CakNun.com

Mozaik Tentang Hutan Yang Robek, dan Kita Yang Terbangun Oleh Bencana

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Rumah Sawah

Kita sering menyebutnya bencana alam, seolah-olah gunung, hujan, dan angin sedang murka pada manusia. Tapi angka BNPB seperti menampar: lebih dari 95% apa yang kita sebut bencana ternyata bukanlah kemurkaan alam—melainkan buah tangan kita sendiri. Man-made disasters. Banjir yang kita ratapi, longsor yang kita salahkan pada tebing, kekeringan yang kita tuduh pada matahari, dan kebakaran lahan yang kita sembunyikan di balik kabut asap: semua itu, sejatinya, adalah cermin dari ekonomi yang dibangun dari kapak, api, dan pengingkaran.

Kita lupa bahwa hutan adalah ruang publik. Ia bukan sekadar hamparan pepohonan, melainkan kesepakatan diam-diam antara manusia dan ekosistem: aku jaga kamu, kamu jaga aku. Ketika kesepakatan itu kita khianati, datanglah tragedi yang telah ditulis Hardin—tragedy of the commons. Kita mengeruk, kita mengambil, kita memperluas, seolah kerusakan akan ditanggung orang lain atau generasi yang entah siapa. Padahal kerugian itu tak pernah hilang; ia kembali kepada kita sebagai avoided loss yang gagal dihindari. Pada titik tertentu, sumber daya untuk membangun justru habis untuk menambal kerusakan. Kita bekerja keras bukan untuk maju, tetapi untuk kembali ke titik nol.

Lalu kita iri pada Jepang dan Korea Selatan. Dua negeri curam di tepi Pasifik—yang tahu betul bahwa kontur tanah mereka adalah undangan bagi banjir dan longsor. Mereka memilih jalan yang berbeda: menjaga hutan terlebih dulu agar dapat membangun kemudian. Di Korea Selatan, presiden pertama pascaperang bahkan memerintahkan seluruh tenaga bangsa—pikir, otot, dan anggaran—untuk memulihkan hutan. Ironisnya, hutan mereka rusak bukan karena industri, melainkan karena kompleks pemakaman yang kecil-kecil itu.

Jepang lebih paradoks lagi: hutan mereka tumbuh dengan kayu berkualitas tinggi, tetapi jalan-jalan tak didesain untuk membawa kayu keluar. Sebuah keputusan teknis yang menjadi keputusan ekologis. Mereka, bangsa yang rakus kayu, justru menyisakan hutan mereka utuh, dan memenuhi kerakusannya dengan mengimpor kayu dari… kita. Kita yang kehilangan pohon, mereka yang kehilangan rasa bersalah.

Maka muncul pertanyaan yang tak mau kita jawab: mengapa hutan kita justru semakin jauh dari fungsinya mencegah bencana?

Jawabannya mengendap dalam sejarah pembangunan: warisan kolonialisme yang kita pelihara dengan patuh. Sejak Orde Baru hingga saat ini, ekonomi kita disusun seperti mesin gergaji: kayu, tambang, kebun sawit, ekspansi perkotaan—semuanya berdiri di atas konversi hutan. Merusak hutan adalah kejahatan yang diampuni negara, asalkan menyumbang pertumbuhan PDB. Dan karena lapangan kerja menempel di sana, kegiatan merusak hutan pun menjelma “kebijakan nasional”, bahkan “budaya nasional.” Betapa ironis—di sebuah kepulauan yang identitas kulinernya dipahat dari rempah dan tumbuhan liar hutan, kita justru melucuti sumber jati diri itu.

Inilah mozaik kita: tragedi yang telah lama diketahui, kerugian yang terus dicatat, dan ekonomi yang dibangun di atas fondasi yang menyusut. Padahal teori avoided loss memberi pesan sederhana: merusak boleh saja—jika tak terhindarkan—asal hasilnya dipakai untuk membangun manusia yang kreatif dan inovatif. Agar suatu hari kita hidup dari imajinasi, bukan dari abu hutan yang kita bakar sendiri. Selebihnya, pilihan itu tetap milik kita: terus mengulang tragedi, atau menulis ulang perjanjian dengan hutan.

Barangkali inilah ironi terbesar dari bangsa yang pernah dikenal dunia karena kejayaan rempah-rempahnya: kita kehilangan hutan, dan bersama itu kita kehilangan imajinasi. Kita menjadikan hutan sebatas sumber bahan baku—padahal ia adalah akrabiyah, kedekatan ontologis kita dengan alam. Ia adalah ingatan purba bahwa manusia hidup bukan dari produksi semata, tetapi dari keseimbangan.

Setiap batang pohon yang tumbang sebetulnya adalah bab dari sebuah kitab yang hilang. Kita, pewaris tanah yang tumbuh dari filosofi harmoni, justru memilih jalan yang memisahkan manusia dari alam. Kita lupa bahwa di setiap hutan yang dirusak, ada satu generasi yang akan tumbuh tanpa kosakata untuk mencintai. Sebab bagaimana mungkin kita meminta anak-anak menjaga sesuatu yang tak pernah mereka lihat lagi?

Jika bencana adalah bahasa alam, maka ia sedang berbicara dengan suara yang semakin keras. Dan seperti semua bahasa, ia menuntut pemahaman. Namun kita terus menutup telinga: lebih nyaman menuduh hujan sebagai pemicu banjir daripada mengakui bahwa sungai kita telah kita jadikan lorong sampah dan sedimen. Lebih nyaman menyalahkan lereng yang longsor daripada menerima bahwa akar-akar yang harusnya memegang tanah telah berubah menjadi papan ekspor.

Barangkali bangsa ini sedang hidup dalam apa yang disebut para filsuf sebagai ketidaksadaran struktural: kita percaya kita sedang membangun, padahal sesungguhnya kita sedang membongkar fondasi rumah tempat kita berlindung.

Dan pada akhirnya kita harus bertanya dengan suara yang pelan namun menyakitkan: apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika ia dibangun di atas tanah yang akan hilang ditelan banjir esok hari? Apa artinya inovasi, industri, dan pembangunan, jika kita sibuk membayar kerusakan yang kita ciptakan sendiri?

Kita terlalu sering menepuk dada bahwa hutan adalah bagian dari identitas bangsa, tetapi diam-diam memperlakukannya seperti musuh yang harus ditaklukkan. Padahal, bangsa-bangsa yang maju hari ini bukanlah bangsa yang paling kuat atau paling kaya, melainkan yang paling mampu menahan diri. Yang mengerti bahwa kemajuan tak pernah lahir dari kerakusan, tetapi dari kecerdasan memahami batas.

Mungkin inilah saatnya kita berhenti bicara tentang hutan sebagai “sumber daya” dan mulai melihatnya sebagai ruang moral. Ruang tempat kita diuji: apakah kita masih mampu menyebut diri kita manusia—homo sapiens, makhluk yang mengaku bijak—jika kita tak mampu menjaga pepohonan yang membuat kita bisa bernapas?

Di titik ini, pilihan tidak lagi bersifat teknokratis; ia telah menjadi eksistensial. Kita bisa terus mengulang skenario bencana dan menyalahkan langit, atau kita mulai menulis ulang hubungan kita dengan bumi. Kita bisa membiarkan tragedi menjadi takdir, atau menjadikannya pelajaran.

Sebab pada akhirnya, masa depan bangsa ini mungkin tidak ditentukan oleh seberapa banyak gedung yang kita bangun, tetapi oleh seberapa banyak pohon yang kita pilih untuk tidak kita tebang. Dan hanya bangsa yang mampu menahan gergaji yang akan mampu menahan masa depannya agar tidak runtuh.

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Kiai Kocar Kacir

Kiai Kocar Kacir

Seorang berbadan hitam dan berkumis dari Bangkalan, Madura, menemui saya di Jakarta, hanya untuk membawa satu pertanyaan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik