CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (40)

Menghidupkan Ilmu Agama dalam Diri, Satu

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 7 menit

Ketika tim penggerak sastra pesantren ini diundang untuk memberikan pelatihan di Wonosobo, lain lagi ceritanya. Waktu itu kami diundang oleh Wakil Bupati, Mas Kiai Abdul Kholiq mantan jurnalis yang kemudian menjadi Bupati Wonosobo. Kami memberi pelatihan di salah satu ruang di kantor Wakil Bupati. Dan ada peserta pelatihan yang agak badung sehingga kami perlu mengungkapkan sedikit kemarahan untuk mengendalikan situasi. Kami menginap di sebuah hotel di pusat kota Wonosobo dan ketika ada gejala orang menginap sepertinya sopir mobil keliling, mau menggoda Mbak Evi, kami menampilkan diri sebagai ksatria pembela kehormatan wanita. Dalam bahasa jape methe-nya Yogya siap duel. Entah pesan apa yang disampaikan oleh teman-teman dengan bahasa tubuh dengan sedikit kata sehingga sopir yang mau ugal-ugalan itu mengkeret nyalinya. Selamatlah Mbak Evi dari godaan sopir yang nakal. Dia menjadi tenang.

Mobil yang dinaiki penggerak sastra pesantren ini terus melaju melewati jalan raya di wilayah kabupaten Kebumen sampai kemudian sampai di Buntu berhenti untuk istirahat dan makan siang. Lokasi peantren yang dituju sudah tidak begitu jauh. Cilacap. Sebuah pondok pesantren dengan nama unik, Ihya’ulumuddin. Sama dengan kitab yang ditulis Imam Ghazali. Di Pesantren ini sedang ada kegiatan besar-besaran, semacam khaul atau peringatan milad, saya lupa. Ada bazar karya warga pesantren dan penduduk, mirip dengan pasar malam. Akan ada pengajian akbar yang dihadiri oleh pengurus PBNU dan para tamu banyak yang datang. Setelah menitipkan barang bawaan di penginapan kami dipersilakan menikamti hidangan prasmanan yang mewah. Pelatihannya sendiri dilakukan di ruang perpustakaan yang koleksi buku serta kitabnya lumayan banyak.

Banyak hal yang mengesankan di pesantren ini. Pak Kiainya sederhana, kalau berbicara amat pelan dengan suara dalam. Selalu mudah dicerna kata-katanya. Kami tiba-tiba merasa masuk ke dalam suasana yang membahagiakan. Sejuk. Dia sepertinya sudah lupa dengan yang namanya gelisah apalagi amarah. Saya membayangkan Imam Ghazali seperti dia. Tubuh dan jiwanya penuh ilmu dan hikmah yang sulit dirumuskan. Cara beragamanya dewasa sekali. Diam-diam saya malu karena merasa cara beragama kami sering kenakak-kanakan, belum dewasa sama sekali. Dibandingkan dengan Pak Kiai, kami masih berada di lumpur kehidupan duniawi, sedang beliau sudah sampai di langit cahaya jiwa.

Ketika pulang dari Cilacap, yang terkesan oleh kami memang nama pesantren itu, Ihya’ulumuddin, menghidupkan ilmu-ilmu agama.

“Kita seperti disindir oleh pesantren itu karena salama ini sepertinya alpa menghidupkan ilmu-ilmu agama dalam diri kita,” kata Pak Sholeh.

“Ya. Kita sibuk mencari dan menambah ilmu keduniaan, kadang mendiskusikan dengan penuh semangat. Tapi ilmu-ilmu agama kita? Kering,” sahut Pak Munif.

“Apalagi saya yang terlalu larut dalam dunia jurnalistik dan sastra seperti ini,” tambahku.

Mbak Evi yang kelahiran Demak hanya diam saja. Sepertinya dia merenung, membenarkan apa yang kami gelisahkan. Larut dalam sastra dan asyik tampil di panggung pertunjukan sastra apa asyiknya? Apakah asyik kalau ruhani menderita karena kekurangan asupan nilai dan ilmu agama?

Ya, kapan ilmu-ilmu agama dalam diri kita masing-masing kita hidupkan selalu? Agar tidak pingsan atau mati suri? Dalam perjalanan pulang menuju Yogyakarta itu kami melihat dan merasakan betapa banyak orang yang cenderung mengabaikan hidupnya ilmu agama di dalam diri. Kami lebih banyak diam dan melakukan dialog dengan diri sendiri.

Yogyakarta, 9 Oktober 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Tepat di kaki Merapi yang seperti ndhodhok tapi waspada itu, para petani, seniman, anak-anak alam, dan bocah-bocah yang masih percaya pada embun pagi, bikin geger dengan satu istilah yang mungkin bikin dosen filsafat gatal kupingnya: Andhudhah Kawruh Sinengker.
Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik