Grojokan di Telaga Ilmu

Tema Padhangmbulan, “Mumpung Padhang Rembulane”, mengingatkan saya pada lirik lagu Lir-Ilir. Imaji-konotatf langsung bergerak: terbayang suasana alam desa di malam hari. Di bawah terang bulan purnama, bocah-bocah bermain obak dhelik, patelele, sonda. Sementara para orangtua menggelar tikar di halaman, membicangkan tema hidup sehari-hari. Santai sumeleh pada Yang Maha Memiliki Hidup.

Tidak sama persis memang dengan adegan kegembiraan bocah-bocah dusun beberapa puluh tahun lalu ketika rumah-rumah masih diterangi oleh lampu oblek atau setrongking. Namun, kegembiraan Mumpung Padhang Rembulane juga mewarnai watak dialog Letto, KiaiKanjeng dan jamaah malam itu. Di tengah perbincangan Mbah Nun bersama para tamu di ndalem kasepuhan Mentoro, beliau menanggapi: “Mereka sedang sungguh-sungguh bahagia. Sampai besok pagi pun mereka akan betah.”
Betah sampai pagi, itu tidak diragukan lagi. Namun, paket-paket acara tersusun cukup rapat. Bukan sekadar harus menghitung waktu—jamuan ilmu Mumpung Padhang Rembulane, menurut Mbah Nun, disajikan secara prasmanan. Jamuan makan prasmanan selain ditentukan oleh jenis ragam masakah, juga dipengarahui oleh bagaimana kita menikmatinya. Harus pas, tidak boleh berlebih-lebihan, apalagi kemaruk.
Maka, analogi racikan kopi yang digunakan Mbah Nun untuk menjelaskan keseimbangan komposisi, takaran, dan ukuran sungguh tepat. Dalam kesadaran titik imbang itu kita menemukan nikmat yang sesungguhnya. Bukankah hidayah untuk istiqomah dalam keseimbangan adalah nikmat dari Tuhan? Fabiayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan.
Keseimbangan yang disampaikan Mbah Nun di sesi awal itu seakan menjadi “ayat” dan panduan akan bagaimana dialog yang dihadiri oleh sejumlah tamu dan kawan-kawan Cak Fuad berlangsung.

Tetes: Grojokan Telaga Ilmu
Dari sisi panggung saya menyaksikan jamaah benar-benar rapat di segala sisi dan pojokan. Sentono Arum disterilkan khusus untuk tamu dan kawan-kawan Cak Fuad. Bahkan halaman depan masjid hingga ndalem kasepuhan nyaris tidak tersisa ruang yang longgar.
Saya kembali fokus kepada tugas yang harus saya jalani: membaca Tetes satu sampai lima. Sungguh berat tugas yang saya ketahui ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Saya mengirim pesan kepada Cak Nang, siapa tahu ada keringanan dan bebas tugas: “Cak, saya dapat tugas membaca Tetes. Pripun?” Cak Nang yang selalu fast-respon menjawab: “Bismillah, Mas.”
Seraya ngeprint lembaran Tetes, saya kembali membacanya, berulang-ulang, sambil semampu-mampunya wushul kepada Mbah Nun. Dalam sekaligus luas, cair sekaligus padat, teknis sekaligus filosofis, bumi yang melangit, langit yang membumi. Satu yang dua, tiga, empat hingga sepuluh. Namun, yang sepuluh itu men-satu, men-dua, men-tiga, dan seterusnya. Ataukah memang demikian watak sebuah tonggak bagi anak cucu, sebagaimana Mbah Nun menyatakannya—tonggak untuk pegangan, gondelan, tambatan di tengah suasana zaman yang semakin “kizroeh?”
Saya merasa ini lebih dari Tetes. Bahkan tetesan pertama, Satu dari Sepuluh, adalah sebuah grojokan yang menghilir menjadi telaga ilmu. Kita rasakan saja getaran, nuansa, hawa, cakrawala, dan kebeningan muatan tauhidnya.
Tetes: Satu dari Sepuluh. Meskipun Maiyah adalah mataair yang dicurahkan dari langit ke suatu titik di tanah Indonesia, tetapi ia diperuntukkan hanya bagi hamba-hamba yang di dalam dirinya terdapat jiwa yang segelombang dengan amr dan irodah Maha Ruh sumber mataair itu, melalui garis syafaat kekasih-Nya Muhammad saw.

Dan saya harus membaca semua kandungan itu lengkap bersama kelemahan dan keterbatasan saya untuk menampungnya. Amr dan irodah yang tidak sanggup saya hindari. Ya sudah, bismillah saja. Yang benar-benar meringankan tugas tersebut adalah tulisan Mbah Nun, baik dibaca dalam hati maupun dibaca dengan suara keras, selalu enak dan pas. (Achmad Saifullah Syahid)