CakNun.com

25 Tahun SALAM (Sanggar Anak Alam) – “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 4 menit

Seperempat abad bukan angka kecil untuk sesuatu yang berjalan di luar arus, menepi dari jalan tol sistem pendidikan formal. Tapi begitulah Sanggar Anak Alam — SALAM — sejak mula memang tidak memilih menjadi jalan raya, tapi pematang sawah. Jalannya sempit, tidak dibangun untuk lalu-lalang massal. Tapi dari pematang itulah anak-anak belajar menanam, berjalan pelan-pelan, dan menemukan semesta kecil dalam tubuhnya sendiri.

Juni ini, SALAM genap 25 tahun. Umur seperempat abad itu bukan sekadar bilangan usia, tapi tanda bahwa masih ada yang berani mencintai anak-anak dengan cara yang tak dikalkulasi oleh kurikulum nasional. Masih ada yang berani menolak “sekolah” dalam artian bangunan birokratis yang menempatkan anak sebagai obyek, bukan subyek.

SALAM bukan sekadar tempat belajar, ia adalah rumah. Bukan sekolah yang memproduksi ijazah, melainkan tanah subur yang menumbuhkan manusia. Dan dalam perjalanannya, sudah banyak yang tumbuh di sana. Ada yang menjadi petani ide, penulis ekosistem, pemimpi realis, atau penyair kehidupan. Tapi yang lebih penting: mereka tumbuh utuh, tak terbelah antara nilai tes, ujian dan nilai kemanusiaan.

Maka tak heran jika peringatan 25 tahun SALAM ini mengambil tema “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”. Sebuah kalimat pinjaman dari cerpen AA Navis yang ironis dan getir, namun kita tahu: kadang yang roboh bukan karena diguncang gempa, tapi karena lama tidak dihidupi. Sekolah rakyat kita bukan hanya roboh karena tiadanya bangku, papan tulis, atau guru, tapi karena kehilangan ruhnya. Karena sekolah berubah dari tempat menemukan hidup menjadi tempat kehilangan makna.

Di tengah reruntuhan itu, SALAM tetap berdiri. Mungkin bukan sebagai gedung yang menjulang, tapi sebagai api kecil yang menyala diam-diam. Dan dalam perayaan seperempat abad ini, api itu tak dibiarkan padam. Malam puncak tanggal 20 Juni 2025 akan ditutup oleh doa bersama KiaiKanjeng dan Sabrang MDP Noe Letto) — dua wajah Maiyah yang merentangkan harmoni antara langit dan bumi.

Noe, dengan nyanyiannya yang merangkul langit dan batin muda. KiaiKanjeng, dengan iramanya yang tak sekadar nada tapi permenungan. Mereka hadir bukan untuk manggung, tapi untuk menyambung. Menyambangi ingatan, menyambung ruh perjuangan, menyambung anak-anak kepada akar mereka yang mulai dilupakan oleh zaman.

“Robohnya Sekolah Rakyat Kami” bukan keluhan. Ia adalah pengingat, bahwa ketika institusi belajar kehilangan rakyatnya, kehilangan cinta dan keberpihakan pada kehidupan, maka ia akan menjadi gedung kosong. Tapi selama masih ada SALAM dan pematang-pematang lain yang sabar menumbuhkan benih, maka pendidikan tidak benar-benar roboh. Ia sedang mencari bentuk lain. Bentuk yang lebih jujur, lebih manusiawi, dan lebih membumi.

Dalam suasana penuh syukur itulah 25 tahun SALAM ditandai. Bukan sebagai puncak, tapi sebagai titik balik. Sebuah miqat baru untuk melanjutkan langkah — bukan melawan sistem, tapi menyembuhkan luka-lukanya. Bukan membenci sekolah, tapi menghidupkan kembali ruh rakyat di dalamnya.

Karena sekolah rakyat yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar roboh. Ia hanya sedang menunggu dipanggil kembali oleh suara-suara anak yang belajar dengan hati. Seperti yang selama ini dilakukan oleh SALAM. Dengan sederhana. Dengan sabar. Dengan cinta. Dan dengan iman yang tak pernah lelah terhadap masa depan.

Di tengah dunia yang makin keras kepala dengan logika industri — dimana semua harus cepat, terukur, efisien, dan menguntungkan — apakah masih ada tempat untuk sekolah yang lembut? Sekolah yang sabar, tidak terburu-buru, tidak menyeragamkan anak-anak seperti produk pabrik?

Pertanyaan itu mengendap dalam dada para pejalan di Sanggar Anak Alam (SALAM). Di usia 25 tahun ini, mereka bertanya — bukan hanya pada diri sendiri, tapi pada kita semua: masih relevankah jalan ini?

Di zaman ketika algoritma tahu lebih banyak dari guru, ketika nilai lebih penting daripada nilai-nilai, ketika ijazah menjadi lebih berharga dari akhlak, SALAM tetap memilih untuk tidak ikut lomba lari. Karena SALAM tahu: tidak semua anak diciptakan untuk berlari. Ada yang menari, ada yang melukis langit, ada yang bercakap-cakap dengan serangga. Ada yang berjalan pelan menyusuri dunia dalam dirinya.

Dan ketika kita bicara soal robohnya sekolah rakyat kami, kita tidak sedang bicara tembok yang retak, atap yang bocor, atau dana BOS yang telat turun. Yang roboh adalah jiwanya. Jiwa sekolah yang dulu menjadi tempat rakyat menggantungkan harapan — kini dijebak dalam sistem yang lahir tanpa partisipasi rakyat itu sendiri.

Guru bukan lagi muaddib — pendidik jiwa. Guru dikurangi menjadi penginput nilai, penghafal target, pelayan data. Murid bukan lagi anak manusia yang penuh misteri, tapi angka-angka dalam grafik mutu pendidikan. Sekolah bukan lagi tempat menyemai hidup, tapi proyek pencapaian yang dicetak, dipamerkan, lalu dilupakan.

Maka, 25 tahun lalu SALAM lahir bukan sebagai pelarian dari sistem, tapi sebagai pengingat. Ia tidak mengganti sekolah, ia mengingatkan sekolah untuk menjadi dirinya yang sejati. Ia seperti Nabi, yang tidak membawa ajaran baru, tapi menyempurnakan fitrah manusia yang sering dilupakan oleh zaman.

SALAM mewartakan kabar baik: bahwa anak-anak masih boleh menjadi anak-anak. Bahwa belajar tidak harus duduk diam dalam ketakutan, tapi bisa sambil tertawa, memanjat pohon, menggali tanah, menulis puisi, menyapu daun dengan penuh cinta.

Belajar adalah hidup itu sendiri. Dan hidup tidak pernah seragam. Maka sekolah pun tidak seharusnya memaksakan seragam.

Kita diajak merayakan seperempat abad SALAM bukan dengan gegap gempita seperti upacara peringatan institusi. Tapi dengan sejenak diam. Menunduk di hadapan waktu. Mendengarkan napas anak-anak. Menyadari bahwa sekolah rakyat bukan tempat untuk berkuasa, tapi untuk mengabdi. Bukan untuk menjajah pikiran anak-anak dengan ambisi orang dewasa, tapi untuk mendampingi mereka menyusun dunia dalam bahasa mereka sendiri.

Dan di tengah zaman yang galak ini, SALAM tetap memilih menjadi lembut. Tetap memilih mendengar. Tetap memilih menumbuhkan, bukan membentuk.

Karena ia percaya: dunia akan selalu berubah. Tapi manusia akan selalu butuh cinta untuk bisa bertumbuh.

Dan SALAM adalah rumah dari cinta itu.
Sudah 25 tahun ia menjaga nyala.
Semoga tak padam.
Semoga kita pun menjaga nyala itu bersama.

Nitiprayan, 18 Juni 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Tepat di kaki Merapi yang seperti ndhodhok tapi waspada itu, para petani, seniman, anak-anak alam, dan bocah-bocah yang masih percaya pada embun pagi, bikin geger dengan satu istilah yang mungkin bikin dosen filsafat gatal kupingnya: Andhudhah Kawruh Sinengker.
Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik