(Belum) Habis Pageblug, Terbitlah Paceklik
Kemarin kita masih “Bisa jual bisa beli”. Kebanyakan orang bisa beli atau relatif punya uang dan bisa jualan. Sekarang mulai “Sukar jual sulit beli”. Akan datang hari “Alot jual belum tentu ada yang beli”, kemudian “Pas bisa beli belum tentu ada yang jual”. Kemudian sempurna keadaan di mana kebanyakan atau semua orang “Tak bisa beli tak bisa jual”. Bisa beli tak ada yang jual. Puncaknya tentu tidak ada yang bisa dijual dan tidak ada yang dipakai untuk beli.
Belum habis Pageblug, terbitlah Peceklik. Sebagian orang hari ini berpikir apa yang mungkin dijual segera dijual supaya bertahan lebih lama, juga apa yang bisa dibeli segera dibeli, juga supaya bisa bertahan lebih lama. Panic selling and panic buying.
Kebanyakan orang tidak siap tiba-tiba harus kembali ke peradaban ladang: makan tidak makan berdasarkan menanam atau tidak menanam. Arek-arek etanan misuh: menanam ndasmu. Tempat tinggal saja masih kost. Rumah ngontrak hampir habis. Mau menanam di mana, depan rumah jalan raya, kiri kanan dan belakang rumah-rumah lain berjejal-jejal. Nandur ndik bathukmu ta.
Hari ini kita belum sampai ke sana. Tetapi tidak ada yang bisa memastikan bahwa kita akan tidak sampai ke sana. Kalau ternyata benar akan sampai ke sana, situasi itu terserah apa sebutannya. Khaos mungkin, khaos oblong. Diawali meningkatnya maling, copet, jambret, mbobol, ngrampok. Kemudian berebut apa saja seperti kapal mau tenggelam.
Ramadlan pun akan kita jalani dengan kondisi dan mekanisme yang aneh dan belum pernah kita alami sebelumnya. Kita tunggu romantisme spanduk di jalan-jalan atau ucapan online “Taqabbalallahu minna wa minkum, selamat datang Bulan Suci Ramadlan”. “Lama kami merindukanmu, akhirnya Ramadlan datang juga”. Tapi mau tidak mau semua harus menyiapkan diri, mental, hati dan apa saja yang diminta oleh situasi yang disebut terakhir itu. Mudik disuruh balik. Kendaraan distop disuruh balik atau dihukum kurungan 100 hari.
Tapi dalam keadaan seperti itu kekuasaan tidak bisa menguasai. Tentara dan polisi silakan bawa bedil, bom dan rudal, tapi tidak sedikit pun akan efektif untuk menyelesaikan masalah. Covid-19 tak bisa ditembak pakai pistol, apalagi bedhil manuk. Bahkan pun M-16, granat, mitraliyur, rudal.
Kalau hari ini masih ada Pemerintah, tolong umumkan apa rencana mereka untuk menghadapi hari-hari seperti itu besok atau lusa atau minggu berikutnya atau bulan depan. Tetapi apakah memang masih ada Pemerintahan di Negeri ini? Apakah pernah ada Pemerintahan yang perhatian utamanya adalah keadaan rakyat banyak? Apakah pernah ada Pemerintahan yang mengutamakan amanah dan tanggung jawab?
Tetapi ini Rikiblik Indonesia. Ada Pemerintah atau tidak ada Pemerintah tidak pernah menjadi masalah primer rakyatnya. Ada Pemerintah ya welèh. Tidak ada Pemerintah ya malahané. Mau Presidennya Layang Seto atau Layang Kumitir, Petruk atau Bagong, leg-legen dhewe kono. Tingkat keacuhan dan apatisme bangsa ini akan sangat mengagetkanmu kalau engkau menembus sedikit saja di bawah permukaan air zaman. Bukan air zam zam.
Sejumlah teman konco lawas mempertanyakan tulisan-tulisan saya yang membeberkan banyak hal-hal dan fakta-fakta ketidakberesan pengelolaan Negeri ini. “Untuk apa?”, kata mereka. Kemudian mengutip ayat: “Sama saja bagi mereka engkau peringatkan atau tidak engkau beri peringatan. Telah ditutup hati mereka (dari merasakan apa yang mereka wajib merasakan), pendengaran (untuk mendengar segala sesuatu yang mereka bertanggung jawab untuk mendengarkan) mereka, penglihatan (untuk melihat apa yang diamanatkan kepada mereka untuk melihat) mereka”.
Terusannya ayat itu adalah “walahum ‘adzabun ‘adhim”. Dan adzab yang pedih untuk mereka. Mereka siapa? Kita-kita yang tidak ikut membutakan mata, telinga dan hati, juga disiksa hari-hari ini. Mereka yang dhalim itu tetap leha-leha saja, sehat-sehat saja, tetap naik mobil empuk joknya, dikawal tim keamanan, makan minum enak dan keluarga sehat sejahtera. Bahkan anaknya mencalonkan diri jadi Walikota.
Rakyat kecil ini salahnya apa? Para pekerja harian. Para Ojol. Kuli. Karyawan rendahan. Penjual Angkringan. Warung-warung kecil. Apakah kepada para pemulung kau sarankan “Di Rumah Saja”? Di rumah saja ndasmu. Mestinya semua rakyat yang tidak makan keluarganya kalau dia tidak berjuang keluar rumah tiap hari, dijamin kebal Corona. Kenapa semua orang, semua manusia, semua penduduk, semua warga, kelas apa pun, level mana pun, kerja apa pun, memperoleh ancaman dan akibat yang sama oleh Corona? Emangnya ini Jagat Raya Komunisme: sama rata sama rasa?
Almarhum sahabat saya, Rendra pernah menulis puisi. Tiap habis bait tolong tambahkan kata Tetap saja terancam Corona atau terserah engkau bikin sendiri:
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Yogya, 4 Februari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
Orang-orang miskin itu mungkin tetangga kita, mungkin sedulur kita, mungkin kita sendiri. Tapi kita dilarang menciptakan orang miskin. Maksudnya, jangan biarkan orang mengemis kepada kita karena miskin. Kita harus memuliakan setiap saudara, kerabat, famili, dan tetangga kita dengan aktif mencari tahu bahwa mereka memerlukan pertolongan. Siapkan dan berikan pertolongan tanpa menunggu mereka menjadi orang miskin yang mengemis kepada kita. “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal).
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu sampai bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur).
Apalagi Jamaah Maiyah adalah Al-Mutahabbina Fillah. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah. Maka mereka pasti sudah menyiapkan pikiran, niat, sikap dan cara-cara di antara mereka untuk membuktikan cinta di antara mereka, dengan siap saling tolong-menolong.
“Dan tolong-menolong engkau semua atas kebaikan dan ketaqwaan.” (Al-Maidah). “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah).
Sesungguhnya, bagi dan pada setiap dan semua manusia, tolong-menolong adalah perilaku yang tidak memerlukan hukum, akhlaq maupun ayat-ayat Allah — kalau memang mereka benar-benar manusia. Sudah sangat lengkap bekal di dalam dirinya yang bersumber dari “Sunnatullah” atau sumber alamiah kemakhlukannya, untuk dengan sendirinya akan berlaku tolong-menolong satu sama lain. Meskipun seandainya tidak ada Nabi, tidak ada Agama, tidak ada Masjid dan Sekolahan. Bedanya hanya ada yang bersegera mencari saudara-saudaranya yang wajib ditolong, ada yang menantikan munculnya orang yang meminta pertolongan. *****