aku tertindih kaku olehnya.
Namun, sebagaimana Mbah Abi Nuwas, “lastu lil-firdausi ahlan”, tak pantas aku memperoleh surga-Mu, tak ada kelayakan dan modal padaku untuk meminta, menawar, menuntut, atau mengharapkan sesuatu kepada-Mu yang diriku sanggup menanggungnya.
“Dzunubi mitslu a’dadir-rimali”. Dosaku menghampar seperti pasir di padang sabana. Tetapi tak ada jalan selain “’abdukal ‘ashi ataKa, muqirran bid-dzunubi waqad da’aKa”. Kalau Engkau mengabaikan rintihanku dan mengusirku dari cakrawala ijabah dan qabul-Mu: “faman narju siwaKa”. Kepada siapa lagi harapan di lubuk jiwaku ini aku rintihkan.
Ya Allah, demi ketulusan hidup Ibu dan Ayahku, demi kedlaifan hidup semua anak cucuku Jamaah Maiyah, aku merintih: Tanazzulkan “idza waqa’atil waqi’ah, laisa liwaq’atiha kadzibah”.