Warisan Ngelmu Mbah Nun


Pasti ada yang dia incar di sini. Jangan-jangan termasuk Mbah Nun. Orang berperawakan tegap berambut klimis itu siaga di depan pintu. Matanya memburu, mengawasi setiap gerak-gerik orang. Saya mencoba menyelinap masuk ke kerumunan.
Ruangan ini sempit. Cahaya remang. Tak ada jendela. Pengap dan sesak. Tapi saya harus keluar, menghindari tatapan tajamnya. Dua kawannya berkeliaran di antara 300 orang.
Si tegap lengah. Saya menyambar celah, menyusup lewat pintu di belakangnya. Turun cepat lewat tangga. Akhirnya keluar. Sendirian. Mbah Nun masih di atas, bersama imigran lain. Tapi ternyata di bawah, ada si tegap lain berwajah lebih sangar.
“Mana kamera? Sini!” bentaknya. Saya kaget, tak sempat mengelak. Saya buka galeri kamera—kosong. “Macam mana bisa tak ada isinya?” desaknya.
“Memang tak dipakai,” jawab saya. Ia merampas kamera, memeriksa sendiri. Saya lihat lencana di dadanya: Polis Diraja Malaysia. Tak berseragam, hanya kaos hitam berkerah. Setelah puas, kamera dikembalikan tanpa sepatah kata. Saya lega. Abang polisi itu tak tahu, kartu memorinya sudah saya cabut saat di tangga tadi. Hehe.
Sebenarnya isinya biasa saja: video rekaman ceramah Mbah Nun dan pekerja imigran Indonesia—anggota PSHT. Kami baru dua jam mengaji di dalam. Tapi sejak tadi, panitia sudah berbisik, “Awas, ada polisi cari wartawan. Sampeyan bawa kamera!”
Hari itu 1 Mei 2018. Politik Malaysia memanas jelang pemilu. Saking panasnya, kegiatan berkumpul dicurigai aparat. Rasanya mirip akhir Orde Baru. Konstelasi politiknya juga. Tapi tanpa penculikan. Walaupun sempat terbersit perihal culik-menculik saat dihadang abang polisi tadi. UMNO, penguasa puluhan tahun, sedang digoyang Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim. Nanti hasilnya: akhirnya rezim Najib Razak yang korup itu pun tumbang dan Mahathir—saat itu berumur 92, sekarang sehat bugar 100 tahun—menjadi perdana menteri lagi.
Hari itu masa tenang menjelang coblosan. Panitia sudah ajukan izin acara outdoor, ditolak polisi. Akhirnya diam-diam mereka selenggarakan indoor di lantai dua kompleks ruko. Tempatnya sehari-hari adalah diskotik. Penerangannya minim, dinding merah gelap, langit-langit hitam. Tak ada jendela.
Lho, kok pengajian di diskotik? Jangankan di Johor, di Chicago saja saya dan mahasiswa muslim Universitas Chicago sholat Jumat di gereja kampus. Bahkan ada satu gereja menyediakan ruang khusus besar untuk jadi musholla permanen. Aulanya kami pakai buka puasa Ramadlan tiap tahun.
Undangan ke Johor Bahru ini sudah lama diterima Cak Zakki—adik sekaligus manajer CNKK. Pengundangnya: Persaudaraan Setia Hati Terate cabang Johor. Kali ini hanya Mbah Nun, tanpa KiaiKanjeng. Cak Zakki menugaskan saya mendampingi dari Jogja. Mas Rei pilot Air Asia Malaysia dan almarhum Gandhie sudah tiba lebih dulu, menyambut kedatangan kami di Changi Airport Singapura. Kemudian lanjut perjalanan darat menyeberang ke Johor. PSHT mengundang dua acara: di Johor dan Sinau Bareng di pusat mereka di Madiun dua bulan kemudian.
Setiap undangan, termasuk dari luar negeri, Cak Zakki selalu tegaskan: posisi Mbah Nun sebagai bapak atau mbah yang menyambangi “anak-cucu”. Tak ada transaksi, honorarium, atau tawar-menawar. Menginap di rumah panitia pun boleh. Tak perlu payah menyediakan hotel. Jika ada yang tanya “berapa tarif?”, undangan pasti langsung ditolak haqqul yaqin. Tidak boleh memberatkan panitia. Kalaupun ingin ngasih sangu, berikan untuk 25 anggota KiaiKanjeng dan kru yang sudah pergi meninggalkan keluarga mereka di rumah, meluangkan waktu memenuhi hajat para pengundang.
Jadi, bila teman-teman pembaca melihat Mbah Nun beracara di luar negeri, pasti sudah lewat prosedur prinsip mengundang itu. Termasuk di Johor ini, yang memberi saya pengalaman unik dikejar polisi. Kedatangan Polis Diraja Malaysia memangkas pengajian bertema “Sinau Noto Lelaku” itu. Harusnya empat jam, jadi cuma dua jam. Untung Mbah Nun sudah memberi sangu ‘ilmu dasar untuk bekal hidup para imigran.
Pengajian itu berlangsung gayeng, penuh tawa khas Maiyahan. Meski 300 orang dalam ruang pengap tanpa jendela membuat saya sulit bergerak. Saya bayangkan saat diskotik ini berfungsi sesuai kodratnya: cahaya temaram, lampu kelap-kelip, musik dangdut jedag-jedug, asap rokok mengepul, orang-orang mencari kesenangan.
Sangu ngelmu dari Cak Nun siang itu adalah bekal menata laku hidup. Diikat dalam tiga kesadaran rentang hidup: urutan, waktu, dan rute. Urutan kemakhlukan: manusia sebagai “anak bungsu” yang harus menghormati “kakak-kakak”-nya tidak boleh semena-mena terhadap mereka—hewan, tumbuhan, bumi, planet, jagat raya, jin, malaikat, hingga Nur Muhammad. Tanpa manusia, alam masih akan terus hidup. Sedangkan tanpa alam, manusia mustahil bisa hidup.
Kesadaran kemakhlukan ini ada dalam rentang waktu hidup abadi manusia: khoolidiina fiihaa abada. Hidup manusia itu abadi: di alam arwah, dunia, barzakh, sampai akhirat. “Mati” hanya proses switch, mutasi ruh ke fase berikutnya. Lalu rute hidup: innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un. Tujuan akhir cuma satu: Allah. Selama ini, hidup cuma dikira lahir-sekolah-kerja-pensiun-mati. Ini sering membuat manusia bingung arah di tengah jalan hidup. Padahal, itu hanya rentang pendek dalam lingkaran rute panjang hidup abadi. Urip mung mampir ngombe. Namanya mampir, pasti sejenak.
Andai pengajian di diskotik ini tak “dibubarkan” polisi, pasti Mbah Nun akan menjelaskan lebih dalam lewat tanya jawab. Tapi pesannya selalu: ambil sangu ngelmu secukupnya. Satu dua hal yang diingat, dilakoni, dan bermanfaat. Bawa pulang, simpan dulu, karena tidak harus mengerti sekarang. Diendapkan dulu, nanti jika tiba saatnya, ‘ilmu itu akan terpakai.
Begitulah Mbah Nun (panggilan yang dipelopori KH Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Lim sejak ’90-an) saat diundang ke luar negeri. Sebagai sesepuh yang mengayomi “anak-cucu”: pekerja imigran di Malaysia, Arab Saudi, UEA, Hong Kong, Korea, Belanda, Belgia, Australia, hingga Amerika Serikat. Selalu memberikan sangu ngelmu yang bisa digunakan mencari solusi masalah mereka.
Kebetulan saat di Amerika, saya sedang di sana. Mbah Nun dan Ibu Via diundang ke Philadelphia, New York, Washington DC, dan Atlanta. Kecuali Atlanta, saya ikut semua. Banyak cerita unik, sepuluh tahun lalu itu. Di Philadelphia, Mbah Nun diminta merukunkan jamaah masjid yang bersitegang. Itu permintaan umum: merukunkan. Sebagai keturunan pewaris cincin Syaikhona Kholil Bangkalan, merukunkan pihak berseteru seperti jadi suratan takdir Mbah Nun bersama KiaiKanjeng. Sesuai fungsi cincin: simbol penyatuan dua jiwa dalam pernikahan.
Kemarin Mbah Nun tiba-tiba mengontak, mengingatkan peristiwa unik lain: saat kami (saya, Ibu Harahap, dan beliau) masuk markas utama militer Pentagon di Virginia yang sangar itu, cuma bermodal Kartu Anggota Dewan Syuro Badan SAR DIY. Tapi itu saya ceritakan kapan-kapan.
Nanti saja, kalau saya sudah ketemu Mbah Nun di Jogja. Mau minta sangu ngelmu lagi sekaligus men-tash-hih Pintu-Pintu ‘Ilmu Maiyah yang diamanahkan pengerjaannya kepada kami sejak bertahun-tahun lalu namun baru rampung sekarang.
‘Ilmu yang melimpah ruah, itulah yang Mbah Nun wariskan kepada kita, anak-cucunya lewat Majelis ‘Ilmu Maiyah. Kami jangan diwarisi warung makan, apalagi sampai terkenal di Jogja. Takutnya kami khilaf, bisa-bisa hasilnya buat judi online.[]
Chicago, 26 Mei 2025