33 Abad Sesudah Ten Commandments
Salah satu surat yang kita semua hafal sejak balita adalah “Al-Falaq”. Tetapi untuk menyelaminya hingga ke lubuknya yang paling dasar, mungkin diperlukan sekian puluh tahun menjalani usia, mengalami kehidupan sesama manusia, mengalami dialektika sosial, benturan-benturan dalam kehidupan bernegara. Terutama puluhan tahun sukaria dan duka derita berada di tengah ratusan juta warganegara yang tidak punya kesadaran bernegara dan tidak mengerti bagaimana bernegara.
Di senja hari kehidupan, akhirnya saya menyusun sendiri 10 Perintah, dari diri saya diri kepada diri saya sendiri.
- Jangan sebut namanya, aslinya maupun kependekannya, dengan lisan maupun tulisan.
- Jangan sebut nama itu, keluarganya, istri dan anak-anaknya, serta asal-usul nasabnya.
- Jangan sebut namanya, takhayulnya, mitologinya serta penisbahan keberhalaannya.
- Meskipun tidak layak, layakkanlah. Meskipun tidak pantas, pantas-pantaskanlah. Meskipun tidak mampu, anggaplah mampu.
- Jangan sebut kendaraan pengangkutnya, kelompok kusirnya hingga mesin dan jalanan dan tlundhakan yang ditapakinya hingga ke puncak. Jangan sebut pemuja-pemujanya, pembela-pembelanya, budak-budaknya di sungai-sungai, parit-parit maupun blumbang-blumbang.
- Jangan sebut namanya, jangan memotretnya, mempersepsikannya, menganalisanya, apalagi mempertanyakan dan mengkritiknya.
- Jangan larang orang menuhankannya, menyembah berhalanya, berbakti dan mendapatkan penghidupan darinya.
- Jangan menentang orang yang mengkuduskan namanya, menjunjungnya sebagai Nabi atau Tuhan.
- Jangan hormati siapapun kecuali ia dan para pengikutnya.
- Jangan membunuh, kecuali atas mereka yang menentangnya. Jangan berzinah, kecuali dengan sesama pemujanya. Jangan mencuri, kecuali bersamanya beserta pendukungnya. Jangan bersaksi dusta, kecuali untuk keuntungannya beserta para pemujanya. Jangan mengingini apa saja secara tidak adil, kecuali atas izinnya.
Sebagaimana sebagian sudah saya kisahkan ala kadarnya seingat-ingat saya tentang kehidupan masa kecil saya di Menturo, kemudian menjelang remaja di Gontor, remaja di Yogya hingga dewasa dan tua. Yang di tengah itu semua, terutama mulai dewasa dan berkesenian di Yogya, kemudian bermaiyah sampai tua di Kadipiro, bagian dari pengalaman hidup yang paling “njarem” secara mental dan mungkin potensial “traumatik” secara kejiwaan, adalah semakin mustahilnya kebenaran hidup diungkapkan. Tidak pernah redanya fitnah, milara, mencelakakan, bahkan hakikatnya membunuh. Tidak sekadar salah paham atau gagal paham, tetapi memang banyak sekali manusia yang tidak mau paham, serta bahagia memelihara ketidakmauannya untuk paham.
Sudah banyak kiat-kiat dari Allah melalui Al-Qur`an yang saya pakai, misalnya “in ja`akum fasiqun binaba`in fatabayyanu” karena efeknya “an tushibu qouman bijahalah”. Sudah saya implementasikan segala tuntunan tentang kebijaksanaan, kesabaran, ke-legowo-an, ke-sumèlèh-an, serta formula-formula sangat banyak lainnya dari Kitab Allah maupun dari kearifan peradaban masyarakat.
Mungkin makharij itu bisa menolong manusia untuk meningkatkan ketahanan mental, kesamuderaan jiwa atau keikhlasan hidup. Ia efektif ke dalam diri. Akan tetapi tidak berarti akan berkurang tekanan-tekanan dan fitnah-fitnah dan pencelakaan-pencelakaan yang berseliweran dan bertaburan seperti beribu-ribu peluru nyasar mengepung kita. Bahkan bisa jadi menancap ke tubuh kehidupan kita ribuan anak panah kejahatan seperti yang tergambar pada Begawan Bisma dalam Perang Bharata Yudha.
Jadi sebagai warga suatu negara, kita bukan hanya berada sangat jauh dari kemungkinan untuk turut menyembuhkan keadaan negara dari multikompleks penyakit-penyakitnya. Bahkan untuk mengantisipasi sakit kita sendiri masing-masing saja belum tentu kita dan saya mampu. Kalau membaca ayat-ayat tertentu yang difirman Allah Swt., terkadang rasanya sia-sia saya menulis 100 buku, menyebarkan ribuan karya lainnya selama 50 tahun di berbagai media. Juga Maiyahan-maiyahan tanpa henti dengan rekor waktu maupun formula komunikasi yang kadang-kadang seakan terasa istimewa dan unggul dari yang pernah ada. Rasanya tidak akan ada bekasnya semua amal saleh apapun yang kita kerjakan secara total dan tanpa henti selama setengah abad. Rasanya tidak pernah akan ada manfaatnya seluruh lara-lapa puluhan tahun tanpa lelah tanpa terengah-engah bahkan tanpa mengantuk. Itu semua terhapus seperti peribahasa “Kemarau 50 tahun terhapus oleh hujan sehari”.
Sehingga tidak mengherankan, bahwa di abad ke-21 ini saya mengalami peradaban tahun 1303-1203 sebelum Masehi. Sedemikian rupa sehingga Allah menurunkan 10 Perintah dari langit kepada Nabi Musa As di Bumi:
- Akulah Tuhan, Allahmu, Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu.
- Jangan menyebut Nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat.
- Kuduskanlah hari Tuhan.
- Hormatilah ibu-bapamu.
- Jangan membunuh.
- Jangan berzinah.
- Jangan mencuri.
- Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu.
- Jangan mengingini istri sesamamu.
- Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.
Sampai hari ini The Ten Commandments 33 abad silam itu bukan hanya masih dan tetap relevan untuk diwahyukan, melainkan justru semakin relevan dan urgen.
Di zaman Nabi-Nabi dulu ajaran yang mereka komunikasikan kepada ummatnya disertai logika dan hukum sebab-akibat atas kelakuan baik dan buruknya manusia, sehingga ummatnya menerima itu sebagai ancaman. Terutama karena ada klausul sorga dan neraka.
لَقَدۡ وُعِدۡنَا نَحۡنُ وَءَابَآؤُنَا هَٰذَا مِن قَبۡلُ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّآ أَسَٰطِيرُ ٱلۡأَوَّلِينَ
“Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman (dengan) ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu kala!”
Di zaman sekarang ini ancaman bukanlah yang diinformasikan olah ayat-ayat Allah. Ancaman bukan lagi ancaman. Ancaman bukan berpuncak di neraka. Ancaman sehari-hari justru berasal dari sesama manusia. Bersumber dari subjektivisme kekuasaan. Dari Oligarki yang semakin dibungkus dengan kardus-kardus dan merk-merk pembenaran. Dari beribu tentakelnya yang mengepung manusia dan masyarakat seperti wabah.
Saya dan Jamaah Maiyah tentu saja bukan takut kepada ancaman yang berupa kekerasan yang mengarah pada sakit dan kematian. Yang saya takutkan adalah ancaman yang bersifat menjijikkan dan memuakkan. Yang muncul dari berbagai hal yang sekarang melimpah-limpah dan mengepung kita semua.
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ
“Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Tetapi faktanya mereka tidak jijik sehingga melakukannya terus-menerus dan tak henti-henti. Posisi mereka adalah simbiose mutualistik dengan media-media yang memang menyediakan kemerdekaan untuk memfitnah, menista, mencerca, mengadu domba, dan merusak kehidupan. Media-media itu meraup keuntungan, mereka juga menghimpun laba sebanyak-banyaknya dengan “ya`kulu lahma akhihi”. Mereka adalah Masyarakat Pemakan Bangkai. Rasa jijik mereka rupanya sudah dialihkan kepada korban-korbannya. Mereka sendiri bahagia dan bersorak-sorak gembira.