Majelis Ilmu Padhangmbulan 9 Juni 2017
Majelis Ilmu Padhangmbulan. Menturo Jombang 9 Juni 2017. Semakin malam, jamaah justru semakin penuh dan padat tanpa meninggalkan celah. Atmosfer cinta kasih paseduluran begitu terasa di tengah kerumunan para jamaah yang tak semua saling mengenal sebelumnya, tetapi sudah tersambung secara rohaniah.
Karena kecintaannya, Mbah Nun membuka pembicaraan di Padhangmbulan kemarin malam dengan memberikan ijazah kepada jamaah. Yakni jamaah diminta untuk banyak membaca surat al-Mukminun ayat 115-118. Harapannya, ijazah yang diberikan ini bisa menjadi wasilah dijaganya kita dari siapa pun saja yang mencoba berniat buruk pada kita atau bermaksud mempermainkan kita. Entah itu dalam urusan kecil ataupun besar. Selain itu ijazah ini juga untuk mematek aji. Diri kita hilang dan qalbu kita menyatu dengan qalbunya Allah. Qalbu Allah itu ada tiga, yaitu qadha’, amr, dan iradah.
Bergerak setahap demi setahap, Mbah Nun sampai pada titik menggambarkan betapa indahnya Islam. Pada jarak waktu shalat pun bisa ditemukan keindahan. Jarak antar waktu shalat pun ada irama dan ketukannya. Sungguh, betapa Tuhan sangat Maha Indah dengan segala keindahan-Nya. Pada sesuatu yang sangat tampak sederhana, nyatanya sangat diperhatikan dan tak luput dari segala keindahan jua.
Di sela-sela Mbah Nun menghadirkan ilmu, atmosfer cinta kasih paseduluran benar-benar sangat terasa mencuat malam itu. Bahkan, Mbah Nun pun tak mampu membendung keharuan hatinya menyaksikan pemandangan malam itu. “Ya Allah, arek-arek iku cek cintane karo Maiyah. Demi workshop ndek kene rela naik pesawat dari Kupang.” Ada juga JM dari Taiwan yang membawakan mie untuk makan sahur semua JM. “Yo mugo-mugo cukup. Lek nggak cukup berarti ada dua kemungkinan. Yang satu mendapatkan kenikmatan, yang satu mendapatkan kesabaran.” Dan seketika disambut dengan gelak tawa para jamaah.
Dalam menghadapi karut-marut dunia, Mbah Nun menganjurkan kita utk tetap berpikir Silmi. Berpikir kualitatif dan menemukan makna-maknanya. Selain itu, kita juga diminta tetap belajar bertakwa. Supaya gampang dan fokus, ambillah satu substansi dari takwa, yaitu waspada. Jangan sampai menyakiti hati yang menciptakan kita, orangtua kita, tetangga, dan siapa pun saja yang ada di sekitar kita.
Kemudian Mbah Nun juga mencoba mentadabburi surat At- Tin. “Untuk keperluan apa Allah sampai bersumpah dengan menyebut empat hal tadi (buah Tin, buah Zaitun, bukit Turisina, dan Negeri yang aman itu)? Ternyata untuk menyatakan sesuatu yang sungguh-sungguh dan serius. Manusia diciptakan Allah sebagai ahsani taqwim sangat sungguh-sungguh.” Yakni agar tidak menjadi bagian dari golongan orang-orang yang asfala safiliin.
Ada beberapa jamaah yang menanyakan beberapa permasalahan. Menurut Mbah Nun, jawabannya adalah silmi. Jawaban utama adalah pada pikiran kita. Jawabannya, kita adalah orang esai. Esai itu di tengah-tengah. Harus memenuhi syarat-syarat ilmiah, tapi juga menyentuh nilai-nilai spiritual. Kita harus berusaha bisa tanggung jawab pada semuanya. “Lek kon manusia esai, ada tahap anda akan menjadi sial, karena yang kanan akan menganggap anda berada di kiri dan yang kiri juga akan menganggap Anda bagian dari yang kanan. Akan tetapi kalau Anda atau kita sudah sakti, keduanya akan menganggap kita bagian dari mereka. Mereka tidak akan berani mempertentangkan kita.”
Sungguh, Mbah Nun sangat lembut hatinya. Beliau selalu tidak tega dengan siapa pun saja. Getaran itu terasa sejak awal hingga akhir Padhangmbulan menjelang sahur. Malam itu, para jamaah juga menimba ilmu dari Cak Mif, Cak Fuad, Kiai Muzammil, dan dipandu oleh Cak Yus.
Ketika doa penutup selesai dibacakan, dan jamaah mulai bersiap pulang ke rumah-rumah masing-masing, sudah tersongsong mereka oleh teman-teman yang membagikan mie untuk sahur mereka.