Berfikir Jernih Agar Tidak Menjadi Dholuman Jahula
“Tidak hanya dholim tetapi dholum, tidak hanya jahil melainkan jahul”, Cak Fuad sedikit menjelaskan mengapa tema “Dholuman Jahula” diangkat menjadi tema Padhangmbulan kali ini. Dari asal kata saja, kata dholum itu lebih parah dari dholim, begitu juga kata jahul yang merupakan istilah yang lebih rendah lagi dari sekadar jahil.
Berpijakan pada surat Al-Ahzab ayat 72, dan dalam ayat tersebut pada hakikatnya Allah sedang memberi peringatan kepada manusia bahwa jika berlaku khianat terhadap amanah, maka ia termasuk dalam golongan dholuman jahula. Cak Fuad pun mengajak jamaah untuk melihat fenomena di sekitar kita akhir-akhir ini, ada berapa banyak orang yang berkhianat terhadap amanat yang bahkan mereka meminta untuk diberi amanat tersebut.
Memang, berhadapan dengan orang munafiq itu sangat berat dan merepotkan. Cak Nun sendiri pada suatu kesempatan pernah berujar bahwa 1 orang munafik lebih berbahaya dari 100 orang kafir. Cak Fuad menambahkan, jika kita memang mendapat sebuah amanat dan kita menunaikan amanat tersebut dengan baik, maka kita akan mendapat pahala. Hal yang paling mudah untuk menggambarkan manusia yang bisa dipercaya adalah bahwa ia melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah.
Cak Nun kemudian menyuplik ungkapan dari Imam Al Ghazali, bahwa ada 4 jenis manusia; Rojulun yadri wa huwa yadri annahu yadri, Rojulun yadri wa huwa laa yadri annahu yadri, Rojulun laa yadri wa huwa yadri annahu laa yadri, Rojulun laa yadri wa huwa laa yadri annahu laa yadri. Dari empat jenis manusia itu, jangan sampai kita menjadi golongan yang keempat. Bahkan fenomena yang terjadi hari ini, lebih parah dari golongan yang keempat, ada orang yang tidak mengetahui apa-apa, tetapi seakan-akan ia mengetahui banyak hal, sehingga merasa paling mampu untuk menyelesaikan masalah.
Diskusi di Padhangmbulan mengalir begitu dinamis membahas klasifikasi manusia. Cak Nun kemudian merumuskan 4 formula baru tentang manusia; Ada orang yang mengetahui tentang apa yang ia ketahui, ada orang yang mengetahui tentang apa yang tidak ia ketahui, ada orang yang tidak mengetahui tentang apa yang tidak dia ketahui, dan ada orang yang tidak mengetahui apa yang dia ketahui. Golongan yang keempat inilah yang paling berbahaya dari 4 klasifikasi itu. Dialah orang yang dholuman jahula.
Padhangmbulan edisi Oktober 2019 tadi malam termasuk Padhangmbulan yang sangat efektif dalam berlangsungnya diskusi. Bahkan di sesi awal, Cak Nun sudah membuka sesi tanya jawab. Ada 7 penanya yang kemudian menyampaikan pertanyaan kepada Cak Fuad dan Cak Nun, tapi dalam catatan ini hanya akan kita bahas 2 pertanyaan yang bisa dikatakan menjadi kunci utama dan memiliki benang merah dengan tema Padhangmbulan kali ini.
Pertanyaan pertama, dari seorang perempuan yang mengeluhkan perilaku ibunya, setiap hari ibunya membakar dupa dan selalu memberi omben-omben, semacam minuman yang sudah dibacakan do’a-do’a. Dikisahkan oleh perempuan itu, Ibunya merasa resah karena anak perempuannya belum juga dipertemukan dengan jodohnya. Si anak merasa bahwa perilaku ibunya itu mengandung kemusyrikan. Yang ia tanyakan adalah bagaimana sebaiknya bersikap terhadap perilaku Ibunya itu. Kebingungan yang ia hadapi adalah jika ia tidak menuruti apa yang diperintahkan oleh ibunya ia akan merasa durhaka, sementara perintah ibunya itu menurutnya adalah perbuatan syirik.
Cak Fuad dan Cak Nun merespons kegelisahan perempuan muda itu dengan menyampaikan respons yang sama. Di Maiyah sudah lama kita mempelajari di mana letak syirik itu. Syirik tidak terletak pada benda, melainkan pada pikiran yang tertanam dalam diri kita. Biasanya, Cak Nun mencontohkan peristiwa orang membakar kemenyan yang kemudian dianggap oleh orang lain sebagai perilaku musyrik. Kemenyan hanya benda, mau dibakar atau digoreng, bahkan direbus itu tidak akan mengubah kodrat kemenyan. Yang membuat peristiwa membakar kemenyan musyrik atau tidak adalah manakala orang membakar kemenyan dengan niatan untuk memberi sesembahan kepada sesuatu yang selain Allah. Karena hanya Allah yang paling pantas dijadikan sesembahan oleh manusia.
Cak Fuad dan Cak Nun memberi saran kepada anak perempuan yang bertanya tadi agar melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibunya, kemudian niatkan dalam hati bahwa dia melakukannya untuk membahagiakan hati ibunya, agar ibunya lega. Meskipun juga aka nada konsekuensi yang akan ia dapatkan, jika ternyata suatu hari setelah ia melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibunya tadi kemudian ia bertemu dengan jodohnya, Ibunya pasti akan berseloroh bahwa dipertemukan anaknya dengan jodohnya karena ia menuruti apa yang diperintahkan oleh ibunya. Tentu saja sulit, tetapi setidaknya sejak awal niatan dalam hati sang anak sudah jelas, menuruti perintah ibunya untuk menyenangkan hati ibunya.
Pertanyaan kedua, datang dari seorang remaja laki-laki. Ia bertanya tentang ibadah mahdhloh. Ketika sholat, seringkali ia tidak fokus kepada Allah, ia merasa resah apakah dengan situasi seperti itu ia termasuk ke dalam golongan yang dholuman jahula atau tidak?
Cak Fuad menyampaikan bahwa ritual sholat diperintahkan oleh Allah dalam konsep yang memudahkan manusia untuk berhubungan dengan Allah. Maka, mulai dari takbiratul ihram hingga salam adalah tata cara yang paling mudah bagi manusia untuk menyapa Allah dalam sholat. PErsoalan khusyuk atau tidak, tugas manusia hanya berusaha, tidak akan bisa memastikan apakah sholat yang ia lakukan itu khusyuk atau tidak. Bukankah lebih baik mengusahakan untuk khusyuk daripada tidak berusaha sama sekali. Ketika kita sudah berniat mendirikan sholat, maka kita sudah bertekad untuk berusaha khusyuk. Persoalan pada akhirnya tidak khusyuk ketika sholat, ya memang begitulah kita hidup. Tidak selalu apa yang kita alami berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Tetapi setidaknya kita sudah berusaha.
Dari dua pertanyaan itu saja setidaknya kita hendaknya belajar bagaimana agar kita mampu bersikap bijak kepada orang yang bertanya. Apalagi pertanyaan yang diajukan bukan pertanyaan yang mudah. Bisa dibayangkan jika pertanyaan tentang syirik tadi ditanyakan dalam sebuah forum majelis ilmu mainstream di masyarkaat, yang ada adalah orang yang bertanya justru dimarah-marahi dan dihakimi. Padahal yang ia butuhkan adalah bagaimana seharusnya bersikap yang tepat agar tidak menyakiti perasaan yang lain.
Di Maiyah, pijakan tauhid itu sudah mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Tetapi, problematika kehidupan yang kita hadapi tidaklah semudah kita membaca teori tentang ilmu agama yang kit abaca atau kita dengar dari ulama, ustadz, atau kyai yang kita hormati karena penguasaan ilmunya.
Seringkali justru yang kita butuhkan adalah kebijaksanaan dalam bersikap dalam merespons problematika yang kita hadapi.
Alhamdulillah, kita dipertemukan dengan Maiyah. Forum majelis ilmu yang mengedepankan cinta dan kasih sayang sehingga kebijaksanaan yang kita butuhkan dapat kita temui di Maiyah.