Menemukan Bangunan Ilmu di Maiyah

Mbah Nun mengulas pendidikan? Entah sudah berapa kali, mungkin tak terhitung lagi. Baik di tulisan esai hingga di setiap Maiyahan, term pendidikan selalu menjadi pilar utama. Selain menguraikan tema pendidikan secara substantif-maknawi, Mbah Nun juga menyampaikan terminologi pendidikan dari sisi praktis.
Pendidikan tidak selalu terkait dengan kapur tulis, bangku, buku diktat, dan sekolah. Fokus perhatian Mbah Nun mengarah pada makna dan pengertian pendidikan secara luas dan dalam. Kalau kita mengikuti Maiyahan, apa yang Beliau sampaikan selalu berangkat dari keutuhan terminologi, kepaduan cara berpikir, keterpaduan cara bersikap yang utuh. Bukankah semua itu adalah bidang garap pendidikan?
Demikian pula yang saya jumpai saat mengikuti Maiyahan di STAI Hasanudin Pare Kediri. Mbah Nun menawarkan acuan berpikir yang diambil dari tiga surat: surat Al-‘Alaq, ayat terakhir surat Al-Hasyr dan surat Fathir 27-28. Momentum wisuda STAI Hasanudin menjadi momentum untuk memetik buah-buah ilmu. Di majelis ilmu Maiyahan pendidikan memperoleh perlakuan yang mulia.
Misalnya, momentum wisuda di STAI Hasanudin Pare dimaknai Mbah Nun sebagai tahapan pencarian ilmu. “Wisuda itu berarti sudah mencapai tahap tertentu dalam pencarian ilmu”, kata Mbah Nun. Seorang wisudawan harus mengenal medan pertempuran, mengerti kekuatan lawan, memahami keadaan logistik pasukan, dan mempelajari strategi lawan. Lalu Mbah Nun mengaitkannya dengan perintah Iqra’—yang dibaca tidak melulu teks atau tulisan. Bahkan aktivitas membaca bisa dilakukan dengan mendengar suaraning asepi.
Mbah Nun mengulas ayat pertama surat Al-‘Alaq dengan cara yang tidak lazim. “Iqra, bacalah! Apa yang dibaca, siapa yang membaca, apa metode yang digunakan untuk membaca?” tanya Mbah Nun. Rangkaian pertanyaan itu diajukan Mbah Nun untuk menemukan ummul ilmi, ibunya ilmu atau pok-pokane ilmu. Untuk apa? Agar setiap mempelajari apa saja atau satu bidang ilmu tertentu kita tidak kehilangan akar substansinya. Bangunan ilmu atau bun-yanul ilmi-nya jadi ketemu. Sehingga terminologi keilmuan akan selalu terkait satu sama lain dan bisa di-silaturrahim-kan irisan-irisan titik temunya.
Apa hubungan ayat Iqra dengan jenis-jenis senjata pistol? Di majelis ilmu Maiyah bukan cara berpikir yang aneh ketika dua hal yang seolah-olah tidak berhubungan itu menemukan titik temunya. Rumput dengan lauhul mahfudz, asbak rokok dengan perahu Nabi Nuh, kamera digital dengan malaikat Jibril, sandal jepit dengan padang mahsyar—semua itu bukan hanya mungkin untuk bertemu, tetapi “wajib” ditemukan bangunan ilmunya.
Maiyahan di STAI Hasanudin Pare serta di sejumlah tempat lainnya, Mbah Nun mengajak jamaah menemukan gathukan-gathukan ilmu itu. Selain pola kerja sama yang tumbu ketemu tutup antara Mbah Nun dan KiaiKanjeng, para sesepuh yang duduk di barisan depan juga menjadi mitra dialog untuk menemukan bangunan ilmu. Mbah Nun mengaransemen setiap “nada-ilmu” dalam irama yang tepat sesuai alam berpikir jamaah.
Maka, di setiap Maiyahan nyaris tidak kita temukan hal-hal yang tidak saling terkait satu sama lain. Persoalan-persoalan lokal yang disampaikan jamaah dikhalifahi melalui cara berpikir yang bijaksana. Ditarik ke dalam pemaknaan yang mendasar untuk merakit komponen hidup bebrayan yang indah.
Membahas tema pendidikan bukan hanya berbicara soal “pendidikan” saja. Ia akan bersentuhan dengan tema bidang-bidang lain yang seolah-olah tidak berhubungan. Dekonstruksi tema pendidikan yang berkutat pada sekolah dan pendidikan tinggi semakin menemukan urgensinya, mengingat semakin kuat pula arus pengkotak-kotakan cara berpikir. Di majelis ilmu Maiyah kita belajar terus-menerus untuk memiliki keutuhan bangunan ilmu. Dan kita tidak gagap lagi menemukan kaitan antara rumput dengan lauhul mahfudz.[]