Ngelmu Iku Kalakone Kanthi Laku

Di tengah hiruk-pikuk zaman yang gemar mengagungkan informasi dan data sebagai puncak pengetahuan, ungkapan adiluhung Jawa Ngelmu Iku Kalakone Kanthi Laku hadir sebagai bisikan purba yang tak lekang oleh waktu, menegaskan kembali hakikat ‘ilmu yang sesungguhnya. Bagi Maiyah, melalui lentera pemikiran Mbah Nun, pepatah ini bukanlah sekadar rangkaian kata bijak yang pasif, melainkan sebuah undangan revolusioner untuk menyelami kedalaman makna, melampaui kulit-kulit formalitas menuju inti sari kebijaksanaan.
Mbah Nun acap kali mengajak kita untuk mendekonstruksi, membedah setiap frasa, hingga terkuak bahwa “ngelmu” bukanlah tumpukan “kaweruh” yang mengendap di tempurung kepala, melainkan cahaya yang menerangi relung batin, mengubah cara pandang, dan membentuk akhlak. Lantas, apa gerangan “laku” yang dimaksud sehingga mampu mengubah sekumpulan informasi menjadi ngelmu yang menghujam jiwa?
Dalam kacamata Maiyah, “laku” jauh melampaui sekadar “praktik” atau “aksi” dalam definisi yang dangkal. Ia adalah sebuah perjalanan panjang, sebuah tirakat batin yang tak kenal henti — dilakukan berulang kali terus-menerus. “Laku” bisa berupa kesungguhan menjalani hidup dengan prihatin, menahan diri dari gemerlap fatamorgana duniawi, hingga menapaki jalan sunyi tafakur, refleksi mendalam, dan bermanfaat untuk semua makhluk.
Lebih jauh lagi, “laku” mencakup pengalaman pahit, kegagalan, bahkan penderitaan yang seringkali menjadi guru terbaik—di sanalah empati diasah, kesabaran ditempa, dan kebijaksanaan ditemukan. Ia adalah proses konsisten dan istiqomah dalam setiap aktivitas, baik vertikal kepada Sang Khaliq maupun horizontal kepada sesama makhluk, bukan sebagai beban, melainkan sebagai wirid kehidupan yang tak terputus.
Maka, ketika ungkapan itu menyatakan “kalakone”, ia tidak merujuk pada hasil yang bisa diklaim secara mekanis layaknya rumus fisika. ‘Ilmu sejati tidak bisa “dipaksa” atau “direbut” hanya karena telah menempuh serangkaian laku. “Kalakone” lebih tepat diartikan sebagai “dianugerahkan” atau “ditemukan” sebagai buah dari keselarasan. Ia adalah momentum ketika frekuensi batin kita telah selaras dengan getaran kebijaksanaan semesta, atas izin dan anugerah-Nya.
‘Ilmu, dalam konteks ini, adalah anugerah ilahiah yang menyapa jiwa yang telah siap, yang telah membasuh dirinya melalui cucuran keringat dan air mata lakunya. Ia bukanlah harta yang bisa dimiliki, melainkan sebuah cahaya yang menyinari jalan, menuntun langkah, dan menghidupkan hati. Oleh karena itu, sudah tepat lah doa kita warzuqnii fahma. Pemahaman itu rezeki dari Allah.
Inilah esensi mengapa Maiyah selalu mendorong kita untuk melihat melampaui formalitas. Seseorang bisa saja bergelar setinggi langit, namun jika ilmunya hanya berhenti di tataran kaweruh — sekumpulan data tanpa penghayatan, tanpa proses laku — maka ia hanya akan menjadi menara gading yang kokoh namun hampa.
Sebaliknya, seorang petani sederhana yang istiqomah dengan laku-nya mencangkul, merawat tanah dengan penuh cinta, dan berserah diri pada musim, bisa jadi memiliki “ngelmu” tentang kehidupan, kesabaran, dan kearifan alam yang jauh lebih mendalam. ‘Ilmunya mengalir dalam darah, termanifestasi dalam tindakan, dan terpancar dari ketenangan jiwanya.
Pada akhirnya, Ngelmu Iku Kalakone Kanthi Laku adalah sebuah ajakan untuk bertransformasi. Dari sekadar “mengetahui” informasi-informasi dangkal, menuju “menjadi” insan yang paripurna, tercerahkan, dan berjiwa mulia. Ia adalah sebuah petunjuk jalan agar kita tidak terjebak dalam jebakan smartness yang kering, melainkan berani menempuh jalan sunyi wisdom yang menghidupkan dan bermanfaat. Ia mengingatkan bahwa keberkahan ‘ilmu terletak pada kesungguhan dalam menjalaninya, pada kemauan untuk merasakan, merenungi, dan mengimplementasikannya dalam setiap jengkal kehidupan.
Dengan laku yang tulus, ‘ilmu itu akan “terjadi” dalam diri kita, mengubah kita menjadi mata air yang tak pernah kering, membawa manfaat bagi semesta, dan mendekatkan kita pada hakikat Dzat Yang Maha Ilmu.[]
