CakNun.com

Drama Mlungsungi #18

Keandalan keaktorannya sudah kita kenal dan kita acungi jempol. Selalu memukau setiap kali membawakan peran utama yang dipercayakan kepadanya. Sebut misalnya pada “Sengkuni2019”, Mas Joko Kamto, sosok yang satu ini, memerankan tokoh Sengkuni dengan sangat bagus. Seperti kita tahu, Mas Joko juga adalah salah seorang pemain musik KiaiKanjeng.

Mas Joko Kamto lahir pada 9 Februari 1959. Ia mengenal teater sejak tahun 1975 di kampung Dipowinatan lewat Teater Dipo pimpinan Tertib Suratmo, kemudian bergabung di teater Dinasti sejak 1977. Selebihnya, Mas Joko belajar di berbagai grup seperti Gandrik, Burdah Teater, Teater Majnun, Titian, Perdikan Teater, Teater Rakyat, dan beberapa gruup lainnya. Mas Joko belajar secara otodidak, tidak melalui jalur pendidikan formal.

Dalam pementasan MLUNGSUNGI ini, Mas Joko Kamto memerankan Mbah Dunung alias begawan Antogo alias Togog. Menurut Mas Joko, baru dalam naskah MLUNGSUNGI ini Togog, Semar, dan Bethara Guru bersatu reriyungan mengayomi, mengasuh anak cucu bangsa Nusantara secara bareng-bareng, tidak sendiri-sendiri. “Bethara Guru di Kahyangan, Togog pamong kopi ksatria berwatak jahat, dan Semar kepada ksatria berwatak baik. Dan ini menarik,” tuturnya.

Lainnya

Aplaus Panjang Jamaah Padhangmbulan

Aplaus Panjang Jamaah Padhangmbulan

Kerja besar dan kerja keras seluruh pemain dan tim pendukung “Mlungsungsi” yang berjumlah 90-an orang tak hanya berhenti pada pementasan pada 25 dan 26 Maret di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), tetapi terus berlanjut pada rencana pementasan-pementasan selanjutnya. Hanya berselang 20 hari dari pementasan pertama di TBY, mereka sudah pentas lagi. Kali ini di pengajian kerakyatan Padhangmbulan Menturo Sumobito Jombang pada 16 April 2022.

Sangat berbeda dalam banyak sisi dengan pementasan di TBY, Pementasan “Mlungsungi” di Padhangmbulan berlangsung dalam suasana enjoy, bahagia, penuh apresiasi dari belasan ribu jamaah dan penonton yang hadir. Area terbuka pengajian Padhangmbulan yang notobene bersifat kerakyatan memungkinkan belasan ribu jamaah dan penonton untuk datang dan menyaksikan. Apalagi mereka duduk lesehan, tak seperti di dalam gedung yang memakai kursi.

Duduk lesehan ini mendorong mereka bukan sebagai penonton individual, melainkan satu kolektivitas. Mereka duduk bareng satu sama lain, ada interaksi di antara mereka, ada kesadaran bahwa mereka adalah satu kesatuan kebersamaan yang siap menikmati dan menyaksikan pementasan yang langka ini. Sehingga, dialog atau pesan-pesan yang disampaikan melalui para pemain “Mlungsungi” jadi benar-benar mendapatkan audiens yang gayung bersambut, nyambung, hidup. Komunikasi di mana pesan-pesan tersampaikan sangat terasa.

Respons-respons para jamaah dan penonton sangat sering muncul dalam tawa yang pecah manakala ada dialog yang mengundang tawa mereka. Bahkan ketika Prabu Durgoneluh muncul, gerakan dan posturnya saja (belum berbicara), sudah langsung membuat mereka gerrr dan paham siapa yang sedang direpresentasikan oleh Prabu Durgoneluh. Alhasil, Reriungan Teater Yogyakarta yang beranggotakan lintas generasi dan lintas latar belakang kesenian ini di Padhangmbulan tidak sedang berhadapan dengan penonton yang duduk individual di kursi gedung teater, melainkan dengan sebuah ‘masyarakat’, yakni masyarakat yang dalam nikmat kebersamaannya siap menyaksikan drama “Mlungsungi”, siap menerima, mencerna, merespons, dan mengapresiasi.

Sepanjang tiga jam lebih durasi pementasan “Mlungsungi” ini, mereka semua penuh atensi dari awal hingga akhir. Layar proyektor sebanyak empat yang dipasang di jalan juga penuh jamaah. Baik yang mendapat tempat di area depan panggung maupun yang tersebar di beberapa sisi dan jalan, semuanya penuh perhatian dan menikmati pementasan hingga akhir. Saat pementasan berakhir aplaus panjang membahana untuk seluruh pemain dan pendukung “Mlungsungi”.

Belasan ribu jamaah dan penonton yang datang pun membawa limpahan berkah bagi para penjual makanan dan minuman dll. yang membuka warung di pinggir-pinggir jalan. Laris manis jualan mereka. Bahkan ada di antara penjual yang mengaku capek berdiri karena melayani pembeli yang tak habis-habis. Hal yang tak terjumpai pada pementasan di gedung teater. Pementasan “Mlungsungi” malam itu tak hanya menyuguhkan drama, cara berpikir, dan kandungan doa untuk Indonesia, tetapi juga ikut memacu berputarnya berkah ekonomi dari masyarakat untuk masyarakat.

Keluarga, panitia, dan keluarga besar jamaah Padhangmbulan sangat bersyukur dan berterima kasih diberi ilmu dan pengalaman baru melalui drama kolosal “Mlungsungi”. Pementasan “Mlungsungi” ini adalah pementasan kemandirian. Tidak terkait pemerintah, lembaga swasta, dll. Pendanaannya “cukup besar” dan cukup ditopang oleh Mbah Nun secara mandiri dan berdaulat.

Drama Mlungsungi #28

Drama Mlungsungi #28

MBAH BAYAN :

Ideologi manusia di dunia sekarang ini merebut manusia dari Tuhan dan Tuhan disingkirkan dari manusia sejak masa Renaissans. Dan itulah peradaban panutan Nusantara sampai sekarang. Bagi bangsa Nusantara, Demokrasi dan Industri lebih akbar dari Tuhan.