A’udzu Billahi Min Nafsi
Pada suatu hari ketika menunggu pesawat boarding di ruang tunggu bandara Yogya, ada orang mendatangi saya dengan penuh semangat. Ia mengemukakan hajatnya dengan berapi-api bahwa ia aktivis sebuah parpol yang akan berjuang untuk Pilbup Nganjuk. Dan ia bersama rekan-rekannya di partai pengusung menawari saya untuk dicalonkan menjadi Wakil Bupati.
“Cak Nun tidak perlu melakukan apa-apa atau menyiapkan biaya”, katanya menjelaskan, “Semua sudah tersedia di partai kami. Teman-teman kita di Nganjuk juga banyak yang sering datang ke Padhangmbulan di Jombang. Jadi insyaallah jalannya akan lancar…”.
Entah kerasukan setan apa kok waktu itu saya, dengan bahasa sesopan mungkin agar tidak mengecewakannya, menolak tawaran itu. Apalagi saya ini kalau bukan ahmaq atau “katak dalam tempurung”. Ditawari jabatan begitu tinggi kok menolak.
Saya 15 bersaudara, melalui sekian era sejarah tak seorang pun yang menjadi lurah misalnya di Menturo Jombang. Kalau pakai idiom sehari-hari rekyat kecil, kami 15 orang bersaudara “gak ono sing dadi wong”. Tidak ada yang “jadi orang”. Kami tetap kambing saja permanen sepanjang zaman.
Hanya kakak sulung saya, Cak Fuad, salah satu Marja’ Maiyah yang rampung kuliah di Yogya. Pernah menjadi dekan di Malang tapi sembunyi-sembunyi jangan sampai ketahuan Ibu dan kami saudara-saudaranya semua. Itu tipe lain dari “spesies” ahmaq. Mestinya bangga kok malu.
Kami ini sejak dulu sudahlah ahmaq, miskin pula. Coba kalau saya menjadi wakil bupati kan bisa membebaskan diri dari kemiskinan.
Padahal kami sekeluarga ini juga tidak bodoh-bodoh amat. Sejumlah penafsir menjelaskan: Orang ahmaq tidak pasti bodoh atau tidak terpelajar. Orang yang disebut ahmaq itu tidak berarti sosok yang tidak pintar atau idiot atau “nggambleh”, “lah-loh”, “pah-poh” atau “pekok”.
Mereka bahkan bisa saja berpendidikan tinggi, hanya saja tetap memiliki pemikiran yang sempit terhadap sesuatu – atau bahkan tentang semuanya.
Ia tidak berpandangan luas, dengan pemikiran terbuka, sehingga sulit untuk menerima kebenaran yang sejati. Egonya sangat tinggi. Diberi tahu atau diingatkan atau ditegur atau disindir berulang kali tetap saja tidak mau sadar.
Secara jumud dan beku terus berpegang teguh pada keyakinan-pemahamannya sendiri atau golongannya saja tanpa mau berusaha mengevaluasinya lagi.
Dan lebih buruknya lagi bahwa sosok ahmaq atau semacam dungu kuadrat ini tak pernah menyadari kekeliruannya itu, bahkan merasa paling benar, hebat atau mulia.
Bahkan ia pun menyebarkan kekeliruannya itu kepada orang lain, baik dengan cara halus maupun kasar, transparan atau tersembunyi. Sungguh memprihatinkan.
Menantu Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang dikenal jenius dan istimewa daya intelektual dan ketajaman pandangan-pandangannya, juga menyebut hal yang sama dengan perluasan penjelasan dan tartil atau detailing:
اَحْمَقُ النَّاسِ مَنْ يَمْنَعُ الْبِرَّ وَيَطْلُبُ الشًّكْرَ، وَيَفْعَلُ الشَّرَّ وَيَتَوَقَّعُ ثَوَابَ الْخَيْرِ
“Orang yang paling dungu adalah yang menahan atau menyimpan kebaikan di dalam dirinya sendiri, namun berharap sanjungan dan berbuat keburukan namun berharap pahala kebaikan.”
اَحْمَقُ النَّاسِ مَنْ ظَنَّ اَنَّهُ اَعْقَلُ النَّاسِ
“Orang yang paling dungu adalah yang merasa paling pandai.”
تُعْرَفُ حَمَاقَة ُالرَّجُلِ فِي ثَلَاثٍ
فِي كَلَامِهِ فِيْمَا لَا يَعْنِيْهِ وَ جَوَابِهِ عَمَّا لَا يُسْأَلُ عَنْهُ وَ تَهَوُّرِهِ فِي الْاُمُوْرِ
“Kedunguan seseorang dapat dikenali pada tiga hal: Pada perkataannya ketika berbicara tentang sesuatu yang tidak berhubungan dengannya. Pada jawabannya ketika menjawab sesuatu yang tidak ditanya tentang itu. Pada kecerobohannya dalam segala urusan.”
Apakah tidak cukup terang benderang atau cetha wela-wela bahwa saya adalah jenis manusia seperti yang diuraikan oleh Sayyidina Ali? Kalau saya tidak berkepribadian seperti itu, pasti saya sudah berhasil menempuh karier sampai menjadi presiden, minimal menteri, gubernur atau rektor.
Perhatikan pula bagaimana Imam Al-Ghazali mem-breakdown tipologi ahmaq ini secara lebih sistematis. Ini akan membuat siapapun akan tersenyum atau tertawa-tawa karena ingat saya. Mana mungkin dengan modal keahmaqan saya akan pernah bisa menjadi Wakil Bupati Nganjuk:
الرِّجَالُ أَرْبَعَةٌ، رَجُلٌ يَدْرِيْ وَيَدْرِيْ أَنَّهُ يَدْرِيْ فَذٰلِكَ عَالِمٌ فَاتَّبِعُوْهُ، وَرَجُلٌ يَدْرِيْ وَلاَ يَدْرِيْ أَنَّهُ يَدْرِيْ فَذٰلِكَ نَائِمٌ فَأَيْقِظُوْهُ، وَرَجُلٌ لَا يَدْرِيْ وَيَدْرِيْ أَنَّهُ لَا يَدْرِيْ فَذٰلِكَ مُسْتَرْشِدٌ فَأَرْشِدُوْهُ، وَرَجُلٌ لَا يَدْرِيْ أَنَّهُ لَا يَدْرِيْ فَذٰلِكَ جَاهِلٌ فَارْفِضُوْهُ.
“Manusia itu ada empat, Pertama, seseorang yang mengetahui dan sadar bahwa dirinya mengetahui, itulah orang yang berilmu, maka ikutilah. Kedua, seseorang yang mengetahui dan tidak sadar bahwa dirinya mengetahui, itulah orang yang tidur, maka bangunkanlah. Ketiga, seseorang yang tidak mengetahui dan sadar bahwa dirinya tidak mengetahui, itulah orang yang mencari petunjuk atau bimbingan, maka tujukkanlah atau bimbinglah. Keempat, seseorang yang tidak mengetahui dan tidak sadar bahwa dirinya tidak mengetahui, itulah orang bodoh, maka tolaklah atau hentikanlah.”
Semakin transparan, bening, dan terang seperti matahari di puncak hari, bahwa akulah Ahmaq itu. Akulah Cebong yang kerdil. Sayalah Jahil Murokkab itu. Maka “fatrukhum”. Tolaklah saya. Hentikanlah saya. Tinggalkanlah saya.
Atau supaya lebih beres dan aman: buanglah saya, ke bumi lain, planet atau wilayah apapun yang bukan milik Allah Swt. Sampai-sampai saya menciptakan wirid doa untuk saya sendiri: “A’udzu billahi min nafsi”. Aku berlindung kepada Tuhan dari diriku sendiri.