Ketika Setan Berhenti Jadi Kambing Hitam

Mungkin kita perlu berhenti sejenak dari kebiasaan lama: membagi dunia menjadi dua barisan rapi—Malaikat di satu sisi, Setan di sisi lain. Seperti papan catur kosmik, hitam dan putih, tak saling menyentuh. Padahal hidup tak pernah sesederhana itu. Sejarah pun tak pernah demikian.
Dalam kisah-kisah tua—dari kitab suci hingga mitologi—Malaikat dan Setan sering hadir sebagai oposisi. Tapi oposisi itu sesungguhnya rapuh. Ia lebih mirip dua wajah dari satu mata uang yang sama: tak bisa dipisahkan tanpa kehilangan nilainya. Setan, dalam banyak kisah, bukan sekadar pembangkang. Ia justru petugas ujian. Ia diberi peran, bukan kebebasan penuh. Ia jatuh bukan untuk menghancurkan jagat, melainkan untuk menguji daya tahan manusia yang gemar mengaku suci.
Di titik inilah kita kerap keliru membaca dunia. Kita menunjuk orang lain—yang berbeda kelas, berbeda asal, berbeda sikap—sebagai “manusia setan”. Kita lupa bahwa sejarah penuh dengan contoh betapa label semacam itu sering dipakai penguasa untuk mencuci tangan. Dari masa inkuisisi hingga propaganda politik modern, “setan” selalu dibutuhkan agar yang berkuasa tampak seperti malaikat. Kambing hitam, bagaimanapun, adalah hewan yang paling setia dalam drama kemanusiaan.
Padahal, jika kita mau jujur, percikan ilahi itu tak pernah benar-benar padam, bahkan di dada mereka yang paling kita benci. Ia mungkin redup, tersembunyi di balik kerak dendam dan ketakutan, tapi tetap ada. Seperti api kecil di dasar abu, ia menunggu disentuh kesadaran. Dengan kesadaran itulah kita diajak memandang semua orang setara: bukan sebagai makhluk dari planet moral yang berbeda, melainkan sebagai sesama anak dari satu Sumber Kehidupan yang sama—tersesat, tersandung, kadang jatuh terlalu jauh.
Orang-orang yang melukai kita, yang menipu, yang berkhianat, sering kita anggap kesalahan sistem, cacat karakter, atau sekadar nasib buruk. Tapi boleh jadi mereka adalah guru yang datang tanpa jubah kebijaksanaan. Mereka mengajar dengan cara paling tidak sopan: memancing amarah, menyalakan dendam, memeras luka lama. Mereka menguji seberapa dalam batin kita benar-benar berakar, bukan seberapa lantang kita bicara tentang moral.
Masalahnya bukan pada pertemuan itu sendiri. Pertemuan mungkin sudah ditulis oleh masa lalu—oleh karma, oleh sejarah personal yang tak kita ingat sepenuhnya. Masalahnya selalu ada pada respons. Saat luka dibalas luka, saat pengkhianatan dibalas pengkhianatan, kita seperti sejarawan yang malas: menyalin ulang bab lama tanpa pernah menulis catatan kaki baru. Di situlah rantai karma diperpanjang, pola diulang, kelelahan diwariskan.
Maka kebebasan tak lahir dari kemenangan atas “yang jahat”, melainkan dari keberanian untuk tidak bereaksi secara otomatis. Mencintai segalanya dengan porsi yang sama terdengar naif, bahkan provokatif, di dunia yang gemar menghitung siapa lebih pantas dibenci. Namun justru di situlah letak radikalitasnya. Cinta yang tak selektif adalah pembangkangan paling sunyi terhadap ego.
Ketika kita tak lagi menambatkan diri pada emosi reaktif, pikiran memasuki titik nol—ruang hening tanpa dendam, tanpa harapan berlebihan, tanpa ketakutan. Dalam ruang itu, Malaikat dan Setan berhenti bertengkar. Mereka larut, kembali ke Sumber. Dan kita, untuk pertama kalinya, tak lagi sibuk mengutuk peran orang lain dalam drama hidup, melainkan benar-benar merdeka sebagai penonton sekaligus pelaku yang sadar. Mungkin itulah kemerdekaan jiwa yang sejati: bukan dunia tanpa Setan, tapi dunia di mana kita tak lagi membutuhkan Setan untuk memahami cahaya.
Pertanyaan paling jujur bukanlah siapa Malaikat dan siapa Setan, melainkan: mengapa kita begitu membutuhkan keduanya untuk merasa benar? Jangan-jangan selama ini kita memelihara Setan bukan untuk menolak kejahatan, tetapi untuk membenarkan luka dan kemarahan kita sendiri.
Jika demikian, kebebasan bukan soal mengusir kegelapan, melainkan keberanian memadamkan hasrat menghakimi. Sebab saat kita berhenti menunjuk siapa yang salah, sejarah pun berhenti berulang. Di titik itu, dunia tak menjadi lebih suci—tetapi manusia menjadi lebih bertanggung jawab. Dan mungkin, itulah bentuk iman yang paling berbahaya: iman yang tak lagi butuh musuh untuk tetap hidup.
