Mengembarai Lipatan Jarak Silmi-Islam Bersama ‘Siluman’ KiaiKanjeng
Hampir setiap nama bulan dalam perhitungan penanggalan Masehi sudah ada lagunya. Beberapa lagu saya jadikan lagu wajib pada bulan tertentu merunut pada judulnya. Januari Yang Biru-nya Andi Meriem Matalatta untuk bulan Januari, Wake Me Up When September End milik Green Day, November Rain-nya Guns n Roses di bulan November. Ini adalah bulan Maret, maka mengalun lagu ini:
“Perdamaian masih pagi//Perang belum berhenti//Lalu kau siram api…//Hey! Akibatnya harus kau terima//Satanic Verses!”
Lagu ini saya rasa semua orang sudah pernah dengar dan tentu sudah mengenalinya. Benar, ini lagunya Godbless berjudul Maret 1989. Aslinya berjudul Satanic Verses, karena lagu ini memang ditujukan sebagai reaksi terhadap kasus Salman Rushdie penulis buku Satanic Verses yang saat itu menuai kontroversi di berbagai belahan dunia karena dianggap sebagai bentuk penghinaan dan penistaan terhadap agama Islam. Namun judul tersebut dirasa terlalu memancing kontroversi sehingga perlu diganti menjadi Maret 1989.
Namun ini adalah bulan Maret 2017, dan saya tidak bermaksud menulis panjang lebar mengenai lagu Maret 1989 atau tentang band rock Godbless atau tentang kasus penistaan agama oleh Salman Rushdie. Itu sudah berlalu. Pada Maret 2017 ini, kasus penistaan agama oleh seorang gubernur di ibukota “negeri seberang” masih berlanjut sedang yang bersangkutan masih akan dengan segala daya bertarung di ajang pilkada. Itu, saya juga tidak bermaskud menjelaskannya.
Ini adalah bulan Maret tahun 2017, tanggal 17. Berarti pada malam harinya akan ada rutinan Mocopat Syafaat di TKIT Alhamdulillah, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Ini adalah tanggal 17 dan ini hari Jumat. Bukan pertama kali tanggal 17 jatuh pada hari Jumat. Sudah sekitar setahun belakangan ini Kedatuan Kadipiro (maaf, kedatuan itu penyebutan saya pribadi saja) selalu menggelar shalat Jumat. Tak perlu dijelaskan ya, shalat Jumat pasti berjamaah. Bagaimana asal-usulnya bisa jadi rutin shalat Jumat di sini, mungkin pada kali kesempatan lain akan kita bahas juga karena itu juga menarik sebenarnya.
Tidak ada yang tidak istimewa hari itu. Karena memang dalam Maiyah kita selalu belajar untuk menikmati hari demi hari, waktu demi waktu dengan keistimewaan momentumnya masing-masing. Sehari sebelumnya telah beredar pesan berantai di kalangan JM Yogyakarta dan sekitarnya bahwa Kedatuan Kadipiro akan kedatangan tamu, seorang menteri dari istana negeri seberang. Negeri seberang, walau satu daratan namun ada di seberang pemahaman mengenai beberapa hal mendasar.
Dan normal saja, Jumatan berjalan seperti biasa. Mas Jamal dari tim redaktur Maiyah yang menjadi khatib saat itu. Mas Jamal mengangkat tema khutbah tentang kondisi negeri yang gaduh karena diibaratkan berada pada situasi kapal oleng. Kapal itu tidak dibangun di atas konstruksi yang benar, namun nakhoda tidak memberi pemahaman yang jelas pada penumpang mengenai kondisi objektif kapal tersebut. Begitu pun penumpangnya juga tetap saja mau dibuat percaya dengan nakhoda-nakhoda yang tidak mumpuni silih berganti memimpin pelayaran di samudera zaman. Mas Jamal juga membahas penggunaan kata pemerintah yang secara akar kata bermuasal dari ‘perintah’ sehingga memang akhirnya orang-orang di sana hanya berposisi memberi perintah dan ingin dipatuhi.
Namun tamu utusan istana dari negeri seberang belum datang pada saat Mas Jamal menyampaikan materi khutbah yang sangat padat tersebut. Barulah ketika setelah Jumatan, kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi dan kemudian teman-teman JM sedang menikmati santap lotek bersama-sama. Bukan santap siang karena kita bukan Betoro Kolo yang suka melahap matahari.
Kemudian tibalah tamu dari istana negeri seberang tersebut. Diterima dengan layak dan pantas oleh Mbah Nun, ramah namun tidak mengada-ada dan tidak berlebihan. Hal yang saya senang di Kedatuan Kadipiro ini adalah, bahwa semua orang memang diterima selayaknya namun juga tidak merendah pada nama-nama dan posisi-posisi. Segalanya wajar saja.
Mengenai apa dan bagaimana pertemuan Mbah Nun dengan tamu dari negeri seberang tersebut para pembaca yang budiman bisa menemukannya pada tulisan LBP “Mertombo” Indonesia pada Cak Nun.
Sebenarnya yang ingin saya bikin reportasenya adalah soal Mocopat Syafaat pada malam harinya, namun ini adalah sekadar pembuka dan mungkin akan menemukan kaitannya dengan apa yang akan saya tuliskan selanjutnya.
Saya sempat tertidur di Kedatuan Kadipiro, lalu dibangunkan oleh Mas Helmi. Ngobrol sebentar dengan beberapa kenalan baru dan kawan lama, dan kawan yang saya hapal wajahnya namun lupa namanya, serta banyak makhluk lain lagi. Sebelum akhirnya menyadari rokok saya habis. Saya harus pulang untuk melinting rokok lagi untuk bekal ber-Maiyah nanti malam. Nyatanya, saya malah juga membawa pipa tembakau pada malam itu.
Membenahi Pemahaman Dasar Mencegah Kapal Oleng
Saya datang ke TKIT Alhamdulillah pada malam hari dengan berniat kali itu akan meresapi suasana sambil menikmati tembakau icco dari Soppeng. Tembakau dengan pengolahan khas Sulawesi Selatan. Konon, seperti juga kaum native-Indian di Amerika, menghisap tembakau pada masyarakat Bugis tertentu (Bugis itu banyak sekali pembagiannya) merupakan hal sakral. Karena itu penjual tembakau icco akan membekali pembelinya dengan beragam nasihat dan doa-doa.
Bagi kaum native-Indian di Amerika, menghisap tembakau adalah simbol perdamaian dan juga adalah cara untuk terhubung dengan atmosfer spiritual sekitar. Mungkin bagi masyarakat Bugis juga. Mungkin ada orang Bugis yang pernah ke daratan sana, karena dulu memang ada juga dua orang putra Bugis yang menjadi bangsawan di Prancis sampai memiliki ordo sendiri dan juga memiliki tim ekspedisi pelayaran sendiri. Salah satu dari mereka tewas dalam pertempuran laut di Karibia.
Tidak ada yang tidak istimewa pada malam itu. Acara rutinan dimulakan dengan tadarrus Al-Qur`an. Saya sampai ke lokasi tepat ketika acara tadarrusan sudah hampir selesai, padahal sebaiknya memang tulisan ini saya lengkapi dengan surah apa yang dibaca pada malam itu. Mohon dimaafkan karena saya tidak sempat menjaring hal tersebut ke dalam tulisan.
Panggung kemudian di-handle oleh tim redaksi. Pada awalnya Mas Helmi sendirian menangani panggung dan membuka sesi diskusi dengan pertanyaan mendasar, “Mbak yang didepan ini umur berapa? 98 baru lahir???!!”. Oh bukan, itu selingan, yang mendasar itu yakni, ilmu atau hal apa yang telah didapatkan oleh para JM selama ikut ber-Maiyah? Jawaban yang muncul pun beragam. Dari ilmu agama, kebudayaan, politik, sampai ada yang bilang ilmu bahagia dan banyak lagi.
Tak lama bergabung pula Mas Jamal yang tadi siang jadi khatib di Kedatuan Kadipiro. Tentu masuknya Mas Jamal lebih belakangan dari Mas Helmi bukan karena beliau baru selesai khutbah jumat. Jelas bukan ya, kan khutbah jumat ndak mungkin sepanjang itu. Lagipula tadi khutbahnya cukup singkat dan padat menurut saya.
Mas Jamal dan Mas Helmi pun berkolaborasi menghasilkan komposisi diskusi yang menarik. Duet tim redaksi ini coba merumuskan bahwa yang disebut Orang Maiyah itu adalah orang-orang yang pernah mengalami ketersentuhan baik langsung maupun tidak langsung dengan Mbah Nun. Disebabkan luasnya dimensi persinggungan Mbah Nun dengan beragam bidang maka hal ini juga membuat pintu masuk persentuhan dengan Mbah Nun bisa sangat beragam.
Seorang pemuda arek Suroboyo pun mengajukan diri untuk berbicara mengenai pengalamannya. Kisahnya mengalir dengan logat Jawa Timuran yang kental. Bagi orang Jogja pada umumnya, dialeg Jawa Timuran selalu dipandang cenderung kasar. Abiyan, nama pemuda tersebut mengaku dia adalah seorang yang sangat peka. Bahkan dengan berapi-api bak seorang pejuang revolusioner dia berkata bahwa dia orang yang sangat mudah menangis. Ada kontradiksi di sini antara nada suara dan pesan yang disampaikannya, seandainya itu tidak mendapat pembuktian sekian menit kemudian, saya pasti tidak akan percaya.
Abiyan bercerita mengenai pengalaman-pengalaman yang dianggapnya cukup spiritual, bertemu Mbah Nun lewat mimpi yang kemudian berujung pada kunjungan pertamanya ke Padhangmbulan walau sebelumnya tidak mengerti apa itu. Kisahnya terus mengalir hingga pada titik kepedulian sosialnya yang tinggi dan tiba-tiba suaranya parau untuk kemudian terbitlah air mata itu, membuktikan kata-kata yang tadi diucapkannya, “Kalian tidak kasihan melihat mereka yang di jalan-jalan itu? Para peminta-minta? Gimana kalau itu kalian? Kalau itu orang tua kalian?” Saya tidak perlu melihat langsung cara dia berkata, air mata memiliki gelombangnya sendiri. Saya cukup tahu saja bahwa kata-kata itu disampaikan dengan derai air mata yang revolusioner.
Saya sedang mencoba menyalakan pipa tembakau saya, ketika giliran kedua dari JM maju. Kali ini, seseorang mencoba membuka obrolan dengan memakai bahasa kromo. Tapi bagaimanapun, tetap saja kita akan langsung tahu bahwa itu yang bicara pasti orang luar Jawa. Jawa di sini tentu Jawa sebagai wilayah geografis. Ternyata dia dari Sulawesi. Mungkin orang Bugis. Mas Helmi menyapanya dengan memanggil Habib Yusuf, entah itu memang namanya atau Mas Helmi merujuk pada Gurutta Syekh Yusuf al Taj al Khalwati al Makassari, yang menurut Syekh Nursamad Kamba merupakan orang pertama yang menggunakan kata Maiyah walau tentu memiliki persamaan dan perbedaan dengan Maiyah yang sedang kita jalani sekarang. Maka ‘Syekh Yusuf’ tersebut pun diberi kesempatan untuk berbicara apa yang ingin dibicarakannya. Mas dari Sulawesi ini rupanya seorang pengagum berat almarhum Kyai Hasyim Muzadi yang baru saja wafat, maka dia mengajak sedulur-sedulur JM untuk mendoakan arwah Kyai yang sangat beliau kagumi tersebut.
Sesi awal sebagai babak pemanasan, berlangsung dinamis. Ringan namun tetap berbobot. Serius namun penuh tawa mesra. Lebih dari itu, sesi pembuka kali ini juga mempersiapkan kita untuk membenahi pemahaman-pemahaman mendasar mengenai apa dan bagaimana serta apa saja yang telah kita dapatkan dalam selama ber-Maiyah. Karena kita telah memiliki contoh tentang sebuah negeri yang, merujuk pada khutbah Jumat tadi siang yang sepertinya juga merujuk pada analogi Mbah Nun sendiri mengenai olengnya kapal karena konstruksi dasarnya tidak tepat. Maka pembukaan ini juga adalah sesi di mana kita benar-benar memantapkan kuda-kuda atau mengeratkan mur dan baut dalam konstruksi kapal Maiyah yang sedang kita bangun bersama ini. Agar tidak oleng dihantam ombak seganas apapun.
Tak lama Mas Helmi pun mempersilahkan Mbah Nun untuk berkenan naik ke panggung berserta Bapak-bapak KiaiKanjeng.
Silmu Silmi, Siluman KiaiKanjeng
Saya tidak ingin dianggap menistakan KyaiKanjeng dengan menggunakan kata ‘siluman’ di atas. Pada saatnya kata ‘siluman’ memang terucap juga dari seorang tokoh di atas panggung.
Mbah Nun membuka pembahasan malam itu dengan menancapkan tonggak tema “Silmul Islam dan Islamus Silmi”. Kata kuncinya adalah pada ‘Silmi’ maka Mbah Nun membacakan surah Al-Baqarah ayat 208 tersebut “Yaa ayyuhalladzina aamanu dkhulu fiisslmi kaffah… monggo Pak Mus” lho? Ternyata Pak Mus masuk atau naik panggung tepat ketika kata itu. Lengkapnya ayat itu “Yaa ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffatan walaa tattabi’u khutuwatissyaithon inahu lakum aduwuun mubiin”
Titik berat pembahasan ada pada kalimat “udkhulu fis silmi kaffah” yang selama ini diartikan “Masuklah ke dalam Islam secara kaffah” (enter into Islam completely).
Pertanyaan yang diajukan adalah kenapa kata yang dipilih adalah ‘Silmi’ yang walaupun satu akar kata atau bahkan mungkin justru adalah akar kata dari ‘Islam’. Tapi ketika dalam terjemahan Indonesia pengertiannya malah ‘Islam’, maka kemudian sesi ini dikonsentrasikan untuk menarik garis antara Silmi dengan Islam. Ini bukanlah kita mencari-cari soalan baru, bukan pula mengajukan istilah-istilah baru yang nambah runyam dan mumet.
Karena kita tahu, di kalangan umat Islam umumnya terdapat istilah yang lahir dari Al-Qur`an sendiri dan ada istilah yang lahir dari ummat Islam. Seringnya dua hal ini jadi tercampur-campur, sehingga banyak hal yang lahir dari ijtihad dianggap sama bahkan tak jarang lebih beku dari istilah atau konsep dari Al-Qur`an sendiri. Metode tadabbur yang coba dipopulerkan oleh Maiyah justru adalah sebuah jurus “Peremuk Bentuk” untuk menghadapi kebakuan-kebakuan dan kebekuan konsep yang sesungguhnya wajar untuk dipahami dengan cair. Percabangan bahasan mengenai ini masih bisa dipanjangkan, tapi bisa lain kali saja dalam lain tulisan dan kesempatan.
“Kita mengalami pola pikir yang walaupun tidak salah, namun kurang menolong kita dalam memahami jarak antara Silmi dan Islam” ujar Mbah Nun.
Pemahaman mengenai penggalan ayat ini, misalnya, diartikan sementara orang dengan “Walau anda sudah bersyahadat, namun kalau belum ini… belum itu…. belum ngona… belum nganu…. berarti belum kaffah Islamnya”. Lho pertanyaannya, kapan manusia dituntut untuk Islam secara kaffah? Yang ditagih adalah Silmi secara kaffah, pun pengartian kaffah malah lebih mendekat ke ‘completely’ secara individu itu juga satu bahasan sendiri.
Kenapa kita perlu membedakan Silmi dan Islam? Karena itu juga adalah salah satu bentuk syukur yang fundamental. Wujud syukur dan pengakuan bahwa tiadalah Allah Swt menggunakan istilah atau kata yang berbeda secara mubadzir, karena Allah tidak suka yang mubadzir, yang sia-sia. Ini adalah salah satu bentuk kita menggapai kesadaran “Robbana maa kholaqta haadza bathila” kalau kita dengan serampangan bilang “Sama koq Silmi sama Islam” maka dengan sendirinya kita mengakui bahwa Allah tidak presisi menggunakan kata dalam kitab paling mulia sepanjang peradaban ummat manusia.
Benar bahwa Silmi dan Islam akar katanya sama. Tapi tidak boleh kita lepaskan perbedaan antara unsur pembentuk dengan bentuk itu sendiri. Walaupun sebuah dinding terdiri dari bahan materi batu bata dan semen, namun tidak dengan sendirinya batu bata dan semen menjadi dinding bukan? Sehingga menyebut batu bata saja atau semen saja, tidak akan sama dengan menyebut dinding. Aduh maaf jadi seperti kuliah filsafat dasar. Ini adalah penjabaran pikiran saya yang mengawang kemana-mana sambil mendengarkan penjelasan Mbah Nun. Soal seperti yang tadi itu saya rasa kita semua juga sudah pelajari ketika membahas logika Aristoteles.
Menawar Arti Kaffah
Pun, pengartian ‘Kaffah’ seperti yang sudah disinggung tadi mengalami degradasi pemahaman juga. Selama ini sekadar diartikan sebagai total, atau penuh atau sempurna. Ajuan yang disajikan oleh Mbah Nun adalah ‘kaffah’ diartikan sebagai bersama-sama, berjamaah. Ini perlu sekali dijabarkan karena, implementasi kata ‘Kaffah’ itu memang terasa sekali pada masyarakat kita yang sangat hierarkhis sehingga selalu lupa bahwa Islam tidak menganut sistem pastoral, artinya tidak ada yang berhak mengaku lebih mewakili tuhan dibandingkan manusia lainnya.
Bahwa manusia dibedakan menurut pada ketakwaannya itu betul, tapi yang berhak menentukan kualitas ketakwaan bukanlah sesama manusia. Benar bahwa di antara para manusia ada golongan waliyullah, tapi siapa yang disebut wali itu juga adalah kesepakatan antar manusia. Pun penggolongan kewalian-kewalian dari wali Qutub dan turunannya itu pun adalah hasil ijtihad manusia. Kembali seperti tadi, hal yang tidak baku jangan dibakukan secara keterlaluan walau juga tidak perlu dipersalahkan sedemikian rupa.
Perkawinan permasalahan ini saya simulasikan dalam otak saya, masyarakat yang hierarkhis, plus pengartian kaffah yang sedikit kurang jangkep. Membuat beberapa pihak merasa berhak berkata pada orang lain Islam yang itu belum kaffah. Minimal orang lain yang tidak mengikuti jalan pilihannya akan disebut awam.
Maaf kalau sedikit berputar-putar. Penjabaran dari Mbah Nun, plus aroma tembakau dalam pipa saya membuat saya berpikir kemana-mana. Kesimpulan sederhana dan sementara begini, bahwa ‘silmi’ adalah unsur terhalus dan terlembut dari Islam, yang mana Islam adalah the whole concept, gambaran keseluruhan. Keseluruhan ini maksudnya, dari yang paling spiritual hingga yang paling materi. Dari yang paling idea sampai pada tataran aplikatif. Islam adalah bangunan (bun-yaan) yang mensyaratkan unsur-unsur pembentuk itu tadi, silmi adalah unsur terhalus.
Maka ayat ini memang berbicara spiritualitas, namun menuntut juga agar kita selain meng’halus’ Silmi juga melakukannya secara kaffah atau bersama-sama. Konsekuensi logisnya, bila unsur-unsur terhalus dalam sebuah bangunan memperkuat dirinya maka sang bangunan itu dengan sendirinya akan kokoh juga.
Selanjutnya Mbah Nun mempersilahkan pada Pak Totok sebagai pendiri KiaiKanjeng untuk menyambung dengan memperkenalkan sejarah dan proses KiaiKanjeng.
Dimulai dengan Lagu “Engkau Menjelang”
Ini salah satu nomer dari KiaiKanjeng yang saya pribadi merasa lagu ini memiliki kejeniusan aransemen. Ya, harus diakui saya bukan pengamat musik profesional. Dalam lagu ini, kita diantarkan perlahan dengan iringan suara keyboard, dibuat sedikit penasaran dengan secuil kemunculan suara seruling yang meliuk namun sekejap kemudian hilang. Namun begitu masuk bagian reffrain, semua alat musik benar-benar “menjelang” muncul dengan karakter masing-masing.
Buat saya kejeniusan arranger musik adalah ketika mampu membahasakan lirik ke dalam bahasa nada, dan ini adalah salah satu lagu yang berhasil mencapai taraf itu. Permainan nuansa seperti ini selain dari KiaiKanjeng, hanya bisa saya dapati pada David Bowie dan Pink Floyd.
Pembahasan mengenai sejarah dan proses KiaiKanjeng, selain di-handle oleh Pak Toto, juga ditimpali oleh pelaku-pelaku sejarah KiaiKanjeng sejak era awal yakni Pak Nevi, Pak Jokam, dan Pak Yoyok. Dua nama yang saya sebut di awal cukup membuat saya heran dengan staminanya, karena saya tahu sebelum ke MS malam ini, dua sesepuh kita ini sore sampai malam masih latihan untuk pementasan teater. Itu saya tau karena seorang kawan saya juga terlibat dalam pementasan tersebut. Sedang bagi Mas Yoyok seperti yang beliau utarakan, tantangannya secara pribadi justru adalah kalau KiaiKanjeng pentas dan disorot kamera, karena beliau lebih sering bolos kerja sebagai PNS untuk kegiatan-kegiatan KiaiKanjeng.
Pak Totok mengurai kisah ketika era menjelang akan digunakannya nama KiaiKanjeng, juga bagaimana dulu sebenarnya terbitnya album Kado Muhammad sebenarnya adalah upaya dokumentasi karya-karya musikalisasi puisi Mbah Nun.
Sambung menyambung dengan Pak Nevi menjelaskan, dulu ada sebuah pagelaran dengan judul Satri Natpala, di mana di situlah rombongan KiaiKanjeng, (waktu itu belum ada namanya, nama KiaiKanjeng adalah untuk menyebut perangkat gamelan itu yang dibuat untuk pentas monolog Pak Kanjeng) yang merupakan pemusik dari teater Dinasti akhirnya berangkat ke Jakarta dan mesti bersentuhan dengan nama-nama besar dalam jagad belantika musik tanah air. Sebut saja di antaranya ada Dwiki Darmawan dengan Krakatau, kemudian Gito Rollies, Dewi Gita, Cici Paramida, dan Ita Purnamasari. Bagi Pak Nevi ini digambarkan seperti “kelompok musik ndeso ketemu akademisi musik”. Saya menduga yang dimaksud adalah Krakatau, mengingat aransemen-aransemen Krakatau yang memang khas, tersusun secara rapi dan sistematis, itu juga memang memiliki keindahannya sendiri.
Rupanya, pada malam itu pula di MS Pak Nevi mengalami momen kasyaf atau ketersingkapan tabir gaib. Karena ternyata setelah puluhan tahun Pak Nevi tidak tahu apa kepanjangan Satria Natpala. Baru ketika ditimpali oleh Mbah Nun “Satria Amanat Pancasila” Pak Nevi mengalami O-baru-tau-saya. Nama KiaiKanjeng baru diputuskan dipakai untuk grup ini karena mesti mencantumkan nama kelompok pada pagelaran tersbut.
Bahasan pun kemudian menjadi cair, berkelindan susul-menyusul, saling silang tanpa saling jegal. Antara bahasan mengenai sejarah dan proses KiaiKanjeng dengan materi mengenai ‘Silmi’.
Proses kreatif KiaiKanjeng dan sejarah panjangnya mendapatkan posisi yang layak bagi saya untuk dijadikan prototype bagaimana kalimat Silmi tadi bisa dijadikan metode dan cara kerja.
Silmi, yang diartikan tadi sebagai menjadi halus, melembut rupanya sudah dijalankan oleh Bapak-Bapak KiaiKanjeng kita sejak awal sehingga dengan kehalusan rasa itulah proses kreatif berjalan bersama. Ambil misal ketika Mbah Nun sedang sibuk karena sedang mengurusi jalannya reformasi namun di saat bersamaan juga ada proses rekaman untuk album KiaiKanjeng. Pada lagu “Ya Ampun’ personel KiaiKanjeng datang ke studio, proses recording, kemudian pergi. Baru kemudian Mbah Nun datang ketika sempat, membuat syair kemudian take vocal dan jadilah lagu Ya Ampun yang dahsyat itu.
Proses kerja sama dan kreativitas yang melibatkan kehalusan rasa ini yang tidak dipakai dalam pengelolaan negeri seberang yang menterinya tadi siang datang ke Kedatuan Kadipiro itu. Semua yang di sana saling mengeras, membatu dan akhirnya saling tubruk dan saling bentur satu sama lain. Maka gaduh tak berkesudahan negeri itu, sedang pemimpinnya tak mampu menjadi penengah tapi justru ikut jadi pihak yang ikutan gaduh. Entah sampai kapan.
Pak Yoyok, bassist KiaiKanjeng, sempat memberi penjelasan mengenai pembagian era musikal KiaiKanjeng. Disebut oleh Beliau, era awal album-album KiaiKanjeng adalah era musikalisasi puisi, barulah kemudian berlanjut pada era wiridan dan sholawatan. Tiga album pada era wirid dan sholawat itu pula menjadi monumental dari Zaman Wis Akhir, Perahu Nuh sampai puncaknya album Maiyah yang juga menjadi tonggak penyebutan Maiyah sebagai…. Ya, sebagai yang kita jalani ini.
Juga ada era-era album yang sebenarnya dibuat karena permintaan major label. Namun ketika sudah selesai justru KiaiKanjeng menolak untuk masuk ke major label. Harap diingat, menolak major label! Dan itu bukan nama major label kecil. Kalau saya coba menyimpulkan, album-album tipikal permintaan major label ini memang sepertinya yang bersifat easy listening, mungkin semacam album ‘Terus Berjalan’.
Perjalanan sejarah KiaiKanjeng juga adalah sejarah industri hiburan nasional. Karena beberapa hal yang dibawakan oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng sebelum-sebelumnya tidak pernah dianggap akan menjual pada masanya. Ambil saja contoh, lagu wirid dan sholawatan yang pada saat itu dianggap ngampung, ndeso. Bahkan ‘Tombo Ati’ saat itu sudah hampir punah di masyarakat, namun KiaiKanjeng menggali kembali syair itu dan melagukannya dan meledak dan beberapa tahun kemudian orang justru tahunya Tombo Ati itu lagunya Opick.
Begitupun format pengajian di televisi dengan konsep melingkar dan sang ustadz di tengah dulu adalah format yang digagas oleh Cak Nun di Indosiar pada era awal kemunculannya, ya waktu masih ada Sailormoon, Jiban dan Jiraiya tiap sore itulah.
‘Siluman’ Tanto Mendut
Pak Toto juga sempat meminta tambahan pertanyaan dari Pak Tanto Mendut yang juga hadir malam itu. Namun Pak Tanto tidak berminat untuk mengajukan tanya, atau begini saja, Pak Tanto lebih ingin berbicara semerdeka-merdekanya. Bagi siapapun yang pernah bersentuhan dengan Pak Tanto tentu sudah dapat memahami bahwa dalam hal merdeka dan berdaulat Pak Tanto bahkan saat berbicara bisa merdeka dari azas sebab-akibat. Dulu saya pernah berkesempatan mewawancarai Pak Tanto dan merasa gagal menyusun rangkuman wawancara tersebut, sebelum kemudian menyadari bahwa yang dibutuhkan ketika menyerap pembicaraan Pak Tanto adalah menyerap nuansa, bukannya menyusun struktur logika. Karena pada wilayah kelembutan itulah pengembaraan Pak Tanto Mendut menegakkan petilasan sunyinya.
Maka keluarlah semua yang perlu merasa keluar dari mulut Pak Tanto. Hamburan kata-kata, kekagumannya pada sosok Mbah Nun yang dianggapnya sebagai fenomena manusia musikal dan itu sudah pernah dituliskannya dalam media massa pada era 80-an. Syair pada pengertiannya yang paling awal terutama di wilayah Timur Tengah adalah mengandung makna selain kata-kata indah juga bersifat musikal. Bagi Pak Tanto pada zaman itu hanya ada tiga sosok yang mewakili definisi syair yang sejati tadi itu yakni Emha Ainun Najib, WS Rendra, dan Sutardji. Namun hanya Cak Nun yang dia rasa konsisten dengan kualitas musikal tadi, ini tidak bermaksud merendahkan lainnya tentu saja. Pak Tanto sangat mengapresiasi Mbah Nun karena telah memperkenalkannya pada kata tadabur yang dianggapnya memerdekakan dirinya dari kengerian formalitas agama-agama namun belum habis rasa syukur itu malam ini ditambah dengan “silmu, silmi eh apa itu tadi siluman ah wes pokokke aku tadabbur” Pak Tanto sangat menikmati hal tersebut.
Melembut, melembut itu Silmi. Lembut itu salah satunya siluman, makhluk yang masih berada pada tengah batas antara kehalusan dan wadag kasar. Mau tidak mau saya mengutak atik gathuk kepeleset lidah Pak Tanto. Entahlah, sejak dulu saya sering beranggapan keterpelesetan lidah merupakan salah satu bentuk intervensi langsung Gusti Allah pada makhluknya. Pada kasus Pak Tanto dia bisa memberi ide-ide segar, pada kasus gubernur negeri seberang keterpelesetan lidah membawa masalah.
Mbah Nun melanjutkan penjelasan, bahwa kelembutan-kelembutan ini hampir tidak dimiliki lagi oleh manusia modern. Sehingga bila bicara pilkada ibukota negeri seberang sesungguhnya siapapun yang menang ya tetap wadag kasar, tetap kesadaran rupadhatu, tetap kebijakan-kebijakan materialis. Hanya saja Mbah Nun sedikit membocorkan masukan yang diberikan pada menteri dari negeri seberang siang tadi, bahwa apabila si itu yang jadi maka lekaslah dia mengundurkan diri. Masuk akal juga menurut saya, karena cost sosial yang ditimbulkan terlampau besar bila gaya seperti itu dilanjutkan.
Islam Melintasi Ruang dan Waktu
Di tengah acara berlangsung, hujan turun. Tapi JM tetap bertahan, beberapa mencari tempat berteduh. Saya tidak perlu melakukannya karena saya sejak awal di dalam angkringan. Cuma saya sempat kagum juga melihat seorang pemuda dengan santainya makan mie rebus di tengah hujan yang makin deras mengguyur. Mbah Nun sejauh yang saya dapati tidak pernah memanjatkan doa agar hujan lekas berhenti, namun doa agar hujan tersebut menjadi hujan keberkahan bagi siapapun yang menerimanya.
Tembakau icco dalam pipa saya sudah habis, jadi abu. Menyisakan aroma dan rasa aren serta bambu dalam rongga hidung dan mulut.
Sedang Mbah Nun melanjutkan penjelasan mengenai bahwa Islam adalah cakupan luas yang merentang melintasi ruang dan waktu. Sehingga untuk mengenal kesejatiannya diperlukan jiwa yang melembut karena “yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’i ilaa robbiki rodiyatan mardiyyah” berarti yang dipanggil adalah muannats “wahai jiwa-jiwa yang tenang” pemilihan kata dalam ayat itu semua bersifat muannats atau feminin. Bukan melambai. Harap dibedakan juga melembut dengan melempem. Itu ketika dia bersifat spiritual, namun ketika ‘Islam’ dia mencakup semuanya sehingga dia mesti ada di tengah maka itulah kaum muslim adalah “ummatan washotan” ummat yang selalu ada di tengah, karena itu tadi.
Sesekali, beberapa nomer KiaiKanjeng juga dibawakan. Di antaranya Raja Diraja yang menurut Mbah Nun adalah ditujukan untuk mengkritik Soeharto pada saat itu. Juga ada dibawakan nomor Terbit Rembulan yang oleh Pak Toto untuk mengenang Mbak Mela, seorang eks vokalis KiaiKanjeng yang sekarang telah menekuni profesi mulia sebagai ibu rumah tangga. Lagu ini menurut beliau juga, dulu diproyeksikan untuk almarhum Gito Rollies.
Malam itu tanggal 17 Maret 2017 sudah berganti menjadi tanggal 18 Maret. Sudah hampir setengah empat ketika kegiatan rutinan Mocopat Syafaat ditutup. Tentu tidak semua bisa saya tuangkan dalam tulisan ini, ada keterbatasan sudut pandang saya dengan panggung ada hal-hal yang kadang luput dari penangkapan saya atau kadang karena sedulur JM yang entah sejak kapan duduk di sebelah saya dan sebegitu baik dan ramahnya tiap semenit sekali menawarkan gorengan, menawarkan kopi, menawarkan ini-itu padahal saya sedang konsentrasi memahami apa yang terjadi di panggung agar bisa menuliskan reportase.
Tapi kemudian saya sadari, menuliskan reportase di Maiyah bukan sekadar menuliskan apa yang di panggung tapi juga menuliskan nuansa dan salah satu nuansa itu ya seorang saudara asing di sebelah saya ini yang benar-benar ramah walau saya tidak kenal. Lewat sini juga saya mau sampaikan matur nuwun sama Mas itu dan maaf harus saya cuekin karena pengen benar-benar menulis point-point ilmu yang akan saya tulis lewat hape.
Malam itu, tidak ada yang tidak istimewa. Ada pertanyaan-pertanyaan, kajian bahasan Mas Sabrang, puisi Pak Mustofa W. Hasyim, ada gelegar Kyai Muzammil, ada sapaan halus, ada hujan, ada tawaran gorengan, ada penanya-penanya, ada yang nyenggol hape saya sampai jatuh, ada mbak-mbak yang ndak berjilbab dengan kacamatanya yang imut di sana, ada ini, ada itu, ada banyak sekali dan tidak ada yang tidak istimewa. Namun sayang, saya tidak bisa mencakupkan semuanya ke dalam satu tulisan singkat ini.
Maka saya mesti belajar untuk menjadi lebih lembut lagi agar bisa memasuki jagad silmi, yang lebih hembus dari angin lebih cair dari percik namun tidak anti pada padatan ketika memang dibutuhkan. (Muhammad Zuriat Fadil)