Menjulurkan Lidah Alias Mèlèt-Mèlèt
Di dalam cara hidup sehari-hari dikenal polarisasi antara berpikir positif dan berpikir negatif, bersikap optimis dan pesimis, terutama lihat baiknya atau terutama lihat buruknya. Di Pati Jawa Tengah dulu ada tokoh masyarakat yang digelari “Kiai Alhamdulillah” karena beliau dikenal sangat pensyukur, mengalhamdulillahi apa saja yang beliau alami.
Di Maiyah saya sering berkisah tentang sopir truk yang ditumpangi oleh seorang wartawan perang yang tergesa dan dikejar waktu untuk meliput. Ban truk meletus satu alhamdulillah. Pecah dua alhamdulillah. Bahkan as-nya patah si sopir tetap alhamdulillah. Ketika sang wartawan memprotesnya ia menjawab: “Alhamdulillah yang patah as truk kita, bukan tulang punggung Anda”.
Sikap hidup penuh syukur itu juga diungkap oleh seseorang tentang kesengsaraan ummat manusia akibat pandemik Corona, kemudian beredar di medsos dunia. Tetapi jangan pikir semua orang merasa lega dan tenang karena itu. Jiwa kefasikan dan ketiadaan dialektika silaturahmi dengan Allah bisa meletakkan seseorang pada kutub cara berpikir dan cara bersikap yang berbeda, bahkan bertentangan.
“Terima kasih Corona yang telah menyatukan ummat manusia, pertama kali dalam sejarah. Menyatukan antara yang kaya dan miskin, penguasa dan rakyat, politikus dan warga negara, perwira dan prajurit”, tutur si pengunggah video itu.
Ada yang nyeletuk di dalam hatinya: “Ah, itu persatuan palsu. Kalau landasan persatuan ummat manusia adalah ketakutan bersama terhadap suatu penyakit, berarti kalau ada Negara yang menyebarkan misalnya bakteri atau kuman dalam ikhtiar perang dengan biologis — apa lantas bisa dibenarkan kalau pelakunya menyatakan “Saya sebarkan kuman ini demi mempersatukan ummat manusia sedunia”.
“Mengeratkan anggota keluarga, mendekatkan mereka, mengenalkan detail isi rumah. Mengingatkan kami yang kemarin tertipu dengan kenikmatan dan tidak mensyukurinya. Terima kasih Corona yang mengajarkan kepada kami prioritas-prioritas dalam kehidupan. Membukakan kepada kami hakikat kekuatan dan kelemahan kami. Mengingatkan kesombongan dan kehebatan palsu kami, yang ditundukkan oleh Corona. Terima kasih atas pelajaran yang diberikan, dan sungguh merugi yang tidak mau mengambil pelajaran”, tutur si pengunggah lagi.
“Keluarga rukun ya karena kesadaran berkeluarga dan berkerukunan, bukan nunggu virus. Tertipu oleh kenikmatan palsu sehingga tidak mensyukuri kenikmatan yang sejati? Emang ada Sekolah atau Pesantren yang kurikulumnya mengajarkan dan melatihkan hal itu? Kesombongan semu manusia yang terbukti KO habis-habisan oleh makhluk seperseribu debu yang bernama Coronavirus? Manusia, utamanya kaum ilmuwan, bukannya sombong. Hanya saja Covid-19 belum pernah diagendakan untuk diteliti sebelumnya”.
Demikianlah pencapaian kepandaian manusia ditradisikan dengan kelatahannya untuk menjulurkan lidah. Puncaknya adalah Peradaban Medsos. “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat (termasuk Covid-19) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir”.
Mungkin itulah sebabnya di kalangan Jamaah Maiyah di-tanazzul-kan entah melalui Malaikat petugas yang mana: bimbingan-bimbingan untuk berbicara, bersikap dan berlaku dengan memperhatikan momentum, nuansa, ruang dan waktu. Diteliti sudut pandang, sisi pandang, perspektif pandang, momentum pandang, resolusi pandang, kemenyeluruhan pandang dan seterusnya sampai ke Ilmu Thawaf. Bahwa kebenaran berbeda dengan pembenaran. Bahwa berdebat adalah mencari kebenaran sejati, bukan mempertahankan pembenaran atas benarnya sendiri. Bahwa pelaku kebenaran harus berhitung dan menjamin keluarannya adalah kebaikan. Bahwa kebijaksanaan lebih tinggi dibanding kebaikan maupun kebenaran. Tidak lantas transparansi itu pasti positif absolut. “Ud’u ila sabili Rabbika bil-hikmah”, demikian panduan ilmu dan laku dari Allah. Bukan “bil-khair” juga apalagi “bil-haqqi”.