CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (40)

Menghidupkan Ilmu Agama dalam Diri, Satu

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 7 menit
Image by T Foz on Unsplash

Rombongan penggerak sastra pesantren, dengan naik mobil, bergerak ke barat. Anggota rombongan terdiri Pak Achmad Munif, novelis romantis yang disukai para santriwati di banyak pesantren yang kami datangi. Dia yang paling banyak dimintai tanda tangan oleh para santriwati yang membeli bukunya. Pak Munif, tulisannya sering nakal dan panas, tetapi orangnya alim. Pada tahun-tahun akhir hidupnya, dia selalu berusaha menjaga irama hidup dengan membaca Al-Qur’an sehabis shalat wajib, satu juz. Jadi, sehari semalam dia bisa membaca lima juz dan setiap enam hari sekali dia khatam Al-Qur’an. Setelah hafal juz 30 Pak Munif menaklukkan dalam arti menghafal juz 29 dan 28. Ketika saya tanya untuk apa? Dia menjawab, untuk dia manfaatkan sebagai imam shalat di masjid Condongcatur. “Agar jamaah shalat tidak bosan saya imami, karena surat yang saya baca berganti-ganti, ada variasinya. Tidak itu-itu saja,” jawabnya sesederhana itu.

Pak Munif memang sederhana orangnya. Pria kelahiran Perak Jombang ini merasa menjadi sesuatu dan seseorang ketika berhasil menghasilkan karya tulis. Selain novel dan cerpen yang dimuat di banyak media cetak, esai yang dia tulis sering dimuat di harian ibukota dan daerah. Dan uniknya, dia juga muhlisina lahuddin, suka menyumbangkan ilmunya dengan tulus ikhlas. Dalam konteks rombongan penggerak sastra pesantren ke arah barat ini, kami diundang ke sebuah pesantren untuk memberikan pelatihan menulis. Untuk ini dia serius dan konsisten mempraktikkan kuantum training dengan metode learning by writing yang saya temukan. Dia selalu bersedia menggunakan metode itu kalau mengisi pelatihan bersama saya. Dia merupakan satu di antara dua orang di dunia, selain saya, yang menguasai kuantum training dengan metode learning by writing. Satu orang lagi adalah Mas Harianto, sekretaris abadi Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin. Saya selalu bahagia kalau mendapat partner pelatihan bersama orang yang mau dan konsisten menerapkan kuantum training dengan metode learning by writing ini. Kami bisa menikmati proses pelatihan dengan suka dan dukanya. Tetapi lebih banyak sukanya karena dalam setiap pelatihan kami bisa menemukan hal yang baru berdasar tantangan baru di lapangan.

Lalu, dalam rombongan penggerak sasra pesantren ini ada Pak Sholeh UG, pemilik penerbit Navila yang menerbitkan Majalah Fadhilah, majalah sastra pesantren. Keturunan Arab Yaman dari Pasar Kliwon ini seorang sarjana hukum dari Fakultas Hukum UII dan di masa menjadi mahasiswa jago demo dan jago diskusi. Entah ilmu kunci apa yang diajarkan di fakultas ini sehingga bisa menghasilkan ahli hukum kelas satu di negeri ini dan teguh dalam membela kepentingan dan keadilan bagi masyarakat. Seorang teman pernah mencatat bagaimana dari fakultas ini muncul raksasa hukum sekelas Artijo AlKotsar, lalu suatu hari pasca Reformasi banyak lembaga hukum atau komisi hukum di Indonesia dipegang oleh lulusan fakultas hukum UII. Mahkamah Konstitusi dipegang oleh Mahfud MD, lalu Komisi Yudisial, Komnas HAM, LBH, bahkan KPU dan organisasi anti narkoba dipegang oleh cah UII. Ada LSM pembela HAM Elsam dipegang Ifdal Kasim. Termasuk KPK yang pernah diwarnai oleh sepak terjang dan kejujuran seorang Busyro Muqaddas.

Tetapi Pak Sholeh UG berbeda. Dia menempuh jalan literasi. Setelah beberapa saat merasakan pahit getir dan manisnya menjadi jurnalis pada koran Yogya Post periode Cemara Tujuh, dia membuat penerbitan buku dengan modal lima ratus ribu rupiah dari hasil menjual kalung istrinya. Penerbitan bukunya berkembang pesat dan menghasilkan buku-buku best seller pada zamannya. Ia sengaja menerbitkan buku langka dengan tema menarik. Yaitu buku terjemahan, sebagian besar terjemahan dari buku dan novel Arab modern. Naskah yang semula naskah drama Arab dia terjemahkan dan dia sadur menjadi novel dan saya sering kebagian menyadur dan mengeditnya. Di antaranya karya sastrawan Mesir yang hampir mendapat Nobel, Taufik El Hakim. Saya baru tahu kalau Sayyid Qutb sebelum menjadi ulama kritis dengan menulis tafisr Al Qur’an yan inspiratif berjudul Fi Dzilalil Qur’an adalah seorang sastrawan. Sebuah karya novelnya diterjemahkan, saya edit, dan diterbitkan Navila.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Sakit Si Meong Kami

Sakit Si Meong Kami

Sore beberapa hari lalu, dalam perjalanan pulang dari kantor, saya menengok si ‘Macan’, kucing ragil kami yang saat itu sedang rawat inap di sebuah RS hewan di bilangan Sleman.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot

Topik