CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (40)

Menghidupkan Ilmu Agama dalam Diri, Satu

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 7 menit

Novel percintaan yang pernah menggemparkan dunia sebelum Romeo Yuliet adala Laila Majnun. Ini diterbitkan oleh Pak Sholeh, laris, sampai cetak ulang lima kali. Buku sastra berbasis sastra Arab ini lumayan laku dan menjadi semacam api penyemangat gerakan sastra pesantren. Karya Hay bin Yaqzan yang lebih dahulu popular sebelum Robinson Crusoe dan Tarzan pun diterjemahkan dan diedit lalu diterbitkan. Buku ini ditulis dengan menggunakan bahasa sasrta Arab klasik dan penerjemahnya telah bersusah payah membuat terjemahan yang lancar. Tetapi saya terpaka harus mencocokkan dengan buku asli berbahasa Arab yang ternyata muatan filsafat dan sastranya kental sekali. Saya memerlukan waktu untuk mengedit naskah ini hampir dua tahun karena saya harus menaklukkan sisi filsafat, sastra, etika dan bahasanya untuk menjadikan naskah buku yang bisa dibaca dan masuk di kepala pembaca.

Biasanya kalau penggerak sastra pesantren ini memenuhi undangan untuk melakukan pelatihan dan kampanye sastra pesantren sambil menjual majalah Fadhilah dan buku sastra berbasis naskah berbahasa Arab, Pak Sholeh yang menyopiri mobilnya. Dia ramah dan suka bercanda dan sering menggoda Pak Munif. Apalagi di dalam rombongan yang bergerak ke barat ini ada Mbak Evi Idawati, satrawan perempuan yang pernah punya pengalaman menjadi guru TK. Mbak Evi ini mau dan bersedia selalu menjadi rombongan penggerak sastra pesantren karena kami bersikap profesional dan selalu menghormati perempuan dan menajga martabatnya. Kami akrab dan bersahabat. Hubungannya rasional sebagai sesama penggerak sastra pesantren. Kalau memberi pelatihan, Mbak Evi selalu bersemangat dan bisa menyihir pendengarnya. Dan empat orang ini, termasuk saya, adalah inti penggerak sastra pesantren. Kadang ditambah dengan KH Zainal Arifin Thoha dan KH Ahmad Tohari.

Gaya KH Zainal berbeda dengan lainnya. Dia selalu mengawali pelatihan atau ceramahnya dengan mengajak hadirin membaca shalawat karena dia memang pelatih shalawat yang andal. Pernah membuat iringan gerak pencak silat dalam menyanyikan shalawat Nabi. Dia memang pendekar dari Ploso Kediri yang kemudian hari dikenal melahirkan pesilat dari Pagar Nusa. Kiai Zainal ini juga sastrawan, penulis esai dan cah teater. Dia ramah dan lembut. Seperti juga KH Ahmad Tohari. Asyiknya, Kiai Ahmad Tohari selalu menyuruh saya mengimami shalat Subuh dalam perjalanan kami ke banyak daerah. Alasan dia, dia ingin menikmati shalat Subuh tanpa doa qunut dan yakin dia tidak berdosa karena jika tidak membaca qunut berdosa pasti sudah ditanggung imamnya. Wah curang dia. Dia hanya ketawa ketika saya sebut curang dalam berhukum fikih.

Mobil rombongan penggerak sastra pesantren keluar dari wilayah Yogyakarta, kabupaten Kulonprogo dan mulai memasuki daerah Kabupaten Purworejo. Waktu itu jalan selatan atau jalur Deandels belum ramai, jadi kami merasa aman menempuh jalur biasa. Purworejo terus ke barat menuju arah Kebumen. Kalau perut lapar kami mencari rumah makan. Hanya saja Pak Munif selalu berpesan agak tidak mampir ke warung pecel lele, sebab dia trauma. Pada tahun 1965-an saat ikan lele di sungai Brantas gemuk-gemuk dan ketika dibersihkan perutnya, ada rambut manusia. Ternyata ikan lele itu memakan mayat manusia korban konflik politik tahun 1965. Sejak itu Pak Munif tidak mau dan tidak berani makan lele yang banyak dijual di warung Pecel Lele. Anggota rombongan lain tidak menolak masakan apapun, asal lezat dan bergizi. Jadi kami bisa menikmati perjalanan kemanapun dengan enak.

Pernah kami berombongan melakukan pelatihan di tiga tempat di Jombang. Di pesantren Al-Muhibbin, di Peterongan dan di Darul Ulum. Jadwal jam dan hari kami atur. Kami menginap di Al-Muhibbin, di ruang penginapan yang biasa dipergunakan oleh wali santri menginap kalau menengok anaknya. Sederhana. Akrab. Yang penting selalu tersedia gelas-gelas kopi panas. Sehabis pelatihan kami ngobrol sampai ngantuk dan paginya dilanjut ke Peterongan, di sebuah pesantren besar yang salah satu pengasuhnya seorang dokter. Santrinya cerdas-cerdas dan kami senang berdialog dengan mereka. Ruang transit di kediaman Kiai pengasuh, tempat kami ngobrol dengan tuan rumah dengan obrolan hangat. Saya ingat kalau ke Jombang dulu bersama Cak Dil, naik bus malam, turun di Peterongan, lalu belok kiri mencari jalan ke Menturo Sumobito. Menjelang Subuh, selalu begitu.

Setelah pamit dengan Pak Kiai Peterongan, sorenya kami bergerak ke Darul Ulum yang santrinya besar-besar dan lugu serta lucu. Dengan suatu cara para santri dibuat menangis dan ketawa ketika ada yang membacakan kaeya cerpen mereka. Ketika ada santri yang bercerita dengan gaya yang hidup bagaimana dia berpisah dengan keluarga yang mengantar di stasiun, masuk kereta dan ketika kereta bergerak, santri dan keluarga saling melambaikan tangan. Peserta pelatihan jadi ingat suasana haru seperti itu dan banyak yang meneteskan air mata. Dan ketika ada santri putri yang menceritakan putra kiai, seorang Gus yang memergoki dia sedang membersihkan dan membenahi kompor yang berulah, lalu Gus itu turun tangan membereskan kompor itu sehingga bisa bersih, hidup dengan api jernih, santri putri itu mengucapkan terima kasih dengan wajah berbinar. Rupanya dia jatuh cinta dengan Gus itu. Santri lain yang mendengarkan kisah ini langsung bersuit-suit, ada yang bertepuk tangan, sampai santri putri itu tersipu-sipu. Kami pun ikut bahagia, karena lewat pelatihan menulis banyak perasaan terpendam di kalangan santri bisa diungkapkan.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik