CakNun.com

Bukunya berjudul Cak Nun

Ahmad SM
Waktu baca ± 2 menit

Buku berjudul Cak Nun sudah terbit. Saya sudah dapat 1 eks free, alhamdulillah. Belum saya buka plastiknya. Masih saya bolak-balik sampul depan belakang. Entah — eman untuk membukanya. Niat saya, akan saya jadikan jimat. Biar nanti dibuka oleh cucu saya. (Biasanya cucu lebih progresif merespons daripada anak).

Dipajang di perpustakaan ruang tamu. Dideret di rak buku rumah. Biar energi jimatnya merasuk di dalam rumah.

“Ih tahayul deh…,” kata orang seberang. “Tahayul adalah kepercayaan atau anggapan yang tidak berdasarkan logika, fakta, atau bukti ilmiah, tetapi lebih pada mitos atau tradisi yang dipercaya membawa keberuntungan, kesialan, atau pengaruh tertentu.”

“Yo sudah gakpapa tahayul…,” jawabku. Orang itu tertawa sinis meremehkanku.

Aku spontan nyolot dan ceramah.

“Hal-hal seperti ini kamu suka mengusik. Ketika temanmu kelaparan, kamu diam. Ketika pajak mencekik rakyat, kamu diam saja. Ketika ada kepalsuan viral, kamu diam saja. Ketika temanmu sedih, kamu tidak menghiburnya. Ketika Kyaimu korupsi, kamu masih saja cium tangannya. Ketika pacarmu sumpek, kamu pura-pura tidak tahu. Ketika agamamu dihina,.kamu diam saja. Dan seterusnya….” Saya ngomyang panjang.

Kembali ke Buku berjudul Cak Nun. Melihat ketebalan dan harganya, saya senyum-senyum. Apa ada yang mau beli. Apa ada yang berminat. Ini ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Membeli buku dengan harga setengah juta, pasti banyak yang mikir-mikir.

Akhirnya aku ada cara iseng memasarkan. Di WhatsApp saya, banyak sahabat yang sering menyapa menanyakan kabar Mbah Nun. Saya iseng me-reply WA lama mereka dengan cover buku dan caption cara membelinya. Ikhtiar. Menjaring. Memantik. Sambil mbatin, “Ini beli saja. Tanya tentang Mbah Nun next akan saya jawab….” Maafkan keisengan ini kawan. Terima kasih.

Lainnya

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kalau kita mengira kapitalisme itu barang baru — barang impor dari Belanda, Amerika, atau paket kiriman dari IMF — maka itu artinya kita sedang melupakan nenek moyang kita sendiri.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik