CakNun.com

Deforestasi: Ingatan yang Tak Pernah Selesai

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 4 menit

Di negeri ini, merusak hutan tak pernah dianggap sebagai kejahatan. Ia cuma disebut “konsekuensi pembangunan”, seperti luka yang diberi nama lain agar tak terasa perih. Kita menyebutnya ekonomi ekstraktif, sebuah jalan raya yang sudah dibangun jauh sebelum republik berdiri—ketika “kekayaan alam” dibaca sebagai “kekayaan kerajaan di jauh sana”, dan warga pribumi sekadar penjaga gudang yang tak digaji.

Jejaknya ada di arsip Hindia Belanda: peta-peta yang membuka hutan seperti membuka gulungan nasib, garis-garis lurus yang memotong rimba tanpa bertanya pada burung atau mata air. Kita mewarisi pola itu tanpa perdebatan. Pembangunan, kata para teknokrat Orde Baru, tak bisa menunggu pepohonan tumbuh.

Di Barat, pada 1990-an istilah deforestation tiba-tiba ramai jadi wacana, seperti ada kesadaran baru bahwa bumi ini bukan gudang yang tak berujung. Kata itu lahir dari kecemasan tentang karbon yang hilang, simpanan gelap yang selama ini disimpan hutan sebagai wasiat untuk masa depan. Namun, di sini, kata yang sama terdengar asing: kita lebih fasih menyebut “perluasan lahan”, “pengembangan kawasan”, atau “perizinan usaha”. Kata-kata yang diberi baju resmi untuk menyembunyikan bobot moralnya.

Maka mozaik itu menjadi lengkap: masa lalu kolonial yang menebang tanpa ragu, masa kini yang menebang sambil membuat laporan kelayakan lingkungan. Kita hidup di antara keduanya, dalam ruang sempit antara kebutuhan dan ingatan. Hutan-hutan yang dulu dianggap “liar” kini menjadi korban dari ambisi yang juga liar—ambisi untuk menjadi modern, sekaligus enggan membayar harga ekologinya.

Deforestasi mungkin istilah akademik, tapi kisahnya bukan teori: ia adalah bau tanah basah yang hilang setelah hujan pertama, sungai yang berubah warna, kabut tipis yang bukan lagi embun pagi. Ia adalah metafora tentang bangsa yang berjalan cepat tanpa menengok bayangannya sendiri.

Dan karena itu pula kita terus mengulang pola lama: memanggil kehancuran dengan nama yang lebih sopan, demi menjaga ilusi bahwa semua ini “wajar”. Dalam mozaik sejarah kita, hutan selalu tumbang lebih cepat daripada kesadaran. Hingga suatu hari, mungkin, kita baru akan bertanya: sejak kapan modernitas membuat kita merasa bangga atas tanah yang kian telanjang?

Kita mengingat sebuah konferensi jauh di utara: Kyoto, akhir 1990-an. Dunia tiba-tiba tersentak, seolah menemukan istilah baru untuk mengukur dosa: emisi, karbon, deforestasi. Tetapi seperti banyak istilah yang lahir dari ruang ber-AC di negara maju, ia membawa aroma geopolitik lebih kuat daripada aroma tanah basah setelah hujan.

Kyoto adalah panggung diplomasi bagi negara-negara yang sudah lama kehabisan batu bara dan minyaknya sendiri. Mereka berbicara tentang pengurangan emisi, tapi sejarah menunjukkan: bangsa yang tak lagi punya hutan atau fossil fuel cenderung lebih rajin menggurui dunia tentang cara menyelamatkan bumi. Mereka mendorong standar moral yang lahir dari kekosongan sumber daya mereka sendiri—sebuah etika yang dirumuskan setelah gudang-gudang mereka kosong.

Di sinilah ironi itu menganga: istilah deforestation—yang dirayakan dalam perdebatan global—ternyata tidak sepenuhnya cocok untuk menggambarkan kenyataan kita. Kita tidak sedang kehilangan hutan karena penelantaran, melainkan mengubahnya. Dari hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit, dari rimba menjadi tambang, dari keanekaragaman hayati menjadi barisan pohon berjenis tunggal yang tegak seperti pasukan wajib militer.

Ini bukan hilang, melainkan dialihfungsikan. Bukan deforestasi dalam makna ekologis Barat, tetapi konversi—sebuah kata yang lebih jujur secara geologis, sekaligus lebih telanjang secara politik. Dulu Belanda menyebutnya ontginning, pembukaan lahan; kini kita menyebutnya “investasi”. Sejak kapan perubahan lanskap dijelaskan dengan eufemisme?

Tetapi kata-kata bukan sekadar penamaan. Ia menentukan cara kita menilai. Ketika istilah “deforestasi” dipaksakan, kita mengikuti logika geopolitik yang bukan milik kita. Kita menerima rasa bersalah yang dibentuk oleh ketakutan negara maju terhadap krisis energi mereka—sebuah rasa bersalah yang tak pernah lahir dari pengalaman kita sendiri.

Mungkin karena itulah kita perlu merevisi kosakata kita. Hutan yang ditebang bukan sekadar “hilang”, tetapi “dipindah-tugaskan” menjadi komoditas. Hutan alam berubah menjadi hutan tanaman industri: monokultur yang memanen keuntungan tetapi memiskinkan keanekaragaman. Atau menjadi konsesi tambang yang lubangnya tetap menganga jauh setelah keuntungan diekspor.

Ada semacam kejujuran baru yang lahir ketika kita mengubah istilah itu: pengakuan bahwa yang terjadi adalah transformasi ekonomi, bukan sekadar “kehilangan”. Sebuah pilihan politik yang dibungkus kalkulasi pasar global. Dan setiap pilihan, seperti selalu terjadi di republik ini, menyimpan konsekuensi yang tak ingin kita hadapi: hilangnya hutan mungkin bukan kejahatan, tetapi kehilangan imajinasi tentang masa depan—itu yang lebih berbahaya.

Istilah bisa direvisi, tetapi jejaknya di tanah—dan di udara yang makin panas—tak bisa dihapus seperti menghapus kata di kertas. Dan pada akhirnya, seperti mozaik yang pecah, kita bertanya: apakah kita mengubah hutan, atau hutan yang pelan-pelan mengubah kita menjadi bangsa yang terbiasa kehilangan?

Paradigma pembangunan kita, sejak era Hindia Belanda, berdiri di atas fondasi yang sama: ekonomi ekstraktif. Sebuah pola tua yang diwariskan tanpa wasiat, tetapi dijalankan dengan kepatuhan yang mengejutkan. Seakan-akan republik ini dibangun bukan dari kemerdekaan, melainkan dari kelanjutan tata kelola kolonial yang disahkan ulang dengan bahasa modern dan peraturan baru.

Hingga kini, ekstraksi—dari kayu, mineral, minyak—tetap menjadi pilar ekonomi nasional. Ia seperti batang pohon yang ditebang berulang, tetapi anehnya tetap tumbuh kembali karena kita tak pernah menanam alternatif. Setiap kementerian bicara “hilirisasi”, namun yang dihilirkan tetap akar-akar rimba yang dicabut dari tanahnya.

Lalu muncul pertanyaan yang harus kita hadapi dengan kejujuran yang pahit: apakah penyelamatan hutan bisa dilakukan hanya dengan menegakkan hukum? Tidak. Karena hukum hanyalah pagar; ia tak pernah sanggup menahan arus jika sungai ideologinya tetap mengalir deras. Yang diperlukan adalah perubahan paradigma pembangunan—membongkar keyakinan lama bahwa kemakmuran hanya mungkin lahir dari konversi hutan alam.

Itu tantangan fundamental. Dan seperti setiap hal yang fundamental, ia menyentuh sesuatu yang paling rapuh: kenyataan bahwa sumber daya utama bangsa ini masih berupa barang-barang yang bisa digali, ditebang, dan diangkut dengan kapal. Modal manusianya—yang seharusnya menjadi mercusuar—masih belum cukup bersinar untuk menerangi jalan ke ekonomi berbasis inovasi.

Maka muncul jalan tengah yang lebih realistis: bukan berhenti menambang, tetapi membagi hasilnya dengan lebih adil. Agar kue ekstraktif itu tidak hanya menggemukkan korporasi dan elite, tetapi menjadi modal bagi generasi baru untuk membangun sesuatu yang tak lagi menghitung kekayaan dari dalam tanah—melainkan dari dalam pikiran.

Sejarah memberi kita contoh: Nokia, perusahaan yang awalnya hanyalah industri kayu di Finlandia, bertransformasi menjadi raksasa teknologi global. Dari hutan ke high-tech, dari log kayu ke logika digital. Perubahan itu bukan keajaiban; ia terjadi karena negara menyediakan ruang bagi rakyatnya untuk tumbuh menjadi SDM inovatif. Ekonomi kayu dijadikan batu loncatan, bukan tempat berdiam.

Di Swedia, koperasi hutan Södra menunjukkan hal serupa. Dari kayu yang murah, mereka mengembangkan produk nanoteknologi berbasis lignin dan selulosa. Nilai tambah bukan sekadar rupiah—tetapi bukti bahwa sebuah bangsa dapat mengubah pohon menjadi pengetahuan, bukan hanya menjadi balok ekspor.

Di titik inilah kita menemukan cermin paling jujur: bangsa ini tidak kekurangan hutan, tetapi kekurangan imajinasi. Kita terlalu lama hidup dari akar yang kita cabut sendiri, berharap pohonnya tetap tumbuh. Kita lupa bahwa kemajuan bukan hanya perkara “memanfaatkan” alam, tetapi kemampuan mengubah manfaat itu menjadi kemampuan baru.

Mungkin, suatu hari nanti, ketika paradigma itu benar-benar bergeser, kita bisa berkata bahwa kekayaan terbesar bangsa ini bukan lagi apa yang terpendam di perut bumi—melainkan apa yang bangkit dari benak manusianya. Sampai saat itu tiba, mozaik ini masih retak. Tapi dari retak itulah cahaya bisa masuk.

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Kiai Kocar Kacir

Kiai Kocar Kacir

Seorang berbadan hitam dan berkumis dari Bangkalan, Madura, menemui saya di Jakarta, hanya untuk membawa satu pertanyaan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik