CakNun.com

72 Tahun Mbah Nun dan Risalah Kelahiran

Padhangmbulan edisi Ulang Tahun ke-72 Mbah Nun, Mentoro, Sumobito, Jombang, 27 Mei 2025
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit

Ada yang menyebut bulan Mei adalah bulannya Mbah Nun. Penanda waktu yang sarat makna. Mei bukan hanya identik dengan Reformasi 1998 — tonggak sejarah yang mengguncang kekuasaan dan membuka jalan bagi perubahan — tetapi juga bulan kelahiran seorang manusia: Muhammad Ainun Nadjib.

Peran Mbah Nun dalam Reformasi 98 bukan sekadar catatan kaki. Ia hadir, mengawal dari balik tirai sejarah, hingga mengantar Presiden Soeharto lengser dengan legawa — ora dadi Presiden gak patheken. Meski catatan ini kini kerap dibengkokkan oleh bias dan kabut talbis sejarah, nilai dari kehadiran Mbah Nun tetap berada dalam janji Allah: khoiron yaroh, syarron yaroh.

Dan seperti takdir yang menyusun bait-bait puisi kehidupan, Mei juga menjadi bulan kelahiran Mbah Nun. Di sudut timur-selatan Kabupaten Jombang, tepatnya di Desa Mentoro — titik koordinat bumi-langit sedang ditata oleh Allah sebagai tempat lahir seorang hamba dari rahim Ibu Halimah.

Koordinat itu tidak bisa ditangkap sepenuhnya oleh — meminjam istilah Prof. Muhammad Nuh: explicit knowledge — ilmu yang dipelajari dalam sistem pendidikan formal, administratif, dan kurikuler. Pendidikan formal — bersama segenap turunan versinya — tidak cukup luas untuk mewadahi cakrawala, semesta kreativitas, dan hikmah perjalanan Mbah Nun. Dalam kaca mata pendidikan formal, Mbah Nun tampak sebagai sosok “pemberontak.”

Namun, yang mampu menaklukkan “pemberontakan” itu bukan sistem formal, bukan kepintaran akademis, bukan fatwa mursyid — melainkan kasih seorang ibu. Ibu Halimah, melalu pesan yang disampaikan lewat Mbah Fuad, menjadi perantara transformasi itu. Mbah Nun berkata: “Demi ibu saya…” Dan dari sana, mengalirlah dinamika tacit knowledge — ilmu yang tidak dihafal tapi dialami; tidak diajarkan tapi dihayati. Ilmu yang dipetik dari langit dengan “sidik paningal” pengalaman langsung, diasah oleh tajamnya nalar najibiyah, diaduk oleh kebijaksanaan “Muhammad,” dan ditanamkan dalam lubuk tauhid sebagai shohibu baity.

Maka, mata pandangan explicit knowledge akan terus buram — mblereng — dalam merumuskan siapa sebenarnya Muhammad Ainun Nadjib. Bagi mereka yang hanya mengandalkan terang rasionalisme dan indikator akademik, Mbah Nun tampak seperti lelembut: tidak selalu terlihat, tapi jejak dan pengaruhnya sangat nyata.

Kini, kepingan-kepingan puzzle itu dirangkai kembali. Bukan untuk membentuk figur budayawan, kolumnis, sastrawan, penyair, kiai, atau orator — kostum-kostum yang akrab dalam katalog explicit knowledge. Tapi untuk mengenalkan kembali (Mbah) Muhammad Ainun Nadjib sebagai manusia, hamba, khalifatullah.

Lalu, lahirlah buku “Cak Nun” — juga pada bulan Mei.

Buku “Cak Nun” hadir sebagai ruang kesaksian antarmanusia: teman dekat, sahabat, sesama pejalan sunyi. Harapannya, buku ini bisa menjadi reflektor — kaca pemantul — tempat kita bercermin. Melihat wajah kita sendiri, lingkungan kita, bangsa kita, juga (yang katanya) “negara” ini.

Sebagai persembahan cinta dan syukur, Pengajian Padhangmbulan diselenggarakan pada Selasa, 27 Mei 2025, di Mentoro, Sumobito, Jombang. Acara ini dikemas sederhana, khusyuk, dan penuh syukur. Selain mensyukuri 72 Tahun Mbah Nun, momentum ini juga dimaknai sebagai kelahiran kita bersama. 

Lahir kembali bagaimana? Mlungsungi 72 tahun.

Surat ke-7 adalah Al-A’raf; ayat ke-2 berbunyi:

(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad), maka janganlah engkau sesak dada karenanya supaya dengan (kitab itu) engkau memberi peringatan, dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-A’raf: 2)

Kini, tantangan terpampang di depan mata. Apa itu “kitab”? Apakah hanya teks? Atau juga wahyu yang hidup? Kita memaknainya sebagai pengalaman batin yang hidup dan menghidupi. Kitab bukan untuk sekadar dibaca, tapi dijalani. Interaksinya bukan legal-formal, tapi dinamis — merespons ruang batin dan irama zaman.

Kenapa Nabi bisa “sesak dada”? Apa hubungan antara wahyu dan tekanan batin? Bagaimana dengan dada kita? Ayat ini membuka kesadaran bahwa menerima kebenaran tidak selalu membawa ketenangan, tapi bisa juga menimbulkan beban, kegelisahan, bahkan keterasingan. Namun, kegelisahan itu bukan pengkhianatan terhadap iman — melainkan bagian dari tumbuhnya kesadaran spiritual dan kebangkitan komunal (jamaah).

Sementara itu, “peringatan” tidak selalu harus dimaknai sebagai ancaman. Ia bisa berupa panggilan lembut — undangan batin untuk sadar dan bangkit dari kelalaian. Wahyu menjadi cahaya. Ia hadir bukan untuk mengintimidasi, melainkan menuntun, merangkul, dan mengayomi. Dan “pelajaran” bukan hanya untuk yang merasa sudah “beriman”. Tapi bagi siapa saja: saya, Anda, dan kita semua yang mau membuka hati.

Selamat Milad ke-72, Mbah Nun.

Ngapunten sanget. Mohon maaf sebesar-besarnya. Kami masih terbata-bata mengeja tadabbur Al-Qur’an, dan tertatih-tatih menjadikannya cahaya dalam hidup sehari-hari.

Jombang, 26 Mei 2025

Lainnya

Api Yang Tak Pernah Padam

Api Yang Tak Pernah Padam

HARI INI, 72 tahun yang lalu, di sebuah desa kecil bernama Menturo — sekitar 15 kilometer timur laut pusat Kota Jombang — lahirlah seorang bayi laki-laki dari pasangan Bapak Muhammad Lathif dan Ibu Halimah.

Munzir Madjid
Munzir Madjid

Topik