CakNun.com

Drama Mlungsungi #37

Edo Nurcahyo

Mas Edo Nurcahyo, Pimpinan Produksi pementasan drama MLUNGSUNGI ini, lahir di Yogyakarta pada 28 Mei 1960. Sejak 1979, Mas Edo tak pernah lepas dari panggung teater di Yogyakarta. Sejak masuk Teater Muslim pimpinan Pedro Soedjono, yang kemudian bergabung dengan Teater Alam pimpinan Bang Azwar AN (alm.), Mas Edo terus menempa diri berlatih dan berproses. Dari sinilah Ia menemukan jatidirinya sebagai seorang Penata Artistik yang andal.

Tahun 1986, Mas Edo melawat ke Kuala Lumpur dalam Festival Seni Asia. Bersama Bang Azwar AN mendirikan Teater Serumpun, yang beranggotakan Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Philipina.

Lepas 1987, Mas Edo meninggalkan Yogyakarta mengembara di Jakarta. Di sana berkecimpung di dunia film dan sinetron. Ia pernah terlibat dalam proses pembuatan film: “Satria Bergitar”, “Aryo Penangsang”, “Sunan Kalijaga”, dll. Sedang dalam sinetron: “Nyi Mas Mirah”, sinetron pertama yang diproduksi TVRI Yogyakarta, naskah oleh Alex Soeprapto Yudo (alm.), sutradara F. Rahardi (alm.), Mas Edo menangani special effect, dan “Siti Nurbaya”. Di samping itu, Ia juga menulis skenario film: “Diantara Dua Kutub” (dibeli oleh TPI). Mas Edo sempat mengajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) era 90-an.

Tahun 1996, Mas Edo turut mendukung Gelar Budaya Rakyat di Seksi Musik bersama Sapto Rahardjo (alm.) dan Felix Dodi Yulianto (Blass). Di tahun itu juga bersama Teater Alam membuat pementasan berjudul “Trilogi Sopochles” (Oedipus Rex, Oedipus Colonus Anthigone). Pentas selama 7,5 jam tersebut disutradarai oleh Azwar AN di Purna Budaya Bulaksumur Yogyakarta (sekarang Gedung PPKH). Dalam pentas fenomenal tersebut, Mas Edo tidak hanya ada di balik stage, tetapi juga ikut bermain dan berperan sebagai “Gembala” (key story).

Selepas 1996, Ia lebih intens pada pementasan-pementasan atau produksi seni tradiri. Salah satunya melahirkan gagasan: “Pentas Seni Tradisi Sepanjang Tahun” bersama Taman Budaya Yogyakarta (TBY); salah satu penggagas adanya “Pasar Kangen Jogja” di TBY; penggagas Pameran “Tarman Tarkam” (Antar Teman Antar Kampung), dan penggagas beberapa pameran seni rupa di TBY, termasuk salah satu penggagas Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa “Nandur Srawung”.

Memasuki tahun 2000-an, Mas Edo aktif berada di balik keberadaan Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong Djokjakarta, Teater Ongkek, termasuk menghidupkan kembali Kethoprak Tobong bersama Nano Asmorodono, membina Sanggar Seni KEPRAK Jogja bersama Bayu Saptomo. Hingga sekarang, Mas Edo tak pernah surut dalam pembinaan berbagai kesenian yang ada di DIY.

Di masa pandemi di mana tak banyak pementasan bisa dilakukan oleh para seniman, bersama beberapa teman lain seperti Godor Herman Widodo dan Vincensius Dwimawan, Mas Edo berinisitaif aktif menyambangi dan bersilaturahmi kepada sesama seniman khususnya kepada para senior dan sesepuh termasuk bersilaturahmi kepada Bang Azwar AN. Melihat giat dan semangatnya dalam bersilaturahmi inilah, maka pada acara Reriyungan Konco Dulur Lawasan di Rumah Maiyah Yogyakarta 21 November 2021, Bang Azwar AN mendapuk Mas Edo sebagai pimpinan produksi pementasan drama MLUNGSUNGI di mana sejarah, ide, dan konsepnya dimatangkan dalam pertemuan Reriyungan di Rumah Maiyah tersebut.

Naskah MLUNGSUNGI yang ditulis Cak Nun ini buat Mas Edo mengingatkan perlunya perenungan baru. “Kita harus kembali, dengan pandangan atau pemikiran baru. Sesama seniman harus saling menghargai, saling menolong. Jangan ada gap-gap lagi ke depan,” tegas Mas Edo.

Lainnya

Drama Mlungsungi #35

Drama Mlungsungi #35

Ia lahir di Yogyakarta pada 21 Januari 1962. Bakat seninya sudah tampak sejak SMP, walaupun pada saat itu olahraga sepakbola juga digelutinya. Malahan Ia sempat menjadi satu dari lima remaja yang lolos seleksi pemain tim embrio PSS Sleman kala itu. Sang Ayah ingin dia menekuni sepakbola, tetapi kesukaannya pada musik/band juga tak bisa ia kesampingkan. Dilematis. Sampai pada satu titik, ketika melihat performance main bolanya tidak bagus (karena saatnya harus istirahat di rumah sebelum pertandingan, malah nge-band), sang Ayah memintanya memilih antara sepakbola atau musik.

Masa sekolah di SMAN 6 Yogyakarta kemudian mempertegas dunia yang akan dikecimpunginya. Di sekolah ini, Ia dipercaya oleh teman-temannya untuk menjabat sebagai seksi kesenian OSIS. Ia pun ikut dalam grup band atau apapun saja kegiatan seni yang ada kaitannya dengan SMAN 6, salah satunya adalah grup band DePaster yang merupakan singkatan dari ‘Depan Pasar Terban’. Kemudian aktif dalam Teater SIMA (wadah Teater SMAN 6 Jogja). Di sini, Ia bertugas membuat musik ilustrasi. Dan di sini pula, Ia menyadari bahwa tidak semua pemusik mampu membuat musik ilustrasi untuk teater, operet, dan yang sejenis. Selain kemampuan memainkan alat musik, dibutuhkan pula jiwa teater.

Pada masa bersama Teater SIMA itulah Ia bertemu dengan kelompok-kelompok teater sekolah, dan bahkan berlanjut hingga setelah lulus sekolah dalam berbagai festival. Sembari berkuliah di Jurusan Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, perkembangan selanjutnya di dunia seni, dia bertemu dengan Djadug Ferianto (alm.) dan ikut mendirikan kelompok musik KUA ETNIKA, kemudian terlibat dalam pementasan drama Pak Kanjeng karya Cak Nun, dan pada 1993 masuk ke kelompok musik KiaiKanjeng hingga saat ini. Selain itu, selama belasan tahun, Pak Bobiet, demikian sapaan akrab pemain keyboard KiaiKanjeng ini, juga menggarap ilustrasi musik berbagai program acara TVRI Jogja. Salah satu yang legendaris adalah serial drama “Mbangun Deso”.

Selama hampir tiga puluh tahun bersama KiaiKanjeng, Pak Bobiet telah melanglang buana ke berbagai belahan nusantara dan beberapa benua di dunia menjumpai beragam masyarakat dalam berbagai konteks. Salah satu yang paling berkesan tentunya adalah saat perjalanan ke Mesir pada 2003, di mana dia bersama Cak Nun dan teman-teman KiaiKanjeng lain berhasil napak tilas perjalanan Nabi Musa naik ke puncak Bukit Tursina.

Kali ini, pada pementasan drama MLUNGSUNGI, Pak Bobiet dipercaya menjadi salah satu pemusik bersama lima orang pemusik lainnya. Baginya, naskah MLUNGSUNGI sangat kontekstual dengan era sekarang dan ke depan. Dengan pendekatan MLUNGSUNGI, menurutnya, negara bisa dilihat sebagai punya lapisan-lapisan yang bila dikuak akan terlihat apa yang sebenarnya lebih dominan melekat padanya.

Drama Mlungsungi #36

Drama Mlungsungi #36

Susah… Senang… Jatuh… Bangun….

Itu adalah sebuah proses kreatif. Sebuah perjalanan yang mesti dibayar untuk sebuah hasil. MLUNGSUNGI adalah peristiwa di mana perjumpaan jiwa-jiwa yang kosong dipenuhi dengan energi positif yang sangat luar biasa. Banyak serangkaian pengetahuan yang bisa didapat dalam proses ini, terutama keikhlasan hati untuk menjadi ‘ajur’ dan ‘ajer’. Tidak ada ‘aku’ ataupun ‘kamu’ tapi semua menyatu menjadi ‘kita’.

Harin Sumonah sebagai Baginda Abyad