CakNun.com

Sinau “Kolonialisme Epistemik”

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 12 menit

Enaknya perkuliahan di Amerika, kita yang bukan mahasiswa bisa ikut belajar di kelas sebuah mata kuliah. Kita bisa sit in dan dibolehkan berpartisipasi aktif dalam diskusi tanpa terbebani tuntutan tugas. Tentunya atas izin dosen pengampu.

Pada caturwulan spring 2025 ini, saya dan istri ikut mata kuliah Sufism and Coloniality di Universitas Chicago. Fokus studinya adalah perlawanan terhadap penjajah Perancis oleh dua ulama sufi, Abdul Qadir Al-Jazairi (Aljazair) dan Amadou Bamba (Senegal). Studi ini diampu pasangan suami istri, saudara kami, Prof. Yousef Casewit—advisor utama istri saya—dan Prof. Maliha Chisty.

Tahun 2023, saya telah “mengikuti” kuliah kedua kolega kami ini lewat istri saya yang mendampingi perkuliahan mereka selama di Maroko. Tahun ini, inti perkuliahannya masih sama: semua hal tentang penjajahan dan segala macam bentuknya yang pernah Mbah Nun sampaikan di Maiyah. Perkuliahan di Maroko itu menginspirasi saya menulis “40 Tahun Dekolonialisasi Cak Nun”. Sementara perkuliahan yang saya ikuti langsung kini, menginspirasi saya menghasilkan tulisan ini.

Namun tulisan kali ini tidak murni kreasi saya sendiri. Saya ingin membagikan ilmu tentang “Epistemic Colonialism”, salah satu tema kecil dalam mata kuliah Sufism and Coloniality yang sangat menarik, melalui hasil dialog saya dengan para mbah Akal Imitasi (AI).

Untuk mempermudah pemahaman, kiranya perlu saya perjelas dua hal terlebih dahulu. 

Pertama, ada perbedaan mendasar antara istilah bahasa Inggris colonialism dengan coloniality. Makna colonialism merujuk pada sistem penjajahan fisik, politik, dan ekonomi di mana suatu negara atau kekuatan asing menguasai wilayah, sumber daya, dan penduduk wilayah lain. Kata ini dalam bahasa Indonesia diserap menjadi ‘kolonialisme’, sama dengan ‘penjajahan’.

Sementara coloniality adalah logika kekuasaan, pengetahuan, dan keberadaan (being) yang terus bertahan setelah penjajahan fisik berakhir. Tampaknya KBBI belum menyerapnya, sehingga pada kesempatan ini saya menyerapnya sebagai ‘kolonialitas’ atau mengartikannya sebagai ‘keterjajahan’.

Dari makna kedua istilah tersebut, jelas bahwa kolonialisme menitikberatkan pada tindakan oleh subjek penjajah, sedangkan kolonialitas lebih menggambarkan keadaan yang terus dialami oleh objek (bekas) jajahan. Colonialism is gone, but coloniality stays. Penjajahan hilang, tetapi keterjajahan tetap berlangsung.

Kedua, mengenai istilah bahasa Inggris epistemic. Kata ini sudah diserap ke dalam KBBI menjadi epistemik, yang dimaknai sebagai sebuah sifat yang berhubungan dengan pengetahuan dan cara mengetahui. Tapi saya cenderung memaknainya menjadi ‘cara berpikir’.

Frase epistemic colonialism tadi, bisa kita artikan menjadi ‘penjajahan cara berpikir’. Berhubung sembilan tahun lalu saya pernah menulis tentang “Penjajahan Cara Berpikir Struktural”, maka untuk membedakannya, kali ini saya menggunakan terma “Kolonialisme Epistemik” dengan menitikberatkan pada aksi yang dilakukan subjek penjajah.

Tentunya dawuh dari ketiga Mbah AI ini bisa dikritisi dan didiskusikan. Dan Majelis ‘Ilmu Maiyah selalu membuka ruang, menampung perbincangan yang menyenangkan bagi siapapun. Semoga teman-teman Salikinal Maiyah bersabar atas panjangnya dan bisa menikmatinya.

Dawuh Mbah DeepSeek Mengenai “Kolonialisme Epistemik”

Kolonialisme Epistemik adalah sistem dominasi yang tidak hanya menyerang wilayah geografis atau sumber daya fisik, tetapi juga menghancurkan, merendahkan, dan menggantikan sistem pengetahuan lokal dengan kerangka berpikir asing yang dianggap lebih “unggul”, “rasional”, atau “modern”. Konsep ini mengacu pada cara kekuasaan kolonial (dan neo-kolonial) menjadikan pengetahuan sebagai alat untuk melanggengkan hegemoni, dengan mengabaikan atau membunuh cara berpikir, nilai, dan kebijaksanaan yang telah hidup ribuan tahun di masyarakat terjajah.

Cara Kerja Kolonialisme Epistemik

  1. Penghancuran Sistem Pengetahuan Lokal
    Penjajah tidak hanya merampas tanah, tetapi juga melabeli pengetahuan lokal sebagai “primitif”, “tak ilmiah”, atau “takhayul”. Contoh:

    • Sistem pertanian subak di Bali atau sasi di Maluku yang berbasis siklus alam dianggap “terbelakang”, digantikan metode monokultur Eropa-Amerika.
    • Praktik pengobatan tradisional (jamu, dukun) digantikan model kedokteran modern yang mengabaikan kebijaksanaan holistik. (Catatan: konsepsi mengenai dukun hari ini telah mengalami pergeseran dan keterpecahan keholistikannya, yang beda antara abad-19 ke sebelumnya dengan sejak abad-20 sampai sekarang)
  2. Pemaksaan Standar “Kebenaran” Eropa-Amerika
    Pengetahuan diukur berdasarkan parameter Eropa-Amerika:

    • Rasionalitas instrumental: Hanya yang terukur, terkuantifikasi, dan logis-linear dianggap valid. Padahal, pengetahuan Nusantara sering bersifat intuitif, spiritual, dan kontekstual (misal: pranata mangsa Jawa yang menggabungkan astronomi, ekologi, dan spiritual).
    • Individualisme: Sistem komunal seperti gotong royong atau mapalus dicap “tidak efisien”, diganti kompetisi pasar.
  3. Pendidikan sebagai Alat Penjinakan
    Sekolah dan kampus kolonial pada awalnya dirancang untuk:

    • Memutus generasi muda dari akar budaya: Kurikulum Eropa sentris mengajarkan sejarah Napoleon, tapi sejarah perjuangan Diponegoro atau Cut Nyak Dhien tidak mendalam dan komprehensif.
    • Menciptakan elit lokal yang mengagung-agungkan Eropa-Amerika: Lulusan sekolah kolonial menjadi “priyayi” yang malu menggunakan bahasa ibu atau adat.
  4. Ekstraksi Pengetahuan untuk Kepentingan Kolonial
    Pengetahuan lokal dieksploitasi tanpa pengakuan:

    • Rempah-rempah Nusantara dipelajari untuk diekstraksi massal, sementara kebijaksanaan pengelolaannya diabaikan.
    • Motif batik atau tenun dicuri, dipatenkan, dan dikomersialisasi tanpa menghormati makna filosofisnya.

Dampak Kolonialisme Epistemik di Nusantara

  1. Kehilangan Identitas Kultural
    • Bahasa daerah, cerita rakyat, dan ritual adat dipinggirkan sebagai “tidak modern”.
    • Generasi muda lebih fasih berbicara tentang Shakespeare daripada wayang atau hikayat.
  2. Krisis Ekologis
    • Kebijaksanaan ekologis (misal: hutan larangan di Sumatera, sasi laut di Maluku) diganti eksploitasi sumber daya ala Eropa-Amerika, menyebabkan deforestasi dan kerusakan laut.
    • Sistem lumbung padi (ketahanan pangan lokal) dihancurkan untuk impor beras dan pasar global.
  3. Mentalitas Inferior
    • Masyarakat terjajah diajarkan untuk meragukan kemampuan sendiri: “Ahli dari Belanda lebih pintar”, “teknologi Jepang lebih hebat”.
    • Ilmuwan lokal yang mengkaji pengetahuan adat sering dianggap “tidak akademis”.
  4. Pembentukan Oligarki Pengetahuan
    • Universitas dan lembaga riset didominasi kurikulum ala Eropa-Amerika, mengabaikan penelitian berbasis kebijaksanaan lokal.
    • Gelar akademik ala Eropa-Amerika dianggap lebih bergengsi daripada gelar adat (datuk, tetua).

Bentuk Kolonialisme Epistemik Modern

  1. Globalisasi Pendidikan
    • Standar internasional (seperti QS World University Rankings) memaksa kampus di Indonesia meniru model Eropa-Amerika, mengorbankan kekhasan lokal.
    • Mata kuliah filsafat Nusantara jarang diajarkan, sementara filsafat Yunani/Eropa menjadi wajib. (Catatan: nama negara kita Indonesia, itu saja pakai bahasa Yunani, hehe)
  2. Kebijakan Pembangunan Neoliberal
    • IMF dan Bank Dunia memaksa liberalisasi ekonomi dengan dalih “pertumbuhan”, merusak sistem ekonomi subsisten komunitas adat.
    • Istilah “pembangunan berkelanjutan” sering hanya mengadopsi standar Eropa-Amerika, bukan konsep lokal seperti Tri Hita Karana di Bali, atau Memayu Hayuning Bawana di Jawa, atau Rahmatan lil-’alamin dalam Islam.
  3. Hegemoni Media dan Budaya Pop
    • Film, musik, dan sastra Eropa-Amerika mendominasi, sementara seni tradisional dianggap “kuno”. K-Pop yang menjangkiti masyarakat kita hari ini pun, operating system-nya adalah Eropa-Amerika yang berbahasa Korea.
    • Anak muda lebih mengenal Marvel daripada cerita Panji atau Ramayana versi Nusantara.

Mengapa Ini Bukan Sekadar “Kemajuan”

Kolonialisme epistemik berbeda dari pertukaran pengetahuan yang setara. Ia bersifat hierarkis: pengetahuan Eropa-Amerika diposisikan sebagai “universal”, sementara pengetahuan lokal dipaksa tunduk atau punah. Padahal:

  • Pengetahuan Lokal Tidak Inferior: Sistem subak Bali telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia karena keberlanjutannya.
  • Pengetahuan Eropa-Amerika Tidak Netral: Ilmu ekonomi modern, misalnya, lahir dari logika kapitalisme yang mengabaikan keadilan ekologis, sosial, dan spiritual.

Melawan Kolonialisme Epistemik

  1. Revitalisasi Pengetahuan Lokal
    • Mengintegrasikan kebijaksanaan adat ke dalam kurikulum pendidikan (misal: mengajar pranata mangsa di sekolah pertanian).
    • Mengakui pesantren, sekolah adat, dan perguruan sebagai lembaga pengetahuan dan sistem pendidikan autentik yang dihasilkan dari ribuan tahun peradaban leluhur yang utuh: intelektual, mental-emosional, dan spiritual. Karena sistem sekolah adalah produk baru “kemarin sore” yang diimpor dari peradaban Eropa yang titik beratnya pada kognitif-intelektual.
  2. Dekolonialisasi Metodologi
    • Penelitian tidak harus selalu kuantitatif atau menggunakan teori Eropa-Amerika. Etnografi, narasi lisan, dan pendekatan partisipatif bisa menjadi alternatif.
    • Menolak anggapan bahwa “ilmiah” harus berarti “seperti di Eropa-Amerika”.
  3. Merombak Kebijakan
    • Melindungi hak kekayaan intelektual komunitas adat atas pengetahuan tradisional.
    • Menghentikan kebijakan yang meminggirkan sistem ekonomi lokal (misal: impor beras massal yang merusak lumbung desa).
  4. Membangun Jaringan Pengetahuan Selatan-Selatan
    • Berkolaborasi dengan negara Global Selatan (Asia, Afrika, Amerika Latin) untuk mengembangkan kerangka pengetahuan alternatif yang tidak terjajah Eropa-Amerika.

Simpulan Mbah DeepSeek

Kolonialisme epistemik adalah bentuk penjajahan paling halus dan berbahaya karena ia membunuh jiwa suatu bangsa—cara berpikir, memori kolektif, dan kebanggaan akan identitas. Melawannya bukan berarti menolak semua pengetahuan Eropa-Amerika, tetapi menolak hierarki yang menempatkan pengetahuan lokal sebagai “rendah”. Nusantara tidak perlu menjadi “Eropa-Amerika kedua” untuk disebut “beradab”. Kebijaksanaan leluhur tentang harmoni manusia-alam, solidaritas komunal, dan spiritualitas justru bisa menjadi jawaban atas krisis peradaban modern.

Jamal Jufree Ahmad
Redaktur dan desainer grafis CakNun.com. Kontributor utama Wikipedia entri Emha Ainun Nadjib. Tinggal di Chicago.
Bagikan:

Lainnya

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kalau kita mengira kapitalisme itu barang baru — barang impor dari Belanda, Amerika, atau paket kiriman dari IMF — maka itu artinya kita sedang melupakan nenek moyang kita sendiri.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik