Kemarau Politik Tak Pernah Mati, Ia Hanya Berganti Kalender
Bayangkan sebuah doa lahir di tanah kering, di Desa Tarus, Kupang — Nusa Tenggara Timur. Tanggalnya: 1 Juni 1992. Emha Ainun Nadjib menulis, bukan di gedung parlemen atau ruang redaksi ibukota, melainkan di pinggir lanskap yang retak oleh terik. Judulnya: Doa Kemarau Politik yang Teramat Panjang. Sebuah judul yang tak sekadar menamai, tapi seakan menuding: ada musim panjang yang tak kunjung berganti, ada tanah politik yang kehilangan hujan.
Doa ini lalu terkumpul dalam buku Sesobek Buku Harian Indonesia (1993) — seperti sobekan kertas dari catatan bangsa yang belum rampung. Kini, tiga dekade kemudian, sobekan itu dihidupkan kembali dalam bentuk baru: sebuah program di kanal YouTube caknundotcom. Dari medium cetak ke layar digital, dari halaman kertas ke aliran sinyal. Apa yang berubah? Mungkin hanya alatnya. Sebab isi doa, getir dan panasnya, tetap terasa akrab.
Kemarau politik, kata Cak Nun, bukan sekadar metafora. Ia adalah pengalaman keseharian bangsa. Ia mengendap di perasaan rakyat yang terbiasa menunggu janji. Di jalanan kota, di meja-meja warung kopi, di dalam ruang kelas yang atapnya bocor, rakyat selalu menunggu turunnya hujan demokrasi yang tak pernah benar-benar deras.
Lalu apa artinya doa di zaman “era digital” ini? Bukankah kini kita disuguhi pesta kata-kata di media sosial, banjir wacana yang membius, tapi tetap saja terasa kering? Politik masih seperti padang tandus: penuh suara, tapi jarang memberi sejuk.
Maka, barangkali yang dipertaruhkan dalam program ini bukan sekadar nostalgia pada karya lama, melainkan pengingat: doa itu masih relevan, karena kemarau itu belum berakhir. Bahkan mungkin makin memakan waktu yang teramat panjang.
Dan kita, para penonton layar, diajak bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk menatap cermin sejarah. Apakah kita masih bangsa yang pandai berdoa tapi takut menanam benih? Atau kita hanya puas menjadi saksi kemarau, menulis status tentang kekeringan, tanpa berani menggali sumur sendiri?
Program baru ini, seperti doa itu, adalah undangan. Bukan undangan untuk percaya begitu saja, melainkan undangan untuk gelisah. Untuk menimbang: apakah kita masih hidup di tengah doa yang sama, atau sudah diam-diam menjelma menjadi kemarau itu sendiri.
Doa ditulis di tanah yang kering. Tarus, Kupang. 1992. Sebuah garis waktu yang tak sederhana: 1 Juni, hari kelahiran Pancasila, tapi juga hari kemarau.
Cak Nun menulis doa. Tapi doa bukan permintaan. Doa adalah jeritan, atau mungkin: strategi bertahan. — Kemarau politik. Kata-kata yang terdengar tua, tapi tetap muda. Seperti luka yang tak menua — Kita kini menyaksikan doa itu ditayangkan di YouTube caknundotcom. Apakah ini sekadar nostalgia? Atau semacam pengadilan — bagi zaman yang berjanji akan berubah tapi ternyata melanjutkan kekeringan? — Dulu, di tahun 1993, doa itu jadi buku: Sesobek Buku Harian Indonesia. Sesobek, artinya tidak utuh. Seperti bangsa ini: selalu ada yang hilang, yang tercecer. — Kini, 2025. Apa yang berubah? Kita punya layar, punya jaringan. Tapi tanah masih pecah, retak, penuh debu janji.
Doa yang dulu lahir di Tarus Kupang, NTT itu adalah cermin. Ia memantulkan wajah kita hari ini: haus, tapi juga lupa bagaimana menanam. — Atau jangan-jangan, kita lebih suka kemarau. Karena di kemarau, kita bisa selalu berkeluh, selalu berharap, tanpa perlu benar-benar bekerja. — Doa, akhirnya, adalah tuduhan. Bukan kepada langit, tapi kepada kita.
Maka yang tersisa hanya satu pertanyaan: berapa lama lagi kita hendak hidup di dalam kemarau yang kita pelihara sendiri? []
