CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (33)

Hari-Hari Jakarta Dua

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 12 menit

Setelah itu, saya kembali masuk dalam pusaran hari-hari Jakarta. Hari-hari penuh ketegangan. Cemas mewarani hari-hari. Karena yang saya hadapi adalah ketidakpastian yang nyaris sempurna. Lamaran bekerja di sebuah tempat yang semula disangka mulus ternyata ditolak. Saya terpaksa mundur ke pertahanan mental terakhir. Yaitu mencoba mengakrabi kembali dunia lama di Kotagede. Dunia satra, teater, srawung kreatif, dan berlatih menulis berita yang waktu itu belum begitu jelas honornya. Posisi saya baru sebagai penyumbang berita, belum koresponden resmi. Meski begitu, saya selalu serius dalam mencari informasi, mewawancarai sumber berita, mendatangi pertemuan dan diskusi sastra, nonton pertunjukan teater, mencatat hasil festival teater remaja Jakarta, mengakrabi para sutradara, mendatangi pameran seni rupa dan mendengar argumentasi kuratornya sambil tidak lupa mengirim tulisan ke majalah anak-anak atau koran atau majalah dengan harapan ada honor masuk dompet untuk sekadar membiayai makan siang atau makan malam. Untuk transport saya sudah punya modal karcis bus kota ditambah uang saku hasil bekerja sebagai pembantu rumah tangga di pagi hari. Sebenarnya soal makan siang atau malam selalu tersedia di rumah tempat tinggal, tetapi saya malu kalau seharian ngumpet di rumah. Oleh karena itu setiap habis membereskan pekerjaan rumah saya langsung pergi ke tempat yang saya sukai dan saya pandang memiliki potensi untuk menjadi bahan tulisan.

Saya waktu itu merasa berada di sebuah medan perang yang tidak jelas. Saya harus menaklukkan sesuatu demi sesuatu untuk mengusir kabut ketidakjelasan itu. Di Gelanggang Remaja Bulungan dan di Warung Poci Bulungan saya bertemu lagi dengan sutradara teater jebolan Tetaer Alam benama Mas Meritz Hendra yang bertubuh tinggi dan berambut gondrong. Dia dengan tekun melatih anak-anak teater sebuah SMA. Saya bertemu Ags. Arya Dipayana sutradara Teater Egg dan teater Tetas yang masih sangat muda dan murah senyum kalau bicara kalem dan saya lihat dia tidak pernah marah. Lalu ada Mas Toto Prawoto yang kumisnya hitam melintang di bawah hidung yang kalau berbicara sangat serius walau kadang diselingi senyum. Lalu ada wartawan foto Femina Heryus Saputra yang juga bertubuh tinggi dan elegan, punya kepercayaan diri yang tebal. Kalau ada pameran senirupa biasanya Bambang Bujono yang berbicara dan menulis berita di majalah Tempo. Kalau untuk koran Kompas, kiritikus seni rupa adalah anak Banyuwangi yang pernah ikut aktif di Sabana, Mas Agus Dramawan T. Dan di Bulungan ini ada semacan networker yang kemudian menjadi wartawan Amanah, Mas Uki Bayu Sejati. Lalu ada anak yang masih muda sekali, Yoyik Lembayun yang senang membuat musikalisasi puisi.

Waktu itu Gelanggang Remaja se-Jakarta selalu gemuruh degan kegiatan untuk anak remaja yang didukung oleh seniman yang lebih senior. Oleh karena itu banyak kegiatan yang potensial ditulis menjadi berita. Gelanggang Remaja Jakarta Selatan termasuk yang paling mendidih dengan kreativitas aneka macam seni. Sutarji Calzoum Bachri pernah muncul dalam diskusi sastra sambil membaca puisi dengan gayanya yang khas.

Gelanggang Remaja Jakarta Pusat di Pasar Senin tidak mau kalah. Saya pernah mengikuti workshop penulisan puisi yang diasuh oleh Leon Agusta yang ternyata aliran puisinya agak berbeda dengan aliran puisi perguruan Malioboro. Puisi saya dikritik habis-habisan dengan mengatakan metafora yang saya bangun mengada-ada. Waktu itu saya yang cukup bingung hidup di kota metropolitan membayangkan ada sebuah kepala yang dihukum di dalam balok es. “Itu tidak mungkin. Itu berlebih-lebihan,” kata Leon yang kemudian menyebut apa yang saya tulis sebagai puisi yang gagal. Saya pun diam dan pura-pura menyerah. Rupanya di dalam diri saya telah bersemayam semacam sifat keras kepala model Mas Warno Pragolapati yang tidak mudah dikalahkan. Untuk membuktikan saya masih bisa menulis puisi, saya bergabung dengan Kelompok Sembilan yang anggotanya kebanyakan anak Sekolah Tinggi Publisistik yang kampusnya bersebelahan dengan Gedung PP Muhammadiyah Jakarta. Dalam Kelompok Sembilan antara lain hadir Rismuji Raharjo, cah Imogiri yang kemudian kerja di grup Kompas yang sekarang pulang kampung ke Imogiri. Lalu ada Adek Alwi yang kemudian mengasuh majalah remaja, ada Afrizal Malna yang ketika sudah terkenal dan terlalu suntuk dengan dunia dalamnya sendiri dan bertemu saya di Jembrana, dia bilang lupa dengan saya. Ada Syamsuddin Noer Munadi yang cah Mojokerto. Lalu ada cah Minang Syarifuddin Arifin yang kalau tidak salah pernah aktif di majalah perempuan, Sarinah atau Kartini saya lupa. Lalu ada Bambang Soeparjo dan saya sendiri. Yang dua orang lagi saya lupa. Kami pernah menerbitkan kumpulan puisi Sembilan, yang dokumentasinya pernah saya usung ke Yogyakarta dan mengikuti kemana saya dan keluarga pindah kontrak rumah sampai akhirnya buku kumpulan puisi ini menghilang.

Dengan bantuan buku agenda kegiatan bulanan saya bisa memantau kegiatan di Taman Ismail Marzuki dan memilih acara yang saya sukai. Pentas drama, pameran senirupa, pentas sastra. Banyak acara yang saya liput lalu beritanya saya tulis dan saya kirim ke Harian Masa Kini. Di Taman Ismail Marzuki ini asyik walau saya tidak punya banyak teman seperti di Bulungan. Saya waktu itu, tidak lebih sebagai obyek agenda acara di situ. Yang kalau lapar makan di warung, atau kalau ingin cari ide baru ketemu dengan Jose Rizal Manua yang masih merintis toko buku lama tentang sastra dan budaya. Atau ngumpet lama-lama di masjid Amir Hamzah yang lama, di belakang IKJ. Dan kalau saya jenuh dengan suasana dan hawa Jakarta saya dolan ke Pasar Seni Ancol ngobrol dengan pelukis Godod Sutejo di kiosnya. Belakangan dia kembali ke Yogyakarta kemudian aktif di bursa lukisan FKY model lama, dan punya studio lukis di dekat kampus AMI dekat Hotel Bronto.

Saya terus berpusing-pusing seperti itu. Sampai kemudian saya sadar bahwa saya memerlukan pegangan yang agak jelas, keterampilan di bidang tertentu. Tanpa itu saya bakal hilang dan tenggelam di Jakarta. Saya merenung dan sesuatu yang masih nyambung dengan masa lalu saya adalah dunia penulisan. Dan saya rasakan dunia sastra sulit untuk dijadikan kegiatan yang menghasilkan uang yang lumayan jelas waktu dan jumlahnya. Saya amati, tenyata jurnalistik atau dunia kewartawanan lebih menjanjikan. Tulisan wartawan bisa dimuat tiap hari. Bahkan dalam sehari, kalau kreatif dan punya jaringan sumber berita, menulis dua atau tiga berita dimuat di koran. Honor menjadi relatif rutin. Tidak berkala-kala seperti kalau menulis karya sastra.

Waktu itu kegiatan di Sanggar Enam Dua Menteng Raya sehabis pentas di Muktamar Surabaya agak kendor kegiatannya. Kalau teman-teman ketemu lebih banyak mengunyah-kunyah romantisme dalam momentum latihan bersama dengan anak-anak Surabaya. Mas Bambang kadang mengirim surat ke anak Surabaya. Saya juga ikut-ikutan mengirim surat ke yang mirip penyanyi keroncong yang jelita itu. Demikian saya menjuluki dia. Lama sekali menunggu balasan, baru tiba dan ini menjadi semacam oase jiwa. Tetapi tidak bisa mengusir rasa galau di hati karena pekerjaan belum terpegang. Dan suatu hari saya membaca di sebuah iklan di koran, bahwa di Jakarta ada Balai Pendidikan Wartawan. Saya berangkat dari Menteng Raya, jalan kaki menuju jalan Gunung Sahari mencari gedung tempat dilangsungkannya pendidikan wartawan itu. Dalam perjalanan ke jalan Gunung Sahari saya ingat lukisan kaligrafi saya yang saya buat di rumah Kotagede. Lukisan kaligrafi salah satu ayat di surat Al-Muddatstsir betul menggedor kesadaran saya waktu itu. Kullu nafsin bima kasabat rohiinah, setiap diri manusia bergantung kepada apa yang ia usahakan.

Nah ini dia. Hari-hari Jakarta bagi saya menjadi sangat bergairah. Nasib atau keadaan saya di masa depan bergantung kepada usaha saya menekuni jurnalistik. Inilah peluang satu-satunya yang mungkin saya masuki.

Yogyakarta, 5 September 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Kaum Bahariwan Penyambung Peradaban

Kaum Bahariwan Penyambung Peradaban

Saat naik kapal Ferri menyeberangi Merak-Bakahuni saya belajar kepada penumpang yang terbiasa menyeberang selat Sunda ini.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.

Topik