Forum Bukan Sekadar Berulang, Tapi Berpola


Menjelang ulang tahun ke-72 Cak Nun, para penggiat simpul Maiyah dari berbagai penjuru mengikuti Zoom Series perdana bertajuk Kiat Menyusun Tema, Prolog, dan Catatan Diskusi. Sesi ini melanjutkan semangat dari kuliah umum bersama Yai Tohar sebelumnya, sekaligus menjadi awal dari rangkaian diskusi untuk saling belajar antar simpul.
Saya sendiri menjadi moderator malam itu. Karena ini putaran perdana, jujur saja saya sempat ragu apakah sesi ini akan cukup menarik? Apakah peserta akan bertahan sampai akhir? Ternyata, kekhawatiran itu tidak terbukti. Dua jam berlalu begitu cepat, dengan diskusi yang hangat dan penuh antusiasme.
Materinya sederhana, hanya lima slide. Tapi justru karena itu, pembahasannya padat dan tidak bertele-tele. Mas Rizky Dwi Rahmawan, penggiat Juguran Syafaat dan mantan koordinator simpul, membawakan sesi ini bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai sesama penggiat yang berbagi pengalaman dan cara kerja.
Yang ditekankan bukan kemampuan menulis, melainkan pentingnya menata gagasan (idea generating) dan pentingnya kembali menyadari bahwa forum-forum yang kita bangun adalah ruang pelayanan (service mindset). Sekecil apa pun peran kita di forum simpul akan dilihat, dibaca, dan bisa diwariskan. Maka, menyusun tema, mukaddimah, dan catatan diskusi bukan pekerjaan sepele.
Mas Rizky menegaskan satu hal yang menjadi jantung sesi: otak manusia tidak didesain untuk menyerap pengetahuan (knowledge absorption), tapi untuk mengenali pola (pattern recognition). Ini mengutip pesan Mas Sabrang. Pola tidak muncul sendiri, ia harus disusun. Kalau tidak, pengetahuan mudah hilang. Kita bisa terus bergerak tanpa sadar arah.
Di tengah sesi, Mas Rizky mengingatkan bahwa catatan kita hari ini bisa jadi arsip berharga untuk generasi 30–40 tahun mendatang. Sayangnya, kesadaran ini kerap diremehkan. Padahal selama bertahun-tahun kita rutin menggelar forum diskusi. Tapi karena tidak ditata dan ditarik polanya, semua itu berpotensi menguap.
Sesi malam itu semakin hidup karena ada berbagi dari simpul lain. Dari Suluk Surakartan, Solo, misalnya, dibagikan bagaimana tema digodok oleh penggiat inti, dikaitkan dengan kondisi aktual, lalu diselaraskan dengan panduan dari koordinator nasional. Dari Gambang Syafaat, Semarang, mereka bahkan menyusun tema untuk satu tahun dengan basis filosofi dan bahasa Jawa. Mas Rizky menanggapi bahwa praktik seperti itu adalah wujud dari merancang pola aktivitas sendiri.



Setelah pemaparan prinsip, masuk ke bagian teknis. Ada tiga pendekatan dalam menyusun tema:
- Frasa ber-punchline, menarik secara bunyi tapi perlu makna kuat agar tak kosong.
- Mengangkat istilah khas Maiyah, untuk memperkuat kosakata dan arah gerakan.
- Frasa sederhana tapi mengandung ide kuat, seperti contoh “Dijajah Praktis” dari Juguran Syafaat.
Untuk mukaddimah, cukup tiga paragraf yang memuat problem, agitasi, dan solusi. Untuk catatan diskusi, tak perlu mencatat semuanya. Cukup dua lapisan: gelembung besar (alur pemikiran), dan gelembung kecil (nuansa atau insight).
Di akhir, Mas Rizky memberi PR ke tiap simpul: menuliskan daftar tema dari edisi pertama mereka, lalu mengelompokkannya sesuai pendekatan masing-masing. Tujuannya agar apa yang kita bangun tidak hilang begitu saja. Dengan menarik pola dari jejak sendiri, kita bisa mengenali kecenderungan, memperbaiki kebiasaan, dan menajamkan arah.
Mas Rizky menutup dengan peringatan tentang habit trap: kebiasaan yang tak sadar bisa menjadi jebakan. Seperti menyusun tema hanya demi kata-kata unik, membuat mukaddimah normatif tanpa substansi, atau mencatat diskusi sekadarnya. Padahal, kita harus terus waspada agar forum kita tak berubah jadi ruang formalitas tanpa kesadaran.
Malam itu saya pulang dari layar Zoom dengan semangat baru. Bahwa kerja kita bukan hanya untuk bulan ini, tapi untuk masa depan. Forum maiyahan, sekecil apa pun, adalah ruang belajar berpola. Bukan sekadar rutinitas berulang.