Nabi Kok Nembang Jawa
Tembang Tolak Bala? Apakah ada dalam Islam Tembang Tolak Bala? Apakah Rasulullah Saw pernah mengajarkan Tembang Tolak Bala?
Tidak. Rasulullah tidak pernah mengajarkan dan mencontohkan racikan makanan pecel, rawon atau soto Betawi. Yang diajarkan oleh Rasulullah dari Allah adalah makan “halalan thayyiban”. Makan yang aman di dalam hukum Allah dan memproduksi kemashlahatan. “Kulu wasyrabu wala tusrifu”. Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.
Rekomendasi “halalan thayyiban” itu kawin dengan “afala tatafakkarun”: tidakkah engkau menggunakan pikiranmu? Penggunaan pikiran berarti langkah pengolahan, pencarian dan kreativitas. Kreativitas kulinernya manusia Indonesia sudah sampai ke tempe dipenyet, es krim dibakar, ceker ayam dinikmati, jeroan ayam tidak dibuang sebagaimana di Amerika, Eropa dan Arab. Ijtihad “Afala ta’qilun” sudah sampai pada 26 jenis sambal, dari uleg sampai gandaria.
Soal “badogan” (konsumsi lidah dan perut) saja digulirkan oleh manusia sampai sejauh itu. Apalagi yang menyangkut kesehatan hidup mereka. Maka kaum Muslimin mengais-ngais apa saja yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya segala sesuatu yang kondusif dan produktif terhadap kesehatan hidupnya.
Hari-hari ini seluruh ummat Islam dan manusia di seluruh permukaan bumi sedang sangat membutuhkan kesehatan tubuhnya. Sedang njepiping amping-amping ngeri tersengggol oleh Covid-19. Kedokteran dan seluruh jajaran penguasa kehidupan di dunia mandeg pada adegan “Nabi Musa makan daun” dan habis-habisan meneliti “daun” apa yang bisa bikin Coronavirus kemleke`en, pingsan terus mati.
Untuk berlindung kepada Allah dari segala macam memala dan pageblug, kita cari, baca, dan wiridkan firman-firman-Nya yang berkaitan dengan ancaman yang mengepung kita. Jamaah Maiyah sudah punya sangu banyak soal itu.
Jamaah Maiyah sudah mengerti semua bahwa ketika Nabi Musa beserta rombongannya dikejar-kejar oleh pasukan Fir’aun, di tengah jalan beliau sakit perut. Tidak ada penjelasan detail di Bahasa Arab atau Inggris tentang yang diderita oleh Kanjeng Nabi Musa itu “mules” ataukah “sebah”, “suduken”, “mlilit”, dll. Bahkan antara “sakit”, “panas” dan “perih” saja cuma dibilang “hurt”, atau disebut sebabnya, “injured”, “ill”. Singkat kata Nabi Musa mengeluh kepada Allah dan Allah suruh Musa naik bukit, ada pohon ambil dan makan daunnya. Nabi Musa patuh. Baru mengunyah separuh daun, sakit perutnya sembuh. Nabi Musa turun gabung kembali ke gerombolannya.
Kemudian setelah jalan beberapa puluh langkah beliau sakit perut lagi, beliau langsung naik lagi ke bukit dan ambil daun. Tapi sampai sekian lembar daun beliau makan, perut tak sembuh-sembuh juga. Nabi Musa protes kepada Allah dan Allah menjawab: “Yang pertama tadi kamu mengeluh kepada-Ku, yang kedua kamu langsung naik bukit ambil daun dan kamu makan. Siapa yang bilang daun bisa menyembuhkan penyakit?”
Ini perempatan jalan peradaban modern yang sedang kita jalani. Siapa bilang vaksin apapun bisa menetralisir Coronavirus? Mungkin akan ada yang sembuh, dan itu artinya adalah peran “sunnatullah” yang diberlakukan sejak Allah Kun Fayakun bikin alam. Tetapi momentum kesembuhan tetap di tangan Allah, sehingga mengeluhnya Nabi Musa kepada Allah lebih mujarab dibanding peranan daun. Sekarang ini cari kata atau kalimat dari WHO atau semua pemerintah negara-negara di seluruh dunia yang mengeluhkan hal Covid-19 kepada Allah. Semua wacana mengenai Tuhan dan peranan-Nya bukan hanya tidak menjadi bagian dari agenda peperangan ummat manusia melawan virus Corona, bahkan mungkin diam-diam diperolok-olokkan, diejek, diremehkan, dianggap kuno, direndahkan. “Maka mereka ditimpa oleh akibat dari kejahatan perbuatan mereka dan mereka diliputi oleh azab yang selalu mereka perolok-olokan.” (An-Nahl).
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am). Mungkin ini penjelasannya kenapa Jamaah Maiyah itu ghuraba`, kaum yang terasing. Atau memang mengasingkan diri sebagaimana Allah menyuruh.
Masalahnya Jamaah Maiyah bisa terdampak, terkena, keserempet oleh kedhaliman di area di mana mereka bertempat tinggal. Sayang seribu kali sayang Allah hobi banget menunda adzab atau memberi tangguh waktu kepada manusia yang menyakiti hati-Nya. “Dan sesungguhnya telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka Aku beri tangguh kepada orang-orang kafir itu kemudian Aku binasakan mereka. Alangkah hebatnya siksaan-Ku itu!” (Ar-Ra’d).
Maka jamaah Maiyah ndridil mewiridkan firman-firman baku dari Allah Swt, contoh-contoh dari Rasulullah Saw, atau mengembara ke sabana-sabana ijtihad perkawinan antara “halalan thayyiban” dengan “afala tatafakkarun” itu. Sampai akhirnya di sebuah petak savanna zaman, berjumpa Kenjang Sunan Kalijaga sedang ura-ura nembang syair Tolak Bala:
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman
Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal
Jamaah Maiyah menghayati itu dengan konsentrasi melotot batinnya ke Coronavirus, sambil menoleh ke kanan dan kiri, khawatir ada ustadz-ustadz modern yang akan memarahinya, mengecamnya, mengkritiknya, bahkan mungkin mengutuknya: bid’ah, musyrik, kafir…. Karena jelas-jelas Kanjeng Nabi Muhammad Saw tidak pernah mengajarkan kalimat-kalimat itu, apalagi lagu-lagu tembangnya. Mana mungkin Nabi Muhammad nembang Jawa. *****