CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (33)

Hari-Hari Jakarta Dua

Mustofa W. Hasyim
Dibaca 12 mnt

Kami pun jadi bersemangat nak mobil menuju Kotagede. Agar teman-teman Jakarta ini tidak liar sesampai di Kotagede saya pun memberi penjelasan bahwa Kotagede adalah kota kuno yang bertuah. Teman-teman saya harap hati-hati, menjaga omongan dan sikap, dan jangan sekali-sekali menggoda anak perempuan atau wanita Kotagede. “Kalau itu dilakukan, saya tidak tahu apa yang terjadi nanti,” kataku pelan dan tegas.

Anak-anak Jakarta angota Sanggar Enam Dua Menteng Raya seketika berubah menjadi anak patuh setelah mendengar kata-kata saya. Mereka menjadi anak alim tidak badung lagi. Ini yang mengesankan tuan rumah sehingga mereka melayani kami dengan baik selama di Kotagede. Penonton pentas kami lumayan banyak. Dan yang penting bagi saya, di sela-sela acara ini saya sempat pulang ke rumah memberikan oleh-oleh Muktamar ke keluarga. Saya bilang kalau rombongan Jakarta hanya sebentar di Kotagede dan saya minta izin melanjutkan perjalanan ke Jakarta naik kereta. Kata Ayah saya, “Sing ngati-ati wae ya, Mus.”

“Ya, Yah.”

Kereta api membawa rombongan angota Sanggar Enam Dua bergerak ke barat, ini berarti merupakan kereta api ketiga yang saya naiki selama hidup saya. Kereta pertama saat saya berangkat ke Jakarta bersama Mbah Zen, kereta kedua ketika bersama romgongan kontingen Muktamar mewakili Muhammadiyah DKI dan Jabodetabek dengan mem-booking beberapa gerbong dan kami anak teater bisa ikut nderek mulyo, karena teman yang punya keterampilan main gitar pun bernyanyi menghibur rombongan muktamar dari gerbong ke gerbong. Pengamen dadakan ini mendapat sambutan tepuk tangan dari bapak-bapak dan mendapat dua tas snack dari ibu-ibu. Waktu itu kami menaiki kereta api Gaya Baru Selatan yang berangkat dari Jakarta siang hari dan sampai Setasiun Gubeng Surabaya pagi hari. Pengalaman naik kereta api yang ketiga ini, menuju Jakarta, menggunakan kereta api Senja Yogya.

Kami gembira dalam perjalanan kembali ke Jakarta ini. Kami saling menyindir. Ada seorang teman yang selama di Surabaya dikejar-kejar anak SMA yang tubuhnya menawan mirip Marlyn Monroe. Ada yang erat berkenalan dengan anak SMA yang mirip Lydia Kandouw. Yang dijadikan objek perbincangan cuma tersenyum-senyum saja. Ketika ada yang menyindir saya tentang bagaimana rasanya tampil di panggung bersama dengan anak sekolah yang cantiknya mirip legenda keroncong, saya hanya menjawab singkat bahwa semua menunggu perkembangan lebih lanjut.

“Semua akan mengalir sendiri nanti sesampai di Jakarta,” kataku diplomatis.

“Mengalir seperti Bengawan Solo, Citarum atau sungai Ciliwung?”

“Mengalir seperti Sungai Batanghari atau Sungai Batang Gadis di Sumatera sana.”

Yang mendengar jawaban saya, tertawa senang.

Yang terasa amat penting adalah kehadiran kita diterima orang lain. Gerbong ini menjadi panci pelebur persahabaan. Kami berbagi cerita dan pengalaman. Berbicara ngalor-ngidul bebas. Sesekali tertawa. Sesekali aku melirik bagasi di atas kepala, tempat kami menyimpan oleh-oleh dari Muktamar. Kami menyebut gerbong ini gerbong kegembiraan. Bahkan gerbong kebahagiaan, tempat kami menampung harapan segar yang baru kami pungut di kota Surabaya.

Kami berjalan kaki menuju Menteng Raya 62 setelah turun dari kereta api. Masih tetap gembira dan bercanda. Bahkan ada yag bernyanyi dan menari. Yang membawa gitar mengiringi dengan nada-nada riang. Dengan demikian tidak terasa, kami sudah sampai di gerbang kantor PP Muhammadiyah di Jakarta. Kak Bambang membuka kantornya. Kami menghambur ke kursi, meja, dan ruang tidur di belakang rak buku. Ada yang duduk dan berbaring di lantai dengan menggelar tikar. Mengantuk dan letih menjadi terasa sekali. Kami mengaso di kantornya Kak Bambang, menunggu jemputan. Saya sendiri menunggu terang hari untuk kemudian melompat ke atas bus yang melaju menuju terminal Blok M. Di terminal ini saya mencari bus kota jurusan Pondok Labu.

Lainnya

Yang Kita Tidak Suka Boleh Jadi Baik Bagi Kita

Yang Kita Tidak Suka Boleh Jadi Baik Bagi Kita

Boleh Jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh Jadi kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216).

A. Fuad Effendy