Mumpung Padhang Rembulane

Sore hari menjelang senja. Saya memasuki halaman lokasi pengajian Padhangmbulan. Seperangkat alat musik KiaiKanjeng tertata rapi di atas panggung. Tulisan cukup besar terpampang: Padhangmbulan, Mumpung Padhang Rembulane. Ada yang baru. Kalimat “Menata Hati Menjernihkan Pikiran” berganti “Mumpung Padhang Rembulane.”

Senja berkemas menyiapkan malam. Bapak-bapak KiaiKanjeng dan Letto tiba di Mentoro saat adzan maghrib berkumandang. Jamaah Padhangmbulan mengalir memasuki jalanan desa. Pasar rakyat ala padhangmbulanan bahkan sudah digelar sejak sore hari. Ketika malam sudah menyempurnakan dirinya, saat itu pula “prasmanan” majelis ilmu dimulai.
Setelah Bapak Abdullah Qoyim bertadarus Al Quran, Letto dan KiaiKanjeng membuka acara. Dialog bersama jamaah dipandu oleh Pak Jijit. Di Padhangmbulan atau majelis ilmu Maiyah yang berjalan rutin atau temporal, selalu berlangsung komunikasi yang terbuka, egaliter, nyantai seraya tetap menjaga kedalaman subtansi dan keluasan cakrawala. Tidak ada dahi berkerut. Tertawa pun lepas: tertawa untuk menertawakan diri sendiri.
Sesi awal dialog tertuju pada Letto. Bagaimana proses kreatif untuk mencipta lagu? Bagaimana Letto menyikapi industri teknologi musik yang kerap dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi tanpa taren atau ijin kepada pencipta lagu? Hingga simulasi black-magic yang melibatkan jamaah.

Semua kegembiraan itu bukan tanpa pendaran-pendaran ilmu. Misalnya, menjawab pertanyaan: bagaimana Letto apa sikap Letto terkait cover version lagu yang kian marak di media sosial? Bagaimana pula jika sop buntut yang dilakukan seseorang itu hasilnya digunakan untuk kegiatan yang positif?
Mas Sabrang tidak serta merta menyodorkan jawaban ya atau tidak. Diajaknya jamaah menalar setahap demi setahap. Kegiatan positif yang dimaksud itu pengertiannya apa? Positif menurut siapa? Skalanya bagaimana? Rumusan positif dipandang dari sudut sebelah mana? Dan muara semua pertanyaan itu adalah mengapa pelaku sop buntut tidak taren terlebih dahulu kepada si pencipta lagu? Berembug bersama untuk merumuskan apa kegiatan positif yang dimaksud merupakan bentuk tanggung jawab etika bebrayan.
Kata kuncinya adalah rembug bareng sehingga terjalin sikap saling ngajeni dan menghargai. Sikap yang semakin luntur terutama sejak media sosial menjadi wadah berekspresi yang nyaris tidak dipandu oleh tata nilai kemanusiaan yang bermartabat.
Tepat pukul 22.00 WIB dialog KiaiKanjeng, Letto dan jamaah ditutup dengan shalawatan yang dipandu oleh Mas Islamiyanto. Dari sisi kanan panggung jamaah berdiri rapat—sangat-sangat rapat dan padat. Mas Luthfi menyibak barisan jamaah. Mbah Nun berjalan pelan di antara jamaah yang menyemut. Beliau menyambut tangan-tangan jamaah yang mengajak bersalaman. Shalawat terus mengalun.

Mbah Nun sudah pinarak di atas panggung. Sontak suasana menghening ketika surat Al-Fatihah dibaca bersama. Pengantar awal disampaikan Mbah Nun untuk menambah keteguhan dan keyakinan bersama bahwa kita sudah beriman pada tuhan yang tepat, yakni Allah Swt. Memilih nabi yang tepat: nabi yang memiliki kesempurnaan nubuwah dan risalah, yakni Muhammad Saw. Mendapatkan kitab yang tidak hanya berisi informasi, ajaran dan ilmu, tetapi juga hidayah dan kasih sayang, yakni Al-Qur`an.
Mbah Nun mengajak jamaah membaca surat Ar-Rahman. Setiap tiba pada ayat fabiaayyi aalaa-i rabbikuma tukadz-dzibaan, jamaah diminta untuk membacanya bersama. Ayat yang mengingatkan kita supaya menjadi hamba yang bersyukur. Peneguhan rasa syukur atas nikmat mana lagi dari Sang Maha Pengasuh yang hendak kita dustakan? Nikmat mumpung padhang rembulane mana lagi yang akan kita ingkari? (Achmad Saifullah Syahid)