Kumpulan Musik Mbok-mbok Penjual Gudeg
Di Maiyahan sering muncul narasi kesadaran, bahwa bangsa dan masyarakat kita banyak berlaku terbalik-balik dalam hal memilah antara kepatuhan dan kebebasan. Di wilayah-wilayah di mana mereka tak punya pilihan, misalnya hakikat personal diri, kelaziman sosial, rasionalitas sikap kepada Tuhan Maha Pencipta, ibadah mahdlah dlsb banyak orang membangkang dan anarkis atau anarketik. Sementara di wilayah di mana mereka merdeka untuk menentukan diri sendiri, misalnya pilihan bentuk negara, cara memilih pemimpin, kebijakan hidup dengan ketepatan menempatkan perekonomian dlsb — mereka malah membebek dunia Barat, Cina, dan Arab.
Kita lahir, kemudian menjadi bagian dari suatu himpunan keadaan, keluarga, masyarakat, dan negara, lantas ketika masuk usia aqil baligh kita berhak memilih apakah akan bersekolah di Pesantren atau SD hingga Universitas. Kemudian memilih mau jadi pedagang atau Ulama atau pejabat. Termasuk memilih pejabat yang ternyata berdagang, atau menjadi ulama yang pekerjaannya berkuasa, atau menjadi pedagang yang di genggamannya ada kekuasaan atas agama dan negara.
Hidup manusia adalah anak kecil memilih mainan hingga orang dewasa memilih sistem bernegara. Tapi Indonesia tidak memilih, ia patuh kepada penjajah dan calon para penjajahnya, dari Belanda hingga Amerika Serikat, RRC, PBB, kapitalisme liberal, ide kagetan tentang pluralisme dengan merasa seolah-olah Bhinneka Tunggal Ika adalah hasil kreativitasnya, tanpa mengingat bahwa konsep dasar Tuhan menciptakan makhluknya adalah keberagaman, syu’uban wa qabail, anwa’ wa asykal, mukhtalifu alwanuh, min kulli dabbatin wa kulli zaujin, lil musyaarakati baina itsnaini fa aktsara, ya Bhinneka Tunggal Ika itu.
Berpuluh-puluh abad dikuasai raja dalam Kerajaan, ya patuh. Kemudian merdeka pun dengan patuh kepada bangsa Barat yang menurut mereka lebih tinggi derajatnya dan lebih pandai, dengan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cara berpikirnya ya patuh. Bentuk negara dan kemasyarakatannya juga patuh. Cita-cita masa depannya pun patuh. Bahkan juga keseniannya, teater dan sastranya, musik dan lagunya beserta ukuran-ukuran yang dipakainya.
Tentu saja komunitas kaum muda Dipowinatan yang melahirkan Musik-Puisi dan Teater Dinasti jangan dibayangkan merupakan kumpulan manusia yang sepenuhnya patuh taat kepada segala sesuatu yang harus dipatuhi, serta sangat kreatif di wilayah-wilayah kemerdekaan hidup. Tidak juga. Mereka hanyalah penduduk dan masyarakat biasa sebagaimana lainnya. Hanya saja dalam hal-hal tertentu mereka memang berbeda.
Mereka mungkin lebih alamiah, berbudaya lugu dan polos. Tidak bisa menolak sunnatullah atau hukum alam. Tidak bisa memberontak dari kelaziman sosial dalam bebrayan kampung Jawa Yogya seperti pada umumnya. Tetapi mereka bukan golongan masyarakat yang terseret oleh perkembangan zaman, oleh modernisme, oleh habitat hidup modern, yang mainstream dan pop. Karena nasib dan perjumpaan-perjumpaan sosial budaya dalam interaksi proses hidup, mereka menjadi agak berbeda. Mereka tidak bikin grup band pop modern, tapi terlibat dalam kreativitas musik-puisi yang memang tidak lazim di zamannya. Mereka bikin teater seperti banyak kelompok muda lainnya, tetapi mereka tidak mengekor modernitas orientasi berteater, melainkan berangkat dari sejarah bangsanya sendiri.
Mereka pasti juga kaum Muttabii’in, para pengikut. Ada sesuatu yang mereka anut atau ikuti dalam hidup mereka. Terutama dalam hal berkebudayaan dan berperadaban. Atau juga dalam urusan keagamaan, terutama di wilayah bagaimana cara beribadat kepada Tuhan. Tetapi untuk wilayah-wilayah yang mereka dimerdekakan oleh Tuhan, mereka bukan pengikut siapapun kecuali sebisa-bisa mungkin menginisiatifi sendiri secara mandiri. Misalnya dalam hal berteater dan bermusik — meskipun banyak dimensi-dimensi yang dikandung oleh kesenian itu mereka tetap patuh untuk memenuhi nilai-nilainya.
Kita merdeka untuk makan nasi atau jagung, pakai sayur asam atau brongkos. Itu merdeka. Ikatannya untuk patuh terletak pada keharusan untuk sehat dan tidak merusak diri sendiri maupun orang lain yang makan bersama mereka. Dalam hal menjalankan kebersamaan hidup, kita berhak menggunakan konsep Negara Republik, Kerajaan, Kesultanan atau komunitas saja. Yang wajib dipatuhi adalah keharusan untuk membangun kemashlahatan bersama, dalam bentuk apapun.
Dalam metamorfosisnya akhirnya lahir KiaiKanjeng yang produksi musikalnya benar-benar tidak ada lainnya di seluruh dunia. Pola proses hidup sampai tahap husnul khatimahnya juga tidak melalui dunia pengajian agama sebagaimana lainnya. Tidak ada pementasan musik di era modern di belahan bumi manapun yang para pemainnya berpose seperti Mbok-mbok penjual gudeg, yakni bersila, bersusun-susun di panggung. Tentu tidak jenak kalau memukul drum dengan cara duduk bersila, tetapi juga tidak nyaman kalau memukul gendang sambil duduk di kursi atau berdiri seperti band-band.
Ketika melaksanakan rekaman sebuah album di Misty Studio Yogya, Nia Kurniawati salah-salah terus dalam bersuara. Juga tidak mantap dan tidak maksimal. Mbak Novia Kolopaking coba omong-omong dengan Nia ketika istirahat, dan ditemukan bahwa Nia tidak biasa mengaji atau melantunkan shalawat dengan posisi berdiri menghadap mikrofon. Di desanya, kalau dzibaan, pasti semua bersila. Maka ketika take lagi masuk studio, Nia dipersilakan duduk bersila atau simpuh, bukan berdiri. Fresh suaranya, joss energinya, kung hasilnya.