Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit
Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog. Adi Pudjo bersama Ali Hasbullah dan Nashir bergantian memaparkan beberapa pointer hasil diskusi Reboan yang selanjutnya melahirkan tema kali ini.
Sebagai moderator, Donny mempersilahkan jama’ah yang hadir untuk urun pemikiran dalam Kenduri Cinta. Donny memancing dengan pemikiran bahwa pada dahulu kala Allah swt melalui Rasulullah SAW dan perantaraan Jibril mensyariatkan ibadah-ibadah mahdhloh ketika Rasulullah SAW masih berada di Makkah. Salah satu buktinya adalah ayat-ayat Makkiyah yang mengatur kaifiyat Ibadah Mahdhloh. Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, kemudian yang lebih ditekankan adalah tentang hubungan manusia terhadap sesamanya. Sehingga, kita pun melihat ayat-ayat Madaniyah lebih menekankan pada Ibadah Mu’amallah.
Adi Pudjo menjelaskan, bahwa kehidupan manusia ini membutuhkan kesepakatan-kesepakatan yang tujuan utamanya adalah agar kehidupan sosial antar manusia terwujud dalam suasana yang harmonis. Allah menurunkan kitab-kitabnya. Jika kita melihat sejarah bagaimana kitab-kitab itu diturunkan, akan terlihat bagaimana Allah tidak langsung menurunkan sebuah kitab pedoman yang sempurna. Tetapi, melewati beberapa tahapan; Taurat, Zabur, Injil, Al Qur’an. Tidak serta merta ketika Nabi Adam AS diutus ke bumi, kemudian Allah memberikan Al Qur’an kepada Nabi Adam AS. Dari proses ini dapat disimpulkan bahwa Allah menginginkan manusia untuk belajar dari ummat-ummat terdahulu. Dan, sebagai pegangan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah swt, fiqih menjadi salah satu landasan kesepakatan antar manusia pasca kehadiran Rasulullah Muhammad SAW. Fiqih tidak hanya mengatur ibadah mahdhloh, tetapi juga mu’amallah.
Saat ini banyak orang melakukan ritual-ritual ibadah mahdhloh hanya sebatas rutinitas, sekedar menggugurkan kewajiban. Memang, kita tidak bisa menjustifikasi apakah ibadah seseorang diterima atau tidak oleh Allah. Tetapi, setidaknya kita bisa merasakan efek dari ibadah yang dilakukan oleh orang-orang yang kita jumpai di sekitar kita. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa Agama dan segala perangkatnya itu ibarat dapur, sedangkan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang adalah hasil racikan yang diolah dari dapur itu. Maka akan sangat timpang jika kita melihat seseorang yang rajin beribadah, rajin bersedekah, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu kasar. Seakan-akan apa yang dia lakukan justru tidak berpengaruh dengan dirinya sendiri.
Dari Adi Pudjo, Nashir menarik benang merah kehidupan sosial masyarakat yang seringkali dihadapkan dengan hubungan dimana tidak semuanya berkeyakinan sama dengan kita. Dari kondisi ini Nashir menjelaskan bahwa Fiqih dalam Islam merupakan sebuah batas yang dijadikan sebagai salah satu benteng pertahanan bagi setiap muslim ketika berinteraksi dengan masyarakat yang lain, baik yang seiman maupun berbeda keyakinan. Jika fondasi fiqih dalam diri setiap muslim itu sudah kuat, maka tidak akan ada lagi perdebatan mengenai apakah boleh mengucapkan selamat natal atau sholat tarawih 11 rakaat atau 23 rakaat.
Selanjutnya, Ali Hasbullah turut menegaskan semakin terlihatnya kecenderungan masyarakat yang hanya terfokus pada wilayah Fiqih, yang bersifat kulit saja, bahkan meninggalkan esensi dan ruh dari iIbadah yang sesungguhnya dia jalani itu. Saat ini kita melihat bagaimana orang begitu semarak dalam menampilkan ritual-ritual ibadah mereka, mulai dari yang wajib hingga sunnah, dan dengan mudah kita dapat rasakan bahwa itu hanyalah narsisme yang mengandalkan kulit luar.
Sekali lagi, kita memang tidak akan pernah mampu menjustifikasi apakah ibadah seseorang diterima atau tidak oleh Allah, namun di sisi lain kita diberi pula kemampuan untuk merasakan dampak dari ritual ibadah yang dilakukan oleh seseorang. Kita bisa merasakan indikasi-indikasi kemudian menyimpulkan bahwa ibadah yang dilakukan telah benar-benar dipersembahkan kepada Allah atau untuk memoles tampilan dirinya agar dipandang baik di mata masyarakat sekitar.
Sementara itu, juga terdapat banyak sekali perilaku-perilaku manusia yang sebenarnya memerlukan kaidah-kaidah fiqih layaknya ibadah mahdhloh. Akan tetapi, dari iInformasi tidak seimbang yang sampai ke masyarakat saat ini mengakibatkan banyak sekali perilaku-perilaku yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah Fiqih.
Bulan lalu misalnya, ada jamaah yang merasa kebingungan bagaimana nasib penghasilan yang ia terima sebagai seorang desainer grafis sedangkan ia menggunakan perangkat lunak dengan lisensi yang bajakan. Selain itu, masih banyak lagi persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat dimana mereka lalai terhadap kaidah-kaidah fiqih akibat informasi yang tidak sampai, hingga akhirnya kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk menyampaikan informasi-informasi yang kurang tepat. Fenomena-fenomena yang muncul akhir-akhir ini, seperti trend meng-haram-haramkan, mengkafir-kafirkan, membid’ah-bid’ahkan juga merupakan salah satu akibat dari tidak tepatnya informasi fiqih yang disampaikan kepada masyarakat luas.
Selain itu, informasi tentang bagaimana Rasululllah SAW melaksanakan sholat, yang ternyata terdapat berbagai versi yang cukup banyak, justru menimbulkan perpecahan antar ummat Islam sendiri. Masing-masing merasa paling benar karena masing-masing sudah merasa memiliki informasi yang telah diverifikasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka punya.
Sebelum membuka interaksi dengan jama’ah, Donny mengantarkan, bahwa perdebatan-perdebatan yang terjadi di masyarakat saat ini lebih kepada sisi material; seperti ketika sholat bagaimana jarak antara kedua kaki, bagaimana takbiratul ikhram yang benar, apakah bersalaman setelah sholat itu halal atau haram dan sebagainya, yang pada hakikatnya substansi dari sholat itu bukan hanya di wilayah materi saja. Pada akhirnya, perdebatan-perdebatan seperti itu malah menggugurkan substansi kekhusyukan sholat masing-masing individu.
Hendra menambahkan, bahwa tema kali ini merupakan sambungan dari diskusi yang muncul di bulan lalu terkait pertanyaan-pertanyaan dari jama’ah sendiri, sehingga Cak Nun pun menyarankan agar bulan ini menghadirkan Kiai Muzammil yang kebetulan sudah menyusun Kitab Fiqih Muzammili. Menegaskan kembali apa yang disampaikan oleh Cak Nun bulan lalu, Hendra menuturkan apa yang terjadi dan apa yang dialami oleh masyarakat saat ini juga dikarenakan perangkat sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak sesuai. Bertambahnya kendaraan yang tidak dibarengi dengan peningkatan mutu dan kualitas jalan raya berakibat pada trotoar-trotoar yang akhirnya digunakan untuk jalan bagi pengguna sepeda motor ketika macet.
Keresahan-Keresahan
Dalam dialog interaktif, beberapa jama’ah pun mengungkapkan kembali keresahan-keresahan terkait situasi dan kondisi nyata yang mereka alami di sekitar mereka, yang bisa jadi sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah fiqih yang ada. Tetapi, dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, mereka seakan-akan tidak memiliki pilihan lain. Ada yang menganggap bahwa menggunakan sebuah perangkat lunak yang berlisensi palsu sebenarnya tidak ada masalah, karena toh yang dirugikan hanya berupa materi saja. Perusahaan developer pembuat perangkat lunak tersebut hanya dirugikan dari sisi materi saja, toh nyatanya produk mereka tidak kemudian lantas ditinggalkan oleh konsumen karena banyaknya lisensi illegal yang bertebaran. Produsen-produsen perangkat lunak tersebut justru setiap tahun terus berinovasi. Ada juga yang menanggapi bahwa terdapat solusi lain dengan menggunakan perangkat lunak berbasis open source, meskipun dengan cara ini masyarakat harus menjalani proses yang dimulai dari awal lagi. Ada pula yang menanggapi, mungkin awalnya menggunakan perangkat lunak dengan lisensi bajakan, tetapi kemudian usaha dan bisnisnya berhasil, hingga akhirnya dia mampu membeli perangkat lunak yang berlisensi asli.
Begitu juga dengan kondisi ketika seseorang yang mendaftar menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan menyuap orang-orang yang memiliki pengaruh di sebuah Departemen, apakah kemudian gaji yang dia terima mutlak menjadi haram seumur hidup selama dia bekerja di tempat tersebut? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Sejatinya kita tidak tahu apa yang terjadi di kemudian hari, bisa saja orang yang mendaftar menjadi PNS dengan cara-cara kotor seperti itu kemudian dia mengakui apa yang dilakukan itu salah kemudian bertobat, apakah status penghasilannya juga tetap haram?
Terhadap kondisi-kondisi semacam itu masyarakat kita tidak mampu memahaminya dan mempelajarinya secara detail. Dan, di Maiyah sendiri, Cak Nun menekankan bahwa jangankan menyatakan diri kita atau orang lain itu kafir atau sesat, justru sebenarnya untuk menyatakan diri kita ini muslim saja belum tentu pantas! Karena, hanya Allah kelak yang memiliki hak prerogatif untuk memberikan penilaian itu.
Menutup sesi Prolog, Agus Susanto dan Fahmi Agustian menginformasikan sekaligus memperkenalkan kepada Jama’ah Kenduri Cinta sebuah kepengurusan yang baru saja terpilih pada saat Musyawarah Lengkap Kenduri Cinta bulan lalu. Kata Agus, proses Musyawarah Lengkap pada agenda tersebut forum memilih nama-nama kandidat untuk menjadi pengurus formatur Komunitas Kenduri Cinta yang sebenarnya tidak ada satupun yang mencalonkan diri. Semua yang terpilih adalah orang-orang yang murni dipilih oleh jama’ah yang hadir di Musyawarah Lengkap saat itu. Jangan dibayangkan bahwa yang terpilih saat itu harus beradu visi dan misi atau bahkan berkampanye agar dipilih menjadi pengurus. Bahkan, untuk mencalonkan diri pun, tidak ada yang berani.
Fahmi Agustian lalu menambahkan penjelasan dari Agus, bahwa Kenduri Cinta adalah sebuah komunitas yang sangat cair, meskipun ada struktur kepengurusan, bukan berarti Kenduri Cinta harus mengikuti aturan main organisasi mainstream pada umumnya. Fahmi mengibaratkan bahwa seperti sebuah mobil, agar mobil itu dapat digunakan tentu harus ada yang menjadi sopirnya, harus ada yang merawatnya, harus ada yang mengisi bensinnya, harus ada yang rutin membawa ke bengkel untuk di servis mesinnya dan seterusnya. Seperti itulah Komunitas Kenduri Cinta. Harus ada leader yang memimpin penggiat Kenduri Cinta agar forum bulanan ini terlaksana, harus ditentukan siapa yang bertugas untuk membikin poster, harus dipilih siapa yang berkomunikasi dengan pihak Taman Ismail Marzuki, siapa yang menghubungi pihak tenda dan sound system, siapa yang memasang baliho, sampai siapa yang menggelar karpet dan seterusnya. Inilah salah satu fungsi dari struktur kepengurusan Komunitas Kenduri Cinta.
Fahmi juga menekankan pentingnya menghidupkan budaya dokumentasi berupa literasi. Budaya tulis menulis yang sudah sangat menurun di Indonesia perlu ditumbuhkan kembali. Kenduri Cinta yang merupakan satu dari sekian simpul Maiyah Nusantara memiliki tanggung jawab moral terhadap budaya literasi di lingkungan Maiyah Nusantara, terlebih lagi salah satu hasil dari Pertemuan Penggiat Simpul Maiyah di Magelang akhir tahun lalu adalah pengumpulan data dari masing-masing simpul Maiyah terkait dengan sejarah Maiyah itu sendiri. Karena, selama ini mayoritas jama’ah Maiyah hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut, minim informasi tertulis, sehingga apabila cuplikan-cuplikan sejarah itu tidak segera didokumentasikan, dikhawatirkan kelak terjadi penyampaian informasi yang tidak tepat kepada generasi yang akan datang terkait Maiyah.
Maiyah tidak lahir secara tiba-tiba. Maiyah lahir bukan karena Cak Nun membikin sebuah forum kemudian langsung besar dan dihadiri oleh banyak orang. Segelintir saja yang tahu persis bagaimana Cak Nun merintis Maiyah hingga akhirnya gegap gempita seperti malam ini. Fahmi pun menceritakan sedikit bagaimana Cak Nun dulu berkeliling ke kampung-kampung pasca Reformasi 1998 untuk menghidupkan kembali sholawatan, hingga kemudian lahir forum-forum seperti Kenduri Cinta, Gambang Syafaat, Bangbang Wetan dan simpul-simpul lain yang sebelumnya diawali dengan Padhangmbulan di Jombang dan Mocopat Syafaat di Yogyakarta.
Kembali ke soal literasi, Fahmi menambahkan, bahwa sejak awal Februari 2016 Cak Nun sudah mulai kembali menulis di website Caknun.com, dimana tulisan-tulisan tersbeut adalah tulisan yang masih segar dan belum pernah dipublikasi di media manapun atau dicetak oleh penerbit manapun. Artinya, jama’ah maiyah sudah sepatutnya merasa terpanggil untuk juga ikut menjaga nilai-nilai Maiyah dengan cara mendokumentasikan proses-proses yang dia alami ketika di Maiyah itu sendiri.
Dari Fahmi, Donny lalu menambahkan tentang data dan informasi Kenduri Cinta. Saat ini begitu banyak sekali akun-akun yang mengunggah secara liar konten video Kenduri Cinta di Internet tanpa sepengetahuan pengurus Komunitas Kenduri Cinta. Menurut Donny, bukan soal boleh atau tidak untuk mengunggah video tersebut, tetapi yang terjadi di internet adalah akun-akun tersebut memanfaatkan video-video Maiyahan untuk keuntungan pribadi dengan memberi judul yang tidak relevan dengan Maiyahan yang mana tujuan mereka hanya untuk mengejar jumlah pengunjung di kanal mereka. Donny menyampaikan, bahwa Kenduri Cinta ini ada tuan rumahnya, ada yang mengurusnya, ada yang bertugas mempersiapkan forumnya, bahkan ada yang menyusun reportasenya secara lengkap. Dan akun-akun yang mengunggah video itu di internet seperti tidak punya sopan santun kepada teman-teman penggiat yang sudah mempersiapkan forum Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki ini. Tanpa meminta izin atau konfirmasi, mereka mengambil konten Kenduri Cinta untuk kemudian dimanfaatkan demi keuntungan pribadi. Donny menambahkan bahwa teman-teman Kenduri Cinta terbuka untuk menerima jama’ah Kenduri Cinta yang ingin serius mengolah dokumentasi video Kenduri Cinta, karena juga untuk memperkuat literasi.