Pemikiran WS Rendra tentang Daulat Hukum dan Daulat Rakyat
Tanggal 7 November adalah hari ulang tahun WS Rendra. Andaikata sang “Burung Merak” itu masih hidup, tepat hari ini ia berulang tahun ke-85 (lahir di Solo tahun 1935). Sudah sebelas tahun ia wafat (2009), telah sekian puluh kali kita menapaktilasi karya dan pemikirannya dalam beragam ekspresi.
Membincang rekam jejak Rendra pada akhirnya tak akan pernah habis. Kali ini saya berusaha membincangkan secuplik pemikirannya tentang daulat rakyat dan daulat hukum, yang saya kira masih relevan sampai hari sekarang.
Koran Harian Bernas edisi 17 November 1997 memuat pidato Rendra di Taman Ismail Marzuki. Ia berpendapat bahwa manusia mempunyai daulat alam di dalam dirinya. Seperti siklus kehidupan, kelahiran dan kematian itu niscaya bagi manusia. Orang tak dapat memilih dari siapa ia lahir. Demikian pula pada kondisi sosial yang bagaimana ia ditumbuhkan. Tapi ada pengecualian. Daulat alam juga menyediakan orang untuk mendobrak tatanan sosial di sekitarnya.
Rendra mengambil sejumlah contoh. Soekarno, sang anak guru, kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Ken Arok, pernah berkelakuan kriminal di jalnanan, namun akhirnya menjadi raja. Pun Gajah Mada, kata Rendra ia “tukang pukul”, tapi di ujung hidupnya menjadi mahapatih. Hidup dan nasib seperti seirama. Akan tetapi, bagi Rendra, “kejagoan” seseorang membuat dirinya dan liyan berbeda. Itu pun dengan prasyarat keberanian untuk menggugat tatanan.
Sayangnya tak jamak orang berkecenderungan demikian. Di tengah tatanan hidup yang oleh Rendra dikatakan resmi, daulat manusia hampir tak disediakan tempat, bahkan acap kali dibungkam, dipenjara, dan direpresi.
Rendra menengok ke belakang, kepada lintasan sejarah raja-raja Jawalah ia kemudian mengambil cermin. Ketika tahun 1215 Magna Carta disahkan oleh Raja John, yang berisi kejelasan hak bangsawan dan hak rakyat, pemerintahan Tunggul Ametung di Jawa belum memikirkan undang-undang yang berpihak kepada rakyat. Waktu itu di tanah Jawa, kata Rendra, “Sabda raja itulah UU bagi rakyat. Sebagaimana dalam alam bahwa yang kuat itu yang menang.”
Manakala sabda raja adalah wajah kebenaran, maka ia sangat rentan terhadap tata kelola masyarakat yang korup. Terlebih saat kebenaran di sana disematkan kepada yang kuat, sedangkan masyarakat dikondisikan sebagai kawula alit. Yang kuat dan yang lemah pada gilirannya terlihat kontras.
Kekuasaan yang dikendalikan oleh kekuatan terpusat akan melahirkan sistem feodal. Pada titik inilah Rendra sebetulnya melakukan kritik dari dalam. Ia sebagai seorang Jawa bukan melulu meromantisir kebudayaan leluhur, melainkan juga mengakui bahwa di balik itu tersembunyi pertarungan dan pertumpahan darah yang amat mengerikan.
Pristiwa pembunuhan Amangkurat II oleh anaknya sendiri Rendra contohkan. Ia dibunuh oleh Amankurat II di Tegalarum. Setelah merebut puncak kekuasaan, ia memimpin Karta Sura secara serampangan. Sahabatnya sendiri, Trunojoyo, ia khianati. Wilayah Semarang ia gadaikan kepada VOC. Bergandengan tangan dengan para cukong, praktik eksploitasi alam (menebang hutan) terjalin erat.
Belakangan Rendra baru memahami bahwa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia telah berlangsung semenjak pemerintahan Amangkurat II. Maka tak mengherankan bila kebangkrutan Mataram dipelopori olehnya. Penguasa yang korup, di samping mengabaikan hak rakyat, juga semena-mena terhadap alam sekitar. Potret ini ternyata menjadi kegelisahan Rendra selama hidup.
“Hidup dikuasai kehendak manusia,
tanpa menyimak jalannya alam.
Kekuasaan kemauan manusia,
yang dilembagakan dengan kuat,
tidak mengacuhkan naluri ginjal,
hati, empedu, sungai, dan hutan”
Sajak Pulau Bali dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (1979)
Agar kekuasaan tak korup, Rendra menekankan pentingnya daulat hukum. Di Jawa, menurut Rendra, daulat hukum ini mulai ditegakkan semenjak muncul kitab Salokantara dan Jugul Muda. Pada masa pemerintahan kesultanan Demak, kitab Salokantara dijadikan “undang-undang” untuk mengharmonikan hubungan di antara masyarakat, yang waktu itu memeluk Islam, Hindu, maupun Buddha. Raden Patah adalah orang yang mengenalkan kitab itu.
Saat nilai Islam diejawantahkan ke dalam laku sehari-hari, relasi yang timpang seperti raja dan rakyat cenderung diperangi. Di hadapan Tuhan, tiap manusia itu setara derajatnya. Mereka itu khalifah Tuhan di bumi. Meskipun usia kesultanan Demak hanya 65 tahun, periode ini dinilai Rendra sangat menentukan: di tanah Jawa, daulat rakyat harus dibarengi dengan daulat hukum.
Titik Persinggungan
Ketika Rendra menyodorkan daulat rakyat dan daulat hukum, barangkali sebagian besar kita lumayan akrab dengan konsep itu. Di Maiyah kata kedaulatan kerap diperbincangkan, namun seringnya dikaitkan dengan diri-sebagai-subjek. Sedangkan bagi Rendra, daulat rakyat berarti masyarakat sebagai titik sentral. Konteksnya cenderung pada ranah kehidupan komunal, yang secara spesifik diperhadapkan dengan kekuasaan sentralistik.
Daulat rakyat, dengan kata lain, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengatur dirinya sendiri secara independen. Tanpa independensi, daulat rakyat hanya sebatas daulat raja, yang pada praksisnya rentan dikorupsi dan dimanipulasi. Rendra melawan itu. Dengan membentangkan peristiwa tertentu selama kurun waktu seribu tahun terakhir, ia membuktikan bahwa sejarah Jawa bukan keindahan dan keelokan alam semata, melainkan juga rentetan politik kepentingan yang bengis.
Sama halnya dengan daulat hukum, di Maiyah kita kenal supremasi keadilan. Maksudnya sama walau maknanya relatif berbeda. Cak Nun lebih membagi supremasi ke dalam tiga bentuk, yakni supremasi hukum, supremasi keadilan, dan supremasi moral. Aplikasi ketiga hal tersebut berbeda tiap konteksnya.
Supremasi hukum terletak pada cara berpikir para penegak hukum. Sedangkan DPR sebagai wakil rakyat, misalnya, seharusnya lebih memakai supremasi keadilan. Akan berbeda jika di masyarakat. Di level paling dasar, di antara sesama manusia, supremasi yang berlaku adalah supremasi moral. Cak Nun mengemukakan contoh sederhana. Seorang bocah yang hampir mati kelaparan di jalan, ketika tak kita tolong, maka secara moral kita melakukan kesalahan, walaupun secara hukum tak dinilai salah atau benarnya.
Cak Nun menjabarkan supremasi secara paradigmatis. Sementara Rendra, melalui daulat hukum, cenderung bersifat sinkronis. Dua-duanya, menurut saya, mempunyai basis nilai yang sama: keadilan, kesetaraan, sampai pembebasan harus memihak kepada wong cilik. Hal itu tentu saja dimungkinkan oleh daulat/supremasi yang seimbang.
Pada aras inilah pemikiran Rendra sangat relevan dan penting bagi kita hari ini, yang hukum, keadilan, dan moral telah tereksploitasi besar-besaran oleh daulat penguasa/oligarki.