CakNun.com

“Mikul Dhuwur” Sanad dan Nasab Kesenian, Menuju “Kelahiran”

Liputan Sarasehan Mikul Dhuwur Bapak Tertib Suratmo, 22 April 2018

“KELAHIRAN” malam ini. Apa sebelum kelahiran? Mikul duwur nasab dan sanad. Sebelum lahirnya kebaruan-kebaruan, jiwa-jiwa muda dengan nilai-nilai yang lebih segar dengan nafas yang lebih membara, maka baiknya hampir wajib untuk kita melacak sanad dan jalur nasab, merawat kebaikan dari pendahulu, menghargai capaian sesuai zaman sebelumnya.

Dengan mikul dhuwur begitu barulah generasi muda akan bisa “mendem jero“, berperjalanan ke dalam. Sehingga ‘yang baru’ bisa terlibat dalam proses penciptaan gelombang sejarah di hari depan dengan kedalaman, keliaran, keberanian, kemurnian dan otentisitas yang progresif.

Nasab dan sanad tidak sekadar soal jalur keilmuan, tapi juga jejak nuansa. Kita mudah melacak jejak keilmuan manusia-manusia besar di zaman dahulu. Kalau bicara agamawan, katakanlah pemikiran dan ide-ide Mbah Hasyim Asy’ari atau Kiai Ahmad Dahlan, melalui kitab-kitab mereka. Ilmunya tentu berharga, tapi bagaimana kisah-kisahnya? Bagaimana bentuk majelisnya, seperti apa lingkungan sekitar beliau-beliau itu?

Siapa-siapa yang jualan wedang ronde atau jualan kopi di sekitar pengajian beliau? Siapa yang menghidangkan minum? Bagaimana pola komunikasi antar yang terlibat? Belum ada smartphone dan socmed tentu saja ya.

Juga misal, bagaimana kenakalan-kelincahan beliau semua mengolah persolanan masyarakat? Itu semua, dan banyak hal lain, adalah bangunan nuansa yang jarang sekali terwariskan. Sehingga ilmu cenderung beku belakangan, generasi penerus pun jatuh pada mitologisasi. Kesenian di satu sisi, selain ada unsur keilmuannya juga lebih banyak bekerja dengan nuansa. Maka tidak terwariskannya jejak nuansa beresiko hilangnya arah para pekerja seni generasi muda.

Padahal kesenian menurut Mbah Nun pada acara siang tadi, adalah wilayah di mana bisa dan masih terjadi tarik ulur antara keluar dan ke dalam, mana kiri mana kanan, materi dan immateri, dan segala pengkutuban lain. Ini berbeda dengan dunia politik dan ekonomi yang langsung tanpa tedeng aling-aling mengadopsi sistem pola pikir dari luar–bahkan term Republik, bahkan konsepsi negara, tata niaga, apalagi hukum dan perundang-undangan–tanpa mempertanyakan. Kita tidak bisa mengulangi kesalahan yang sama lagi.

Berbagai lintas generasi tumplek blek memenuhi Rumah Maiyah sejak siang hari pada 22 April 2018. Dua gerobak angkringan berjejer, menyediakan makan dan minuman gratis. Para pelintas zaman berkumpul bercengkerama satu sama lain. Dari hal semacam beginilah seringnya nasab dan sanad nuansa terwariskan pada generasi-generasi baru.

Terutama karena ini adalah acara diskusi budaya dengan tajuk “Mikul Dhuwur”, yang ‘dipikul’ secara khusus saat ini adalah sosok Pak Tertib Suratmo. Namun tanpa terasa, para generasi muda juga ikut mikul nduwur semua sesepuh-sesepuh mereka. Dan tidak hanya yang berpotongan seniman (kita mesti berdamai dulu dengan stereotype mainstream-nya, seniman adalah; gondrong, jeans belel dan jarang mandi). Yang mambu-mambu mall juga ada. Gadis-gadis berjilbab lebar sampai jilbab gaul juga banyak. Macam-macam, ternyata selain lintas generasi juga beraneka ragam hayati yang terlibat dan menikmati berlangsungnya acara.

Pak Tertib Suratmo, cerah wajahnya di usia yang telah sepuh. Baju koko putih dengan (tampaknya) peci Maiyah corak coklat. Pas dan serasi. “Saya terharu, pertemuan sore hari ini membuat saya bahagia. Selain karena bertemu teman-teman lama. Terharu! Senang!”

Pak Tertib Suratmo pun deras mengalirkan kisah-kisah beliau, mengenai awal keterlibatan dalam dunia teater, masuk Bengkel Teater hingga sejarah nama “Tertib” di depan nama beliau. Tentu dalam kisah-kisah itu, nama-nama dari masa lalu dipanggil, dikenang, dimesrai kisahnya sebagai manusia.

Seperti kalau seorang mursyid mau mewariskan amalan atau lelaku, tentu sanad amalan mesti disapa. Bahwa belakangan sanad ilmu jadi sekadar legitimasi wacana kebenaran, ya itu kan memang zaman sedang porak-poranda pemahamannya. Susah membedakan mana kemesraan mana kebenaran, mana etika mana estetika. Kemesraan seperti Pak Jemek yang karyanya sudah mendunia, tanpa ragu menghidangkan minum untuk saudara-saudaranya dalam acara tersebut.

Di tengah acara, Bang Azwar AN (saya terlalu muda untuk memanggil Bang, jadi Mbah saja) sebagai sesepuh dan salah satu pendiri Bengkel Teater juga datang. Betapa sempurna kemesraan nasab dan sanad ilmu kesenimanan kali ini. Rasanya belum pernah terjadi di mana-mana. Mbah Nun langsung menyambut dengan penuh penghormatan.

“Yang sangat menarik dari Emha buat saya, Emha adalah pemerhati para seniman di Jogja”, kata Mbah Azwar. Memang para seniman sepuh berkumpul bersama siang itu. Mbah Azwar kemudian menambahkan, “Kalau Emha lama di luar kota, rasanya Yogya ini seperti timpang.”

Lainnya

Umbu sebagai Sastrawan, Manusia, dan Siluman

Umbu sebagai Sastrawan, Manusia, dan Siluman

“Malam ini sesungguhnya kita sedang belajar keluasan. Bahwa hidup tidak selalu seperti apa yang kita pahami.” Demikian kalimat Mbah Nun saat sesi sarasehan, sesi akhir dalam launching buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung Umbu Landu Paranggi.