CakNun.com
Daur-I53

Begini Ini Indonesia?
Begini Ini Negara?

Akhirnya Tonjé dan Kasdu pun kembali ke keluarganya. Tinggal rumah hitam Patangpuluhan, tenggelam ke lubuk terdalam di lautan kesunyian.

Pas mereka mau pergi, Sapron, seorang yang sejak awal tinggal di Patangpuluhan dibawa oleh Markesot dari dusun, muncul. Ketika teman-teman Markesot berkumpul, Sapron tidak tampak. Begitulah masyarakat rumah hitam Patangpuluhan, tidak punya akhlak, datang tidak permisi, pulang tak pamit.

Siapa Sapron?

Kalau Markesot lenyap ke mana, semua berpikiran mirip-mirip. Yaaa di sekitar mengejar Kiai Sudrun.

Siapa Sudrun? Lapisan-lapisan tertentu masyarakat Patangpuluhan bertanya-tanya.

Kiai Sudrun? Kiai?

Belum pernah jelas Sudrun itu Kiai apa. Guru ngajinya dulu, atau Mursyid thariqatnya, atau orangtua yang mengasuh Markesot di masa kanak-kanak. Yang paling mendekati kebenaran kelihatannya ya mereka berdua adalah sahabat sesama gelandangan.

Seorang warga rumah hitam asal Madura, dulu, pernah mengatakan hati-hati kepada sebutan Kiai. “Jangan samakan dengan Ulama”

Dia menjelaskan kalau sebutan Ulama itu berdasarkan kualifikasi ilmu dan akhlak seseorang, dan yang melegalisasikan keulamaan seseorang adalah Tuhan sendiri. Tapi kalau Kiai, asal seseorang disebut Kiai oleh sekumpulan manusia, atau bahkan oleh hanya seorang, maka ia sah menjadi Kiai. Bahkan tidak hanya seseorang, segala sesuatu bisa digelari Kiai: hewan, benda, pohon, keris, akik, gamelan, dan apa saja.

Jadi jangan terpesona kepada Kiai Sudrun. Jangan dimistik-mistikkan, diklenik-klenikkan, diseram-seramkan, dihantu-hantukan, dijin-jinkan, diwali-walikan, apalagi dimalaikat-malaikatkan.

***

Markesot mencari Kiai Sudrun itu mungkin sekedar peristiwa psikologi biasa. Peristiwa konsultasi, atau urusan tanya jawab pengetahuan yang normal-normal saja. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ternyata Kiai Sudrun itu khayalan Markesot belaka. Markesot meracuni orang-orang di sekitarnya dengan bisik-bisik khayalan tentang seorang tokoh misterius.

Mungkin Markesot sudah memuncak frustrasinya. Keadaan sudah semakin darurat, tapi kok sampai hari ini tidak ada instruksi apa-apa ke Markesot.

Perintah? Perintah untuk apa? Untuk mengatasi keadaan? Untuk mengamuk? Untuk triwikrama? Untuk menggalang massa dan memaksakan Revolusi? Untuk menggulingkan Pemerintahan?

Atau untuk seperti dulu melaksanakan Ilmu Sirep kepada Raja agar ia legowo untuk lengser? Untuk menggedor pintu-pintu, gedung-gedung, kantor-kantor dan Istana, membentak, menggeram, berteriak, memekik, dan merombak secara hampir total semua tatanan ini dari kekacauan yang makin menjadi-jadi?

Apakah Markesot sedang bermimpi mengumpulkan jutaan orang, diajak mengangkat tangan, menengadahkan kepala, membuka lebar telapak tangan mereka ke langit, kemudian di langit tiba-tiba tertera tulisan:

“Begini ini Indonesia?”

Markesot menggerutu seolah sedang menjawab tulisan di langit:

“Ratusan tahun aku mengenali Indonesia, dan yang begini ini bukanlah Indonesia”

“Indonesia adalah anak bungsu Bangsa Indonesia. Tapi Indonesia yang ini bukanlah Indonesia yang saya kenal sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh Bangsanya”

Kalau lembaran tulisan ini bermurah hati memberi ruang, maka tidaklah cukup untuk memuat festival gerutuan Markesot.

“Bangsa yang begini bukanlah bangsa Indonesia. Manusia yang begini, bukanlah manusia Indonesia. Tata kelola alam dan kehidupan yang begini, bukanlah tata kelola Indonesia. Kebudayaan dan peradaban yang begini, bukanlah kebudayaan dan peradaban Indonesia”

Mosok begini ini Negara?”

“Yang akarnya begini, bukanlah akar Negara. Yang batang pohonnya begini, yang dahan rantingnya begini, yang daun dan bunganya begini, bukanlah Negara. Maka tidak begini pulalah buah yang dihasilkan oleh tata Negara”

“Negara kok dikuasai oleh Pemerintah yang diupahnya. Negara kok dimiliki oleh pejabat-pejabat yang digajinya”

“Pemerintah kok mengaku mereka adalah Negara”

“Rakyat kok bawahannya Pemerintah. Rakyat kan pemilik tanah air, yang mendirikan Negara dan mempekerjakan Pemerintah”

Kemudian suara Markesot sedikit mengeras, meskipun tetap dalam lingkup gerutuan dan mimpi ke dalam dirinya sendiri:

“Wahai Bangsa, bangunlah dari tidur lelap akal pikiran kalian. Keluarlah beramai-ramai dari penjara besar yang mengurung kalian. Jebollah tembok-temboknya”

***

Tetapi memangnya siapa Markesot?

Kalau sesekali dunia menoleh kepada Markesot, dunia sinis bergumam: “Who do you think you are?”

Bisa apa dia? Nunggu-nunggu dawuh seolah-olah dia kakang-kawahnya Ratu Adil. Seakan-akan dia Master of Civilization. Lagaknya seperti Pendekar Zaman.

Coba tanyakan kepada Sapron, yang sudah hidup mengawal Markesot hampir 40 tahun: apa yang pernah dicapai oleh Markesot selama rentang waktu itu? Apa prestasinya? Apa reputasinya?

Dia pikir Negeri Khatulistiwa ini akan hancur kalau tidak ada dia. Disangkanya Bangsa Khatulistiwa ini ada yang mengenalnya. Memang ada sih sedikit-sedikit samar-samar sesekali terdengar nama Markesot. Tetapi ia bukan siapa-siapa. Markesot bukan faktor.

Markesot benar-benar sama sekali bukan faktor.

Tetapi Sapron hafal, jangan sampai pernyataan seperti ini terdengar oleh telinga Markesot, sebab itu akan menjadi peluang baginya untuk berpanjang-panjang menjawabnya, bahkan memperlebar-lebar argumentasinya.

“Kalau Nabi Musa memukulkan tongkatnya dan lautan terbelah, menurut kalian faktor utama peristiwa itu adalah Nabi Musa ataukah tongkatnya?”

Jangan pancing Markesot untuk berceramah.

“Bukan kedua-duanya. Nabi Musa, apalagi sekedar tongkatnya, adalah sekedar alat dari faktor yang menjadi asal-usul dan pencapaian peristiwa laut terbelah itu. Hanya alat. Hanya pelengkap penderita. Bukan subyek utama. Subyek utamanya adalah Sang Maha Faktor”

Jangan kasih panggung kepada Markesot.

“Banjir penenggelam dua pertiga Bumi bukan karya Nabi Nuh. Hujan meteor, super-gempa, badai pelibas peradaban, bukanlah bikinan Nabi Luth. Nabi Ibrahim tidak sakti sehingga tak terbakar api, dan bukan Ibrahim pula yang memasukkan seekor lalat ke dalam kepala Raja Namrud, dan membuat lalat itu menghuni kepalanya selama 400 tahun”

Jangan menyia-nyiakan waktu dan energi hidupmu dengan membukakan peluang kepada Markesot untuk menyiksa telingamu.

“Masyarakat yang mendustakan ajaran Allah yang diperintahkan untuk disampaikan oleh Nabi Sholeh, pada hari Kamis mendadak berwarna kuning wajah mereka. Jumatnya berubah merah. Sabtu esoknya menghitam pekat, sebelum dilindas dan dimusnahkan seluruhnya pada hari Minggu. Nabi Sholeh bukanlah tukang sulap agung melebihi Houdini atau Chris Angel yang bermain-main warna pada wajah manusia”

Lainnya

Hati Yudhistira dan Mripat Srikandhi

Hati Yudhistira dan Mripat Srikandhi

Tulisan ini merupakan kata Pengantar untuk buku Wajah-Wajah Berbagi Kegembiraan: 400 Drawing Karya Vincencius Dwimawan.
Mengatasi Keburukan dengan Hati yang Bijaksana

Mengatasi Keburukan dengan Hati yang Bijaksana

Kadang-kadang, tindakan bijaksana adalah dengan mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri kita sendiri dari kemungkinan bahaya lebih lanjut. Pengampunan bukan berarti memberikan izin kepada orang lain untuk terus merugikan kita.