CakNun.com

Siapa Menguasai Dunia, Siapa Menyelamatkan Bangsa?

Redaksi
Waktu baca ± 4 menit
Photo by Pixabay

Dunia hari ini ibarat panggung besar, tempat aktor-aktor besar saling rebut peran, ganti kostum, dan mainkan skenario yang kadang kita kira nyata, padahal hanya ilusi berbiaya mahal. Harford Mackinder, seorang geostrategis yang hidup setelah runtuhnya Imperium Britania, menyodorkan peta dunia bukan untuk kita pahami sebagai ruang hidup umat manusia, tapi sebagai papan catur kekuasaan. Ia membelah dunia menjadi dua: Heartland dan Rimland. Siapa menguasai jantung dunia — Heartland — maka dialah pemilik kunci peradaban.

Di mana itu Heartland? Itulah kawasan yang kini bernama Ukraina, Rusia, dan sebagian besar Asia Tengah. Tempat yang sejak abad 19 terus jadi rebutan Barat. Perang Ukraina hari ini bukan soal invasi atau pertahanan, tapi perebutan ladang gandum, tambang minyak, dan lahan-lahan sumber energi yang bisa menyelamatkan atau menenggelamkan peradaban modern yang lapar energi dan pangan.

Skenario Langit dan Perang-perang di Bumi

Perang Israel-Iran pun, jangan dilihat cuma dari layar berita. Itu hanya drama pengalihan perhatian. Saat NATO megap-megap di Ukraina, dan sanksi ekonomi justru memperkuat Rusia, maka diperlukan konflik baru untuk mengalihkan sorot lampu. Iran diserang karena ia bukan sekadar Iran, tapi simpul penting dari jaringan BRICS+. Menjatuhkan Iran sama saja memotong nafas Rusia dan Tiongkok — dua raksasa yang BBM-nya banyak ditambang dari tanah Persia.

Tak heran jika Pakistan pun, yang punya senjata nuklir, bilang tegas: Kami tidak akan biarkan Iran jatuh.” Ini bukan soal solidaritas agama, tapi soal menyelamatkan tatanan dunia alternatif dari cengkeraman satu hegemoni tunggal yang memaksa semua negara tunduk pada “aturan main”-nya.

Siapa Penguasa Dunia?

Pertanyaan penting muncul: siapa sesungguhnya yang mengatur dunia ini?

Bukan presiden, bukan raja. Tapi mereka yang berhasil membentuk “akal sehat bersama” umat manusia — dengan cara mendikte kurikulum, gaya hidup, dan mimpi-mimpi generasi muda dunia. Sejak Abad Pencerahan, Revolusi Industri, dan Revolusi Prancis, dunia dipenuhi slogan manis: liberté, égalité, fraternité — kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Tapi di balik semua itu, yang menguat justru kapitalisme, eksploitasi, dan monopoli.

Bank dunia, IMF, PBB, demokrasi, bahkan perang pun dimodali oleh sistem nilai yang menghamba pada pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Demokrasi tak lebih dari baju yang dipakai oleh para oligarki untuk merebut legitimasi. Dalam keramaian Pemilu, sesungguhnya yang dipilih adalah siapa yang paling bisa mengabdi pada pasar bebas global, bukan pada rakyat yang mengantri BLT dan pupuk subsidi.

Rusia, Iran, dan Tiongkok: Tiga Negara, Satu Nafas

Rusia, Iran, dan Tiongkok — adalah bukti bahwa negara yang ditopang oleh tradisi ribuan tahun dan kepemimpinan nasionalistik bisa bertahan bahkan di bawah tekanan global. Ketiganya pernah berdarah-darah oleh perang saudara dan agresi asing, namun mereka tak membiarkan negaranya dijual di meja diplomasi utang.

Mereka menolak dikendalikan oleh sistem ekonomi kolonial gaya baru. Mereka membangun kemandirian, bukan dari seminar-seminar global, tapi dari kesadaran sejarah dan identitas kebangsaan. Mereka tahu, bangsa besar harus mandiri dalam pangan, energi, teknologi, dan sistem pengetahuan.

NKRI: Lahir di Antara Dua Arus

Indonesia, negeri kita ini, lahir di tengah arus pergantian zaman: dari kolonialisme kuno ke kolonialisme gaya baru. Kita merdeka secara administratif, tapi dijajah secara ekonomi. Orde Lama disibukkan oleh integrasi nasional, embargo, dan upaya mempertahankan harga diri di tengah kudeta yang dibiayai negara-negara besar.

Lalu datang Orde Baru, yang menjadi laboratorium pembangunan fisik besar-besaran dengan utang sebagai bahan bakar utama. Kita disebut berhasil — padahal hanya menjadi pangkalan produksi kapitalisme global, sambil menyaksikan nilai-nilai gotong royong dan kemandirian lokal perlahan pudar.

Era Reformasi datang membawa demokrasi — tapi di balik slogan perubahan, ternyata oligarki makin rakus, dan negara makin tergantung pada investor asing. Kita impor beras, impor BBM, bahkan hukum dan ilmu pun sering kita impor. Kita merdeka secara bendera, tapi secara sistem, kita kian menjadi anak buah dari “rule-based order” yang disusun oleh segelintir elite global.

ISEI dan Tanggung Jawab Epistemik

Di sinilah pentingnya peran ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia). Ekonomi bukan sekadar angka dan grafik, tapi soal keadilan dan kedaulatan. Cita-cita kemerdekaan bukanlah sekadar berdiri di panggung dunia, tapi membebaskan diri dari sistem eksploitasi kolonial.

ISEI mesti menjadi rahim bagi lahirnya mazhab ekonomi baru: yang tidak hanya menghitung GDP, tapi menghitung harga diri bangsa. Ekonomi yang menyatu dengan sejarah, antropologi, dan budaya lokal. Bukan ekonomi yang menjadikan manusia sebagai mesin produksi, tapi ekonomi yang menjadikan manusia sebagai pusat kehidupan.

Kita perlu crash programme nasional. Bukan sekadar proyek infrastruktur, tapi proyek membangun cara berpikir. Cara merumuskan ulang apa itu kesejahteraan. Bukan sekadar beli dan jual di pasar bebas, tapi memberi ruang pada ekonomi rakyat yang bermartabat.

Belajar dari Timur, Bukan Meniru Barat

Belajarlah dari Tiongkok yang membalikkan sanksi menjadi motivasi. Dari Rusia yang bertahan meski dijatuhkan mata uangnya. Dari Iran yang tak pernah tunduk meski dijerat embargo bertahun-tahun. Bukan untuk meniru, tapi untuk menyadari bahwa bangsa yang punya akar sejarah, nilai, dan iman tak akan mudah dijatuhkan oleh gempuran pasar global.

Indonesia bukan sekadar negara di selatan dunia. Tapi ia bisa menjadi poros, jika ia berani menyatakan diri berdiri di atas kaki sendiri — seperti yang pernah diteriakkan Bung Karno, dan kini tertidur dalam buku sejarah.

Kita Butuh Jiwa, Bukan Sekadar Data

Kita butuh ekonomi yang punya jiwa. Yang berpihak pada bumi, pada petani, nelayan, buruh, dan ibu-ibu di warung kecil yang tiap pagi mengatur pengeluaran dengan air mata.

Jika ISEI bisa menjadi pelopor perubahan itu, maka Indonesia tidak akan menjadi negara gagal, tapi justru menjadi lilin penerang di tengah gelapnya geopolitik global.

Dan mungkin — dari sini akan lahir revolusi baru. Bukan revolusi berdarah, tapi revolusi kesadaran.

Yang menyelamatkan bukan bom, bukan teknologi, bukan slogan demokrasi. Tapi kesadaran akan siapa kita, dan untuk apa kita hidup sebagai bangsa.[]

Panaruban, 25 Juni 2025

Lainnya

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Tepat di kaki Merapi yang seperti ndhodhok tapi waspada itu, para petani, seniman, anak-anak alam, dan bocah-bocah yang masih percaya pada embun pagi, bikin geger dengan satu istilah yang mungkin bikin dosen filsafat gatal kupingnya: Andhudhah Kawruh Sinengker.
Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik