Gilingan Maiyah dan Copotnya Baju Kebesaran


Sebuah pesan masuk dari Cak Nang. Saya baca sekilas sambil ngiyup di tengah hujan deras. Di teras masjid saya tertahan, menunggu hujan reda. Pukul 17.00 WIB pesan kedua masuk. Mas Fadil, sahabat dari Yogya sudah mendarat di Pasar Legi Jombang. Dia akan mengikuti pengajian Padhangmbulan. Hujan makin menderas saja.
Parkir halaman SMK Global telah penuh. Perkiraan saya meleset–hujan-hujan begini saya pikir pengajian Padhangmbulan agak sepi pengunjung. Ternyata, hujan, hawa dingin, jalanan basah tidak menghalangi kehadiran jamaah.
Analogi Pawon
Saya buka kembali pesan dari Cak Nang. Isinya adalah tema Padhangmbulan: lebih utama identitas, perilaku atau karya seseorang? Tema yang rumusan kesadarannya, jujur, tengah merampas perhatian saya selama satu bulan terakhir. Tema yang menanggalkan baju kebesaran, merontokkan perasaan rumangso iso, mencopot mahkota kemuliaan semu.
Kunci kesadaran yang diwakili oleh tema pengajian itu menuntun saya pada sabil, syari’, thariq dan shirath mengapa saya merindukan Padhangmbulan. Pertama, tema pengajian yang ternyata nge-klik dengan aktualitas pengalaman saya selama satu bulan menawarkan mata pandang yang membebaskan. Kedua, cara berpikir, sikap berpikir, sudut pandang dan seterusnya, saya konfirmasi langsung apakah beririsan dengan ilmu Padhangmbulan atau justru bergerak menjauh. Ketiga, kita memasang kepekaan imajinasi fantastis: simbolisasi dan analogi apa yang akan disampaikan Mbah Nun untuk mengupas tema pengajian malam itu.

Benar saja–di pembuka sapa, Mbah Nun menyodori kita analogi yang melibatkan benda dan kamera HP. Benda boleh sama, tapi hasil jepretan kamera bisa jauh berbeda. Yang pasti tidak tepat bukan benda sebagai objek foto, melainkan kemampuan kamera saat menangkap dan menerjemahkan pixel, cahaya, atau sejumlah elemen dasar gambar lainnya, sehingga tiga kamera yang berbeda spesifikasi akan menghasilkan kualitas jepretan yang berbeda pula.
Analogi tersebut ternyata mengantarkan kita menuju analogi selanjutnya: analogi pawon atau dapur. Inti pesannya adalah bagaimana kita mengkhalifahi “bahan-bahan mentah” seperti lombok, terasi, bawang, garam menjadi sambal sebagai “produk jadi” dan siap makan.
Pawon atau dapur tak ubahnya seperti gilingan, mesin penggiling, atau silakan diaplikasikan ke dalam berbagai produk budaya, ekonomi politik dan agama. Pertanyaannya adalah apakah mesin penggiling tersebut menghasilkan produk yang bermanfaat atau bermasalah, menyajikan kemaslahatan atau kemudlaratan?
Mbah Nun memberi contoh konkret. Apakah mesin gilingan bernama sekolah telah menghasilkan lulusan yang bermanfaat? Mereka yang ngemplang duit rakyat apakah hasil gilingan sekolah atau bukan? Kalau sila pertama adalah sila keimanan, dan sila kedua adalah sila pendidikan—apakah keduanya telah “menggiling” bangsa Indonesia dan menghasilkan produk persatuan sila ketiga? Setelah beriman dan bersekolah apakah kita semakin bersatu atau semakin tercerai berai?

Lantas bagaimana dengan gilingan bernama Maiyah? Potensi jamaah yang diproses dalam sistem berpikir Maiyah seyogianya mampu menerjemahkan output tersebut pada wilayah hidup masing-masing melalui aplikasi dan kerja nyata.
Kalau Maiyah adalah sistem pawon atau serupa mekanisme kerja sebuah pabrik, apakah produk yang dihasilkan, memberi nilai manfaat atau mudlarat? Bagaimana pemetaan skala geografis dan skala waktunya? Apakah selesai dan berakhir di dunia ataukah hingga di akhirat?
Bersinggungan dengan proses Piagam Maiyah, Mbah Nun menemukan irisan antara gilingan Maiyah, sabil, syari’, thariq dan shirath. “Maiyah berada pada wilayah thariq, dan syariat Maiyah adalah syariat Islam,” ungkap Mbah Nun. Pada konteks thariqah manusia memiliki peluang untuk terus mencari dan menemukan cara paling efektif, efisien dan presisi. Adapun sabil, syari’ dan shirath penentunya adalah Allah.
Tidak ada pilihan terhadap syariat Allah kecuali manusia wajib menaatinya. Peluang manusia adalah mengkhalifahi kaifiyah atau cara menempuh jalan tersebut dengan tetap memegang syariat.
Maiyah: Ruang Terbuka untuk Berhijrah
Lalu, Maiyah sendiri itu apa? Ormas, bukan. Halaqah, bukan. Selama ini Maiyah tak ubahnya kota Madinah–sebuah wilayah terbuka yang menjadi tujuan hijrah ketika kita mengalami kesumpekan, kesupekan, kesedihan atas kenyataan yang berlangsung di sekeliling kita. Jamaah berkumpul di Maiyah tidak karena pertimbangan estetika apalagi demi pamrih penampilan dan pencitraan. Kita bersaudara dunia-akhirat karena diikat oleh tali saling mencintai.

Kalau Maiyah seperti Madinah, maka jamaah yang berhijrah tak ubahnya kaum muhajirin. Jika demikian, pada konteks hijrah jamaah ke Maiyah, siapakah yang menjadi kaum Anshor? Pertanyaan tersebut bukan retorika permainan logika. Menemukan akurasi jawaban atas pertanyaan tersebut mendorong kita agar menyelam lebih dalam. Maiyah merupakan wadah baru, gilingan baru, pabrik baru yang diupayakan terus menerus tidak menambah masalah di tengah karut marut gilingan dan pabrik yang rajin menghasilkan polusi.
“Tidak menambah masalah merupakan solusi bagi masalah. Tidak menambah mudlarat adalah sebuah maslahat. Tidak berbuat yang merugikan orang lain adalah berbuat baik itu sendiri. Jadi tidak berbuat itu sebuah perbuatan,” demikian Mbah Nun menegaskan.
Hidup adalah Kata Kerja bukan Kata Benda
Larut dalam irama pemaparan Mbah Nun baru saya sadari hujan telah reda. Jamaah makin padat. Udara dingin turut hadir menyapa jamaah. Setiap unsur yang kasat mata maupun tidak kasat mata mengalir dalam harmoni yang bergetar-getar.
Mengawali pemaparannya Cak Fuad bercerita tentang Mas Joko Pitoyo–“produk” dari gilingan Maiyah yang menebar manfaat pada lingkungan paling dekat. Komunitas yang bergiat di berbagai bidang memberikan sedekah yang tiada putus manfaatnya.

Meneguhkan keyakinan bahwa Allah pasti membalas setiap kebaikan, sekecil apapun kebaikan itu; menguraikan makna amal shalih sebagai perbuatan baik yang sesuai dengan konteks–yang menurut Mbah Nun shalih adalah perbuatan yang benar-benar presisi; serta ciri orang mukmin yang menjauhi perbuatan sia-sia merupakan butir-butir ilmu yang disampaikan Cak Fuad.
“Kalau kita mencermati kata-kata dalam Al-Quran, Allah sering menggunakan kata kerja sebagai ciri dan tanda orang beriman,” kata Cak Fuad. Ungkapan la’allakum tattaquun, agar kamu bertakwa, bukan takwa sebagai baju atau kostum, melainkan proses kerja, setia berkarya–tattaqun adalah kata kerja atau fi’il mudlarik yang berskala waktu sekarang dan akan datang.
Tentu saja, kata kerja akan terkait dan terikat oleh skala ruang dan waktu, bersifat dinamis, mengalir dan bergetar dalam proses. Allah tidak menagih kita telah mengenakan simbol baju kebesaran apa, melainkan bagaimana kesetiaan kita menjalani laku kerja.
Namun, fenomena zaman now tengah dibanjiri oleh kecenderungan manusia untuk macak. Mengenakan kostum kemulian agar tampak mulia. Tidak setia dan tangguh memroses diri dalam laku jihad, ijtihad dan mujahadah, melainkan memilih jalan pintas, memasang shortcut mengenakan simbol-simbol status sebagai orang baik nan mulia.
Padahal Allah tidak memandang bentuk fisik dan topeng-topeng penampilan dhahir, melainkan menilai hati dan perbuatan kita. Hati terkait dengan kemurnian niat, dan perbuatan terkait dengan kesetiaan menjalani proses alias tangguh saat bekerja dan berkarya. Hidup bukan terletak pada kata benda–statis dan mandeg, melainkan pada kata kerja–dinamis, bergetar dan mengalir.

Idealisasi tersebut merupakan arus yang berlawanan dengan kenyataan ketika nyaris sebagian besar orang berada dalam atmosfer hubbud-dun-ya wa karaahiyatul maut. Mencintai dunia dan membenci mati. Apakah mereka takut mati? Tidak. Yang mereka takuti adalah takut tidak kaya, takut tidak terkenal, takut tidak eksis, takut tidak berkuasa.
Gamblang sudah. Padhangmbulan dan Maiyah adalah gilingan yang mewariskan presisi berpikir dan berbuat. Seimbang di titik zero poin, atas-bawah, kiri-kanan di tengah udara zaman yang penuh oleh serbuk tembaga turbulance. Selamat berjuang menjaga keseimbangan tanpa baju kebesaran, wahai para Patriot Maiyah. (Achmad Saifullah Syahid)