CakNun.com

“Habib” Emha Ainun Nadjib

Faried Wijdan
Waktu baca ± 4 menit
Foto: Hariyadi (Dok. Padhangmbulan)

27 Mei, Emha Ainun Nadjib atau biasa disapa para jamaah beliau dengan Cak Nun atau Mbah Nun berulang tahun yang ke-72. Melalui tulisan ini, penulis ingin memberanikan diri menyebutnya ‘Habib’. Ya, Habib Emha Ainun Nadjib.

Penyebutan ini bukan bermaksud ikut meramaikan ‘gelanggang pro kontra’ antara yang pro dan kontra Baalawi yang masih saja ‘menyala’ dan patut diduga ‘dipelihara’ sampai hari ini. Pun bukan karena niatan mengejar umpan klik (clickbait) atau mengejar pujian (alembana) dan tepuk tangan para jamaah Maiyah dengan memanggil Cak Nun sebagai Habib. Terlepas dan bukan menjadi fokus tulisan ini apakah Cak Nun itu adalah Habib beneran dengan kode genetic haplogroup J, atau malah Syarif atau Sayyid (Yik).

Penulis memilih gelar ‘Habib’ kepada Cak Nun, karena “Habib” tidak lagi soal keturunan tapi tentang akhlak dan keilmuan. Bukan Panggilan “habib” dalam sebutan sosiologis, bukan gelar keagamaan. Karena ilmu dan akhlak tidak dapat diwariskan dan diwarisi layaknya DNA. Ilmu dan akhlak Nabi Muhammad Saw. tidak otomatis ter-install dalam diri para keturunannya. Ilmu dan akhlak adalah soal “nasib”, bukan nasab. Harus diusahakan dengan cara menuntut ilmu, mujahadah dan riyadah. Fungsi habib itu adalah teladan, menyelesaikan masalah, bukan jadi penyebab masalah. Habib itu peran bukan keturunan. Cak Nun intens dan istikamah meniti dan dan mendakwahkan jalan kenabian.

Jalan Kenabian Maiyah

Dalam terma Arab, Maiyah berarti ”dalam keadaan bersama atau kebersamaan yang tak terlepaskan”. The endless of togetherness. Dalam tradisi sufisme, Maiyah berarti maiyatullah. Bersama Allah. Makna yang bersumber dan terinspirasi dari keadaan yang dialami Rasulullah Muhammad Saw. dan sahabatnya, Abu Bakar ra., ketika berada di dalam Gua Tsur tatkala dikejar musuh. Muhammad menyatakan kepada sahabatnya, ”Allah bersama kita”; sebagaimana dikisahkan dalam QS. Al-Taubah: 40.

Maiyah yang secara kreatif menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan, dan ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih dengan ihklas dan jujur, yang bersumber dari inspirasi Gua Tsur dan momentum hijrah Nabi. Menurut Prof Dr Muhammad Nursamad Kamba, jika disandingkan dengan gerakan-gerakan sufi dalam sejarah, Maiyah setara dengan kaum Malamatiyah. Jamaah Maiyah, sebagaimana pengikut Malamatiyah, jadi tempat berteduh masyarakat umum dalam menghadapi kezaliman ataupun kesewenang-wenangan pemerintah dan publik. Jamaah Maiyah cenderung mempraktikkan ‘rasa bahagia’ dan sikap ‘menikmati’ ketidakadilan dan penderitaan yang dialaminya.

Selanjutnya, dalam tradisi Maiyah, tasawuf bukan cabang ilmu agama. Kosakata agama, Islam, syariat, tasawuf dan lain-lain tidak disentuh hanya sebagai dan menjadi bagian dari “cara” ilmu melainkan “cara berkehidupan secara utuh dan menyeluruh”. Tasawuf bukan cabang ilmu, melainkan suatu sistem software untuk mengaktualisaikan kemuliaan sikap hidup kepada alam, masyarakat, sesama manusia, makhluk-makhluk Allah yang lain, serta terutama Allah itu sendiri. Kemuliaan, mulia, di dalamnya terangkum “bil-‘adli wal-qisthi” semua dimensi: kebenaran ilmu, kebaikan akhlak, kelembutan budaya, presisi ‘ubûdiyyah dan ketajaman namun juga kewaspadaan ma’rifatullâh. Itulah yang oleh Maiyah dikenali, dipahami, didalami dan dialami sebagai “Nubuwwah” atau Jalan Kenabian. Maiyah tidak menemukan jalan lain kecuali Nubuwwah, namun tidak mengenalinya secara teknis sebagaimana tradisi ilmu modern memperlakukannya.

Dalam rangka merekonstruksi pemahaman agama yang lebih murni, yang mendekati keinginan Rasul dan kembali ke titik nol, Cak Nun mengenalkan kurikulum lima jalan kenabian tersebut kepada seluruh jemaah Maiyah. Dia menggunakan istilah ”Muhammadkan hamba”. ”Pemuhammadan” itu dibangun setidaknya di atas lima rukun, yaitu: 1) kemandirian; 2) pembebasan jiwa dari sifat-sifat buruk; 3) penanaman sifat-sifat terpuji; 4) kejujuran dan bertanggung jawab; dan 5) keintiman kepada Tuhan atau Cinta Kasih. Inilah kepribadian yang direpresentasikan umat Madinah dan para pejuang hasil didikan Rasulullah Saw. Mereka membuktikan ketangguhan dan integritas pribadi-pribadi yang tinggi selama tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah Saw.—yang menghasilkan transformasi peradaban luar biasa.

Fakta sejarah mencatat, mereka yang dikenang sebagai pahlawan besar, yang sangat berjasa dalam perkembangan umat Islam dan perluasan wilayahnya, bukanlah orang-orang yang bisa disebut sudah lama malang-melintang dalam hal ”pembahasan rincian akidah-syariat-akhlak” Islam. Mereka ialah orang-orang yang baru saja menemukan Islam dan langsung ”memuhammadkan” diri. Mereka mengikuti ajaran Muhammad dan menginternalisasikannya dalam hal kemandirian, pembebasan diri dari sifat-sifat buruk, penanaman sifat-sifat terpuji, serta kejujuran dan keintiman kepada Tuhan

Dalam Maiyah juga dikenal istilah ‘Ilm Hadlrah atau ‘Ilmul-Hudlûr. Ilmu kehadiran Nabi Muhammad Saw. atau ilmu hadirnya Nabi Muhammad Saw. di dalam kehidupan batin kolektif dan personal. Menurut Cak Nun, posisi umat Islam selama berabad-abad lamanya ibarat “dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengahnya”. Riuh rendah pendapat dan tafsir para ulama dan kiai, menjadi galengan-galengan banyak madzhab dan sub-sub mazhab, belum lagi silang sengkarutnya “apa itu Islam” menurut banyak sekali ustad dan asatid, sampai kemudian dedaunan Islam di dalam jiwa kaum Muslimin menjadi kering dan mati. Bahkan wajah dan personalitas atau karakter Muhammad Saw. ketlingsut di tengah berjejal-jejalnya informasi dan kabar berita tentang Islam.

Umat Islam, kritik Cak Nun, akrab dengan shalat dan ibadah lainnya. Terbiasa dan fasih dengan kata dan kalimat Al-Qur`an. Tetapi itu belum cukup untuk membuat Muhammad hidup di dalam kehidupannya. Cak Nun pernah mengutip pernyataan sahabatnya, almarhum Ustad Yasin Hasan Abdullah bin Yasin bin Hasan bin Abdullah pernah melantunkan derita hatinya kepada dunia modern: “Kau sangat ahli menguraikan dengan ilmumu siapa Muhammad. Kau pakar, canggih dan fasih dengan metodemu menjelaskan kehebatan dan keutamaan Muhammad. Tetapi aku bertanya kepadamu: engkau mencintainya atau tidak? Dan kalau engkau mencintainya, engkau mengikuti Nubuwwah-nya atau tidak”.

Maiyah tidak menemukan jalan apapun kecuali Nubuwwah. Dengan bekal Al-Qur’an di genggaman tangan kanan, wajah Maiyah senantiasa merindukan muwajjahah dan kehadiran beliau Kanjeng Nabi Muhammad Saw, sangan Habib Sejati, Habibnya Habaib. Maiyah adalah upaya menghadirkan Rasulullah Muhammad Saw. dalam setiap hidup dan kehidupan. Tidak hanya dengan imannya, tapi juga dengan ilmunya.

Lainnya

Topik