CakNun.com

Warthasastra

Kenduri Cinta
Waktu baca ± 6 menit

WARTHASASTRA adalah sebuah portmanteau, gabungan dari kata warta (kabar), artha (harta), sastra (seni/disiplin), dan arthasastra (seni mengatur dunia). Aslinya, Arthasastra adalah sebuah karya klasik dari peradaban India klasik di era 4-3 SM, yang digubah oleh Resi Kautilya, penasihat Raja Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Sebagai sebuah magnum opus, Arthasastra dipandang setara dengan Ping Fa (Art of War) gubahan Sun Tzu dari peradaban Tiongkok klasik yang berisi seni perang, seni menang, seni menaklukkan, dan seni berkuasa.

Dari situ, istilah Warthasastra dibentuk sebagai respons terhadap realitas kontemporer, yang kini sudah jarang merujuk pada fakta objektif. Lebih sering, ia adalah versi resmi yang direstui oleh kuasa yang tak lagi bekerja lewat pedang atau tembakan. Ia bergerak melalui informasi yang dikomodifikasi: buzzer digital, narasi media, dan konten viral yang mengaburkan batas antara benar dan palsu. Inilah senjata baru dalam seni memerintah: ruling by deception.

Dalam realitas semacam ini, fakta, realita, dan kebenaran tidak selalu sejalan. Realita bisa jadi tidak faktual. Fakta bisa jadi tidak riil. Yang benar sering kali tidak diperbolehkan muncul. Di tengah kabut manipulasi, kita butuh ruang yang tak tunduk pada logika komodifikasi informasi. Ruang di mana “keterangan” bukan alat untuk menindas, tapi cahaya yang membebaskan. Salah satunya adalah Majelis ‘Ilmu Muhammad Ainun Nadjib, yang tumbuh bukan untuk memberi jawaban final, tapi mengajak menyelam ke lapisan tersembunyi dari realitas.

Tipu daya masif ini bermula dari komersialisasi dan saturasi informasi. Warta membanjir setiap detik, opini bertebaran di timeline media sosial, seolah, kita sedang menyaksikan realitas utuh. Namun, yang muncul dalam berita atau video viral sering kali hanyalah bayangan dari ruang-ruang tertutup, bukan wajah utuh sebuah peristiwa. Yang tersembunyi di baliknya sangat jarang tampak di konten hari ini. Namun, justru di situlah esensi dari informasi: tidak berhenti pada apa yang terlihat, tetapi pada apa yang ada di baliknya.

Cak Nun menyebut lapisan tersembunyi ini sebagai arus bawah. Ia tidak muncul di headline, tidak viral, tidak mudah di-share. Namun, ia yang menentukan. Konsep ini dikenal pula dengan sebutan lain, seperti deep politics, hidden curriculum, atau silent structures. Semua istilah ini menunjuk pada hal yang sama: selalu ada dimensi lain di balik apa yang bisa kita lihat dan dengar.

Informasi yang sampai kepada kita—tentang masa lalu, hari ini, bahkan diri sendiri—hampir tak pernah murni. Ia selalu disaring, disusun oleh narasi, atau dibelokkan oleh kepentingan. Beberapa struktur ini telah berjalan ratusan tahun, tersembunyi di balik institusi, media, bahkan cara kita belajar.

Membangun kesadaran atas ketidakmurnian informasi tersebut harus dimulai dari yang paling dekat. Dalam tulisan bertajuk Realitas Sejarah sebagai Aktor (dimuat dalam buku Surat kepada Kanjeng Nabi, 1996: hlm. 123), Cak Nun mengingatkan betapa rumitnya memahami konflik antar-tetangga di kampung. Siapa yang benar-benar bersalah? Siapa yang hanya marah sesaat? Siapa yang diam-diam digerakkan oleh pihak ketiga? Jika salah paham bisa terjadi di lingkup sekecil itu, bagaimana dengan konflik nasional atau pertarungan geopolitik global?

Kita sering menyaksikan bagaimana informasi yang dipotong sebagian lalu disebarluaskan tanpa konteks aslinya. Sebuah cuplikan singkat bisa dengan cepat beredar luas di berbagai platform digital. Rekaman itu mungkin berasal dari situasi yang sama sekali berbeda, namun ketika disajikan ulang dengan narasi baru, ia menciptakan kesan yang menyesatkan. Dalam waktu singkat, banyak orang mulai mengambil sikap berdasarkan versi yang telah terdistorsi itu. Perdebatan pun merebak, bukan atas fakta yang utuh, melainkan atas bayangan yang dibangun dari potongan informasi yang tak lengkap.

Ini bukan kebetulan. Ini desain. Media massa dan algoritma digital hari ini merupakan hasil evolusi dari platform media cetak pada era sebelumnya. Sebenarnya tidak ada pola baru yang terbentuk, melainkan sekadar mempercepat proses lama. Konflik direduksi menjadi konten. Emosi dikomersialisasi menjadi komoditas ekonomi. Yang dipentingkan bukan solusi atas persoalan, tetapi clickbait dan durasi tontonan. Lihatlah bagaimana kasus korupsi besar bisa tenggelam dalam satu-dua minggu, digantikan tren remeh-temeh: perceraian selebriti, pertengkaran influencer, atau meme politikus. Algoritma tidak butuh keadilan. Ia butuh interaksi. Semakin marah, semakin lama menonton, semakin tinggi profit. Di sinilah letak bahayanya: kita mengira sedang peduli, padahal hanya dikendalikan oleh desain algoritma yang tak terlihat.

Dari sini, kita perlu mengingat kembali bahwa kata informasi berasal dari akar Latin informare, yang berarti “memasukkan ke dalam bentuk” atau “membentuk persepsi”. Tujuannya bukan selalu kebenaran, melainkan keseragaman cara pandang. Ini berbeda dengan konsep keterangan dalam tradisi Nusantara, yang selalu dikaitkan dengan terang: cahaya yang tak mungkin lahir dari kezaliman. Meskipun di era Orde Baru sempat ‘diselewengkan’ dalam struktur institusi negara bernama Departemen Penerangan.

Keterangan muncul ketika niat dan tujuan selaras dengan keadilan. Ia seharusnya berasal dari sumber yang tulus, seperti yang dipantulkan para nabi, pewaris nabi, para wali, atau intelektual yang tak menjual suaranya demi kepentingan sesaat. Perbedaan ini bukan sekadar linguistik, tetapi filosofis. Satu membentuk opini, satunya lagi membuka jalan menuju terang.

Maka, tidak mengherankan jika terminologi yang dipakai untuk menyebutkan sang pembawa informasi adalah Nabi, dari kata naba’a yang artinya ‘memberitakan’ atau ‘memberitahu’ sesuatu yang penting dan esensial. Bukan kata khobar yang artinya serupa namun merujuk pada berita, informasi, atau cerita yang umum.

Sejak tahun 1970-an, Cak Nun telah menghasilkan keterangan yang melampaui sekadar informasi. Tulisannya memiliki ciri otentik, menyentuh kesadaran historis sekaligus kemungkinan futuristis, sehingga kerap kali memiliki relevansi yang tinggi bahkan puluhan tahun setelah ditulis. Kualitas ini tercipta bukan karena penggunaan teknik penulisan yang canggih, tetapi salah satunya  karena didasari oleh fondasi kejernihan pikiran dan kerendahan hati dalam melihat berbagai persoalan.

Cak Nun tidak pernah menyajikan kesimpulan dogmatis di awal. Ia malah menggunakan metode dekonstruktif untuk membongkar dogma yang tidak lagi relevan. Pendekatannya bukan khotbah satu arah, apalagi dilandasi baiat kesetiaan. Ia menghidupkan tradisi sinau bareng—pembelajaran bersama yang egaliter. Dari pengamatan, dialog, perenungan, lahir ketajaman intelektual, kearifan spiritual, dan keseimbangan emosional. Output-nya bukan keputusan, tapi karakter Rahman Rahim Yang Maha Ada.

Pendekatan ini serupa dengan filosofi doa iftitah: “Wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas-samaawaati wal-ardh” (menghadapkan diri kepada yang menciptakan langit dan bumi). Ini adalah langkah logis yang bertujuan membuka jalur pencarian yang otentik, bukan sekadar sebuah deklarasi keimanan yang membatasi pikiran. Tujuannya bukan untuk mendorong orang percaya tanpa kritis, melainkan untuk membimbing mereka agar mampu melihat jauh lebih dalam.

Namun, gagasan sekaliber itu pun harus diuji ulang. Tidak semua yang disebut “keterangan” benar-benar bebas dari bias. Tafsir agama, misalnya, sering kali lahir dari konteks zamannya. Tetapi hari ini, banyak orang memilih tafsir yang paling sesuai dengan emosinya, bukan yang paling mendalam akarnya. Akibatnya, agama seringkali hanya menjadi alat legitimasi politik, bukan sumber informasi yang digunakan untuk mewujudkan kedamaian atau kebijaksanaan.

Musibah terbesar di zaman modern ini adalah kenyataan bahwa kita rajin sekali membaca. Tapi kita berhenti pada perintah “Iqra” (Bacalah) tanpa melanjutkannya dengan “bismi rabbikallażī khalaq” (Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan) dan ayat-ayat berikutnya yang memiliki kesinambungan dan kerangka logis untuk terus dilanjutkan.

Padahal, perintah untuk membaca tidak pernah terpisah dari panggilan untuk memahami ciptaan—termasuk langit, bumi, jiwa, sejarah, dan sistem yang menggerakkan dunia. Jika pemahaman tentang penciptaan ini hilang, kita hanya sibuk mengumpulkan data dan informasi, namun gagal memahami tatanan yang mendasarinya.

Kita sering merasa sedang berpikir secara kritis, padahal kita hanya mengulang narasi yang kebetulan “terdengar masuk akal” atau “membangkitkan emosi”. Inilah yang disebut sebagai pendangkalan intelektual: mengambil alih suatu pemikiran tanpa menguji relevansi, akar filosofis, maupun dampak dari pemikiran tersebut. Banyak perdebatan publik saat ini yang hanya berputar di permukaan, seperti ikan yang berenang di air dangkal, tanpa pernah mencoba menyelam hingga ke dasar sungai, danau, atau samudera kehidupan yang lebih dalam.

Lawan dari kebiasaan ini tidak sekadar membaca lebih banyak, melainkan sinau bareng, meragukan bersama, dan menggali arus bawah realitas. Tradisi semacam inilah yang hidup dalam Majelis ‘Ilmu Muhammad Ainun Nadjib sebagai tempat mempertanyakan kembali segala jawaban yang dianggap final.

Dulu, akses informasi ke sumber primer seperti kitab suci atau teks klasik hanya dipegang oleh otoritas kaum ulama, Brahmana, skolar, atau pendeta. Rakyat biasa terlalu sibuk mencari nafkah. Era Informasi hari ini membuka akses yang nyaris tanpa batas untuk siapapun dan dimanapun. Namun ironisnya, hanya mereka yang terpelajar yang benar-benar bisa memahaminya.

Hari ini, teknologi informasi memberi ilusi demokratisasi pengetahuan. Namun kenyataannya, hanya mereka yang memiliki daya kritis yang mampu menembus formasi informasi. Mayoritas manusia tetap menjadi konsumen pasif—mudah diarahkan, mudah dikendalikan. Bukan karena mereka bodoh, tetapi karena sistem tidak dirancang untuk membuat mereka waspada. Algoritma bekerja cepat, sementara refleksi butuh waktu.

Maka, pertanyaan dan diskusi penting yang harus diusung hari ini  bukan lagi sekedar pada bagaimana menghadapi, merespons, dan menyiasati era informasi, tetapi bagaimana melatih dan membangun manusia informasi. Fokusnya bukan pada teknologinya, tools-nya, hardware-nya, atau software-nya, tetapi pada manusia sebagai sumber, pembawa, pengolah, penerima dan penanggung jawa atas dampak yang ditimbulkan oleh informasi.

Shifting focus ini penting karena membangun kemajuan teknologi informasi secanggih apapun, tanpa komitmen dan upaya sungguh-sungguh untuk membangun manusianya, hanya berdampak fatal pada musibah kemanusiaan multidimensi yang berakar pada fenomena disinformasi dan misinformasi.

Di sinilah ruang seperti Majelis ‘Ilmu Muhammad Ainun Nadjib menjadi relevan bukan sebagai solusi instan, melainkan sebagai laboratorium hidup—tempat manusia dilatih untuk tak mudah percaya pada permukaan, tak takut meragukan arus utama, dan terus mengasah kemampuan membaca arus bawah realitas dengan integritas spiritual dan intelektual.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Kerangka Kesadaran Kebon Jannatunna’im

Kerangka Kesadaran Kebon Jannatunna’im

Semoga teman-teman telah tuntas membaca Kebon Jannatunna’im. Dari tulisan itu kita dapat menyaksikan cara pandang dan struktur berpikir yang menopang keseluruhan bangunan gagasannya.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid

Topik