CakNun.com

Sembilan Fragmen Manusia dan Sejarah yang Menertawakan

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by fikry anshor on Unsplash

Marcus Cicero, pada suatu pagi di tahun 43 Sebelum Masehi, mungkin tidak pernah membayangkan secuil dari kata-katanya akan menari-nari dalam kehidupan kita seribu tahun kemudian. Tapi begitulah ironi sejarah: masa lalu menjadi bayangan masa kini, dan bayangan itu begitu hidup, hingga kadang kita tersadar, “Ah, ini memang cermin diri kita.”

Orang miskin. Cicero menulis: kerja, kerja, kerja. Kerja yang tak pernah cukup, kerja yang selalu ditelan oleh perut-perut lapar sistem. Mereka berdiri pagi-pagi, menadah keringat, tapi keringat itu bukan milik mereka. Mereka membangun dunia, tapi dunia itu bukan rumah mereka. Humor halusnya? Mereka tertawa, karena kalau menangis, tak ada yang menahan tangisnya.

Orang kaya. Eksploitasi, kata Cicero, adalah permainan mereka. Dengan senyum yang manis, mereka menabur janji dan panen keringat orang miskin. Mereka menari di atas tubuh yang lelah, seolah dunia ini panggung sandiwara abadi — dan para miskin adalah penonton yang dibayar murah: dengan harapan. Satirnya, mereka mengaku dermawan, tapi amal mereka adalah tipuan yang diselimuti sutra.

Tentara. Cicero menulis mereka menjaga kedua kelompok itu — miskin dan kaya. Senjata mereka bukan hanya pedang, tapi ketakutan yang rapih dibungkus kehormatan. Mereka berdiri di batas-batas kota, menjaga kepemilikan, bukan keadilan. Dan lucunya, jika miskin menuntut hak, tentara menjadi ‘pelindung’ yang menampar dengan bahasa ketertiban.

Wajib pajak. Mereka membayar ketiga kelompok di atas. Pajak, Cicero sebut sebagai ritual pengorbanan modern: keringat miskin, panen kaya, dan keteguhan tentara — semua dihitung dan dikumpulkan, lalu dibawa ke kas negara yang misterius, entah untuk apa. Humor halusnya? Mereka tersenyum di depan jendela, sambil menahan bisik: “Bukankah ini lucu?”

Bankir. Ia merampok, kata Cicero, tapi dengan pakaian jas dan jargon finansial. Mereka menari di angka-angka, memintal utang dan bunga, sedemikian rupa sehingga korban mereka sendiri tak sadar sedang dijebak. Satirnya: kita menunggu bunga pinjaman, mereka menunggu kita lupa nama kita sendiri di kuitansi.

Pengacara. Menyesatkan. Cicero tahu, hukum bukanlah kebenaran, tapi labirin kata. Mereka berbicara dengan logika, tapi setiap logika adalah pintu menuju kebingungan. Dan ironinya, kita yang miskin, kaya, tentara, atau wajib pajak, sering keluar dari ruang sidang dengan kepala pening — bukan dengan keadilan.

Dokter. Menagih. Bahkan nyawa pun bisa dihitung dengan angka. Cicero tersenyum pahit, karena kesehatan menjadi komoditas, dan kadang, kita merasa lebih miskin saat sehat — karena harus membayar. Humornya: kita bertanya “Apa obatnya?” dan jawabannya adalah tagihan.

Preman. Mereka menakut-nakuti. Kata Cicero, ketakutan adalah alat pengendali paling mumpuni. Mereka mengintai dari gang sempit, tapi bayangannya membayangi semua orang, dari jalan raya hingga koridor kekuasaan. Kita takut, tapi kadang tertawa karena takut itu absurd.

Politisi. Hidup bahagia dari semua kekacauan itu. Cicero menulisnya dengan nada satir lembut: mereka menuai dari kesengsaraan, menganyam karier dari ketakutan dan keringat. Dan kita, penonton sejarah, terkadang berbisik lirih: “Apakah dunia memang dibuat agar mereka bahagia, dan kita belajar menerima?”

Maka Cicero menulis, dan dunia meneguk tulisan itu seribu tahun kemudian, sambil tertawa getir. Sejarah bukan guru yang adil; sejarah adalah cermin yang memantulkan wajah kita sendiri — kadang lucu, kadang menyakitkan, selalu penuh makna.

Dan di ujung semua ini, kita hanya bisa menatap cermin yang Cicero letakkan di hadapan kita. Orang miskin bekerja, orang kaya mengeksploitasi, tentara menjaga, pajak menagih, bankir merampok, pengacara menyesatkan, dokter menagih, preman menakut-nakuti, dan politisi tertawa bahagia.

Tetapi di balik tawa, di balik ketakutan dan kerja keras, masih tersisa ruang kecil bagi kita — ruang untuk bertanya, untuk sadar, untuk menolak terjebak menjadi bagian dari siklus itu. Sejarah memang menulis dirinya sendiri, tapi manusia tetap bisa menulis ulang langkahnya.

Maka, biarlah kata Cicero menjadi peringatan, bukan takdir. Biarlah kita belajar dari fragmen-fragmen itu, sambil menata kehidupan dengan kepekaan, kemanusiaan, dan — jika mungkin — sedikit humor untuk menahan getirnya dunia. Karena hanya dengan itu, kita bisa tersenyum di tengah kekacauan, dan tetap manusiawi di antara ironi sejarah.

Di tengah kerja keras, eksploitasi, dan ketakutan, tersisa satu pertanyaan: apakah kita hanya akan menjadi bagian dari siklus itu, ataukah berani menulis jalan lain?

Sejarah bisa menertawakan kita, politik bisa menjerat kita, dan kekuasaan bisa menipu kita. Tapi hati yang peka, kesadaran yang hidup, dan sedikit humor — itu yang membuat manusia tetap manusiawi.

Biarlah Cicero menjadi cermin, bukan takdir. Dan biarlah kita tersenyum di tengah kekacauan, sambil tetap menata dunia dengan kemanusiaan.[]

Nitiprayan. 23 Agustus 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Ketika Negara Menjadi Pemangsa

Ketika Negara Menjadi Pemangsa

Di sebuah sore yang tak terlalu terang, Siti menatap sawah yang mulai mengering di pinggiran Grobogan.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik