CakNun.com

Dialog “Mlungsungi”, Memijat “Lidah” Kita Semua

Hormat dan terimakasih tak sudah-sudah kepada Mbah Nun. Beliau di usia 68 tahun masih berkenan menuliskan naskah Drama Mlungsungi yang dimainkan oleh 3 generasi teater Yogyakarta sebagai wujud reriyungan persaudaraan kemanusiaan.

Foto: Adin (Dok. Progress).

Saya menyaksikan pagelaran tersebut (16/4/2022) dalam pengajian Padhangmbulan di Menturo Sumobito Jombang. Sebuah pengajian yang digagas oleh Cak Nun sejak lama dengan formula mempersilakan siapa saja boleh hadir: tak peduli bajunya apa, agama dan sukunya apa, setan atau jin, apalagi teater, musik, serta puisi.

Maka betapa indahnya Padhangmbulan malam itu atas hadirnya para pemain teater lintas generasi dari Yogya yang mempersembahkan Drama “Mlungsungi” kepada puluhan ribu jamaah yang hadir. Pementasan di ruang terbuka itu berjalan lancar, tanpa hujan dan gerimis sedikit pun.

Kepada sahabat saya yang duduk di sebelah, saya berbisik: “Yang datang ke sini ini manusia semua. Lihatlah kanan kiri depan belakang. Siapa yang menyuruh mereka datang? Ini ayat Tuhan. Sudah gitu, usai acara aman semua, baik kendaraan dan lalu lintas. Seolah-olah semuanya berjalan secara silent dan tidak diketahui oleh Indonesia….”

Wah, bahasa saya “koyok-koyok o” saja. Tapi memang begitulah yang saya rasakan. Sudah lama Mbah Nun meninggalkan ingar-bingar dunia popularitas. Bahkan beliau menyebut dirinya menempuh jalan sunyi. Sebuah jalan yang tidak marketable dan enggan di tempuh kebanyakan orang.

Bahkan saya menduga Mbah Nun juga sudah lama meninggalkan dunia kritik. Manusia di sebelah mana yang hari ini bisa dikritik? Keyakinan merasa paling benar dan tak bisa salah begitu tingginya sehingga mana mungkin bisa dikritik atau dinasihati. Bahkan terhadap fenomena merasa diri paling benar ini, saking begitu mantapnya sampai-sampai tanpa ragu di-share di medsos dan di mana-mana.

Memang naskah garapan Mbah Nun bisa dipastikan mengandung kritik terhadap fenomena sosial. Apalagi ini judulnya saja “Mlungsungi”. Jelas mengajak ke sebuah arah perubahan untuk senantiasa lahir kembali alias mlungsungi sebagaimana kulit ular yang mlungsungi berganti kulit yang lebih baru. Mlungsungi bisa ditarik ke wilayah budaya, agama, serta sosial dan politik.

Namun apakah benar Mbah Nun sedang mengkritik? Bisa saja demikian, namun kesan saya lebih melihat Mbah Nun sedang menanam berbagai macam ide dan gagasannya serta doa dan harapan-harapan yang entah kapan akan tumbuh. Bahasa yang sering disampaikan Mbah Nun: terserah Allah kapan kabulnya atau kapan tumbuhnya.

Kalau meminjam istilah Mbah Nun tentang “ilmu lidah” bahwa pedas adalah pedas, manis adalah manis, pahit adalah pahit, semuanya tergantung lidah seseorang. Maka, “Mlungsungi” menjadi kritik atau hidayah kembali kepada kesehatan “lidah” masing-masing orang.

Dengan bahasa lain: semakin buta, tuli, dan bisu “lidah” (baca: hati dan pikiran) seseorang, jangankan pagelaran Drama “Mlungsungi”, ceramah-ceramah, hingga kitab suci dan hamparan semesta ini dianggap “tak ada rasa” alias hampa, kosong serta sia-sia belaka.

Dan sajian dialog demi dialog dalam Drama “Mlungsungi” yang disutradarai oleh Jujuk Prabowo, Fajar Suharno, Meritz Hindra berserta 90-an orang pemain ini, merupakan dialog “pijat-memijat” agar “lidah” kita kembali semakin sehat wal afiat dalam merasakan mana pemimpin, mana Tuhan, dan mana iblis.

Kalau semua “dituhankan”, marilah kita segera “mlungsungi” dari kesadaran semacam itu.

Lainnya

Perayaan

Perayaan

Beberapa tahun silam.

Sebelum Covid-19 melanda, bulan Agustus lazim dipenuhi dengan pesta perayaan.