Ketika Angka Lebih Nyaring daripada Rakyat

Di China, ketika Mao mengumumkan Biarlah seratus bunga mekar, biarlah seratus pikiran bersaing, yang terdengar adalah undangan pada kebebasan. Tetapi tak lama setelah itu, bunga-bunga yang mekar dianggap racun, dan kebun harus dipangkas oleh satu tukang kebun. Sejarah politik kerap begitu: janji taman berubah jadi ladang eksekusi.
Namun Mao muda lain ceritanya. Pada awal dua puluhan, ia bukan pemangkas bunga, melainkan pemimpi yang ingin mempertemukan Lao Tse dengan Karl Marx. Ia merumuskan paradoks yang indah sekaligus berbahaya: “Imajinasi adalah pikiran, masa kini adalah masa lalu dan masa depan, yang banyak sesungguhnya satu, dan perubahan adalah keajegan.” Pada saat itu hanya ada enam puluh orang Komunis di China, tak lebih banyak dari satu kelas sekolah. Di tengah angka yang remeh itu, seorang anak muda berani menyatukan puisi kuno dan teori revolusi modern.
Mungkin di situlah tragedi politik dimulai: antara imajinasi yang ingin menyatukan, dan kekuasaan yang ingin menyingkirkan. Mao yang masih hijau berbicara tentang keajaiban perubahan sebagai hukum yang abadi. Mao yang matang memerintahkan keseragaman sebagai kebenaran tunggal.
Dan kita, jauh dari Tiongkok, mendengar gaungnya hingga hari ini. Setiap bangsa pernah jatuh pada godaan yang sama: takut pada bunga-bunga yang tumbuh di luar barisan. Demokrasi menjanjikan pluralitas, tetapi siapa yang berkuasa selalu tergoda menjadi tukang kebun tunggal.
Apakah ini hanya cerita tentang Mao? Ataukah ini tentang kita semua — setiap kali kita menolak kenyataan yang tak sesuai dengan bayangan kita, dan dengan diam-diam berharap hanya ada satu bunga, bunga kita sendiri, di taman sejarah?
Empat puluh tahun kemudian, revolusi merebut kekuasaan dan Mao berdiri di puncaknya. Sejarah seperti memutar kembali janji lama: pintu-pintu istana yang pernah tertutup bagi rakyat kini didobrak. Perempuan, yang berabad-abad dipaksa berjalan terpincang dengan kaki yang dilipat oleh tradisi, kini melangkah bebas. Sebuah keadilan yang terasa seperti kemenangan kecil, tapi sesungguhnya monumental.
Dan di taman-taman kota, papan itu dicabut. Papan yang dulu berdiri dengan kata-kata yang kejam: “ORANG CHINA DAN ANJING DILARANG MASUK.” Dengan satu revolusi, rasa hina yang diwariskan kolonialisme tersapu bersih. Bagi rakyat jelata, tak ada metafora yang lebih kuat selain bisa masuk ke taman kota dengan kepala tegak.
Namun sejarah bukan dongeng yang berakhir bahagia. Bunga-bunga yang diundang untuk mekar pada akhirnya kembali dipangkas. Imajinasi yang dulu dijunjung, dijadikan ancaman. Kekuasaan yang semula membebaskan berubah jadi kekuasaan yang mengurung.
Itulah paradoks yang digarisbawahi Eduardo Galeano: revolusi bisa menyingkirkan papan hinaan dari taman, tapi tak pernah bisa menghapus papan baru yang dipasang oleh penguasa berikutnya. Tulisan di papan mungkin berbeda, tapi esensinya sama: “Hanya mereka yang sesuai dengan garis resmi boleh masuk.”
Lalu pertanyaan yang menunggu kita hari ini: di negeri kita sendiri, papan-papan itu masihkah berdiri? Tidak selalu tertulis terang, tapi terasa: siapa boleh bicara, siapa harus diam; siapa boleh masuk, siapa harus menunggu di luar pagar sejarah.
Revolusi itu mengubah seperempat umat manusia — angka yang membuat dunia tertegun. Dalam satu generasi, desa-desa yang tak pernah mengenal listrik mulai bicara tentang rencana lima tahun. Mao berdiri di sana, tidak menyembunyikan keberbedaannya dengan Stalin.
Bagi Stalin, kontradiksi adalah gangguan, kesalahan mesin yang harus segera diperbaiki. Hidup harus berjalan dalam garis lurus, tanpa suara lain, tanpa lengkung-lengkung liar sejarah. Tetapi Mao, setidaknya di awal, melihat kontradiksi sebagai napas: tanda bahwa sejarah sedang bergerak, bahwa ada angin yang mendorong perahu.
Inilah simpul paradoksnya: revolusi yang lahir dari kontradiksi, pada akhirnya sering ingin membungkam kontradiksi baru. Mao muda menyebut perubahan sebagai keajegan, tetapi Mao tua menjadikan perubahan sebagai kecurigaan.
Kita dihadapkan pada dilema yang sama. Apa yang disebut “gangguan” hari ini — kritik, oposisi, perbedaan — apakah bukan justru bukti kehidupan? Sejarah mungkin bertanya pada kita: lebih mirip Stalin, yang ingin meniadakan riak, atau Mao yang dulu percaya bahwa riak itu tanda air masih mengalir?
Mao berkata: “disiplin yang mengerdilkan kreativitas dan inisiatif harus ditiadakan.” Kalimat itu terdengar seperti musik baru di tengah orkestra yang dipaksa memainkan nada tunggal. Ia juga berkata: “ketakutan bukan solusi. semakin kau takut, semakin banyak hantu yang mengerumunimu.” Kalimat ini, diucapkan dari mulut seorang revolusioner, seolah hendak membebaskan seluruh rakyat dari jeruji tak kasatmata yang bernama rasa gentar.
Dan lalu lahirlah slogan yang kini tercatat dalam buku sejarah: “Biarkan seratus bunga mekar, biarkan seratus pikiran berkembang.” Sebuah undangan kepada perbedaan, seperti pintu gerbang yang mendadak dibuka, membuat orang-orang berani bicara dengan suara sendiri.
Tetapi bunga itu tidak berumur lama. Di tangan kekuasaan, janji sering berubah menjadi jebakan. Apa yang semula tampak sebagai taman kebebasan, seketika berubah menjadi kebun penyamaran. Mereka yang berani mekar ternyata hanya dicatat, ditandai, lalu dipangkas. Bunga-bunga itu dibiarkan tumbuh sebentar, hanya untuk diketahui siapa yang harus dicabut dari tanah. Sejarah menertawakan kita dengan ironi yang getir: slogan kebebasan kadang hanyalah pintu ke penjara baru.
Tahun 1957, Juru Mudi Agung itu menyalakan mimpi besar: Lompatan Jauh ke Depan. Ia berkata dengan keyakinan yang tak tergoyahkan: sebentar lagi ekonomi Tiongkok akan melampaui negeri-negeri kaya. Dunia dikejutkan, rakyat dipaksa terpesona.
Sejak itu, perbedaan dan pertanyaan dinyatakan terlarang. Angka-angka yang lahir dari birokrat menjadi kitab suci baru, meski kita tahu angka itu direkayasa demi menyelamatkan kursi masing-masing. Di atas kertas, panen padi berlipat ganda; di sawah, tikus lebih banyak daripada butir beras.
Mao hanya mendengar gema suaranya sendiri. Gema yang memantul-mantul di dinding kekuasaan, semakin lama semakin jauh dari kenyataan. Ia mendengar apa yang ingin didengarnya, dan membungkam apa yang sebetulnya perlu ia dengar.
Lompatan itu akhirnya bukan lompatan menuju langit, melainkan terjun bebas ke jurang dalam. Jutaan orang mati kelaparan. Slogan yang pernah menjanjikan “masa depan yang lebih cepat dari dunia” berubah menjadi bisu di hadapan perut kosong.
Sejarah pun menulis ironi: seorang revolusioner yang berangkat dari kepercayaan pada kontradiksi, akhirnya menolak kontradiksi. Seorang pemimpin yang bermimpi membebaskan rakyat, akhirnya terjerat oleh gema suaranya sendiri.
Ambisi tanpa telinga
Tiongkok hari ini, seperti Mao dalam Lompatan Jauh ke Depan, berjalan dengan visi tunggal. Ia menancapkan bendera pada puncak-puncak teknologi: kereta cepat, panel surya, mobil listrik. Semua seperti parade menuju masa depan. Tetapi mesin yang meraung itu tak mendengar napasnya sendiri. Overkapasitas menggunung, beban fiskal menekan. Angka pertumbuhan melambat, laba industri menyusut tiga bulan berturut-turut, pinjaman bank malah menurun untuk pertama kalinya dalam dua dekade. Sebuah mesin besar yang tampak gagah dari luar, tetapi telinganya tuli.
Konsumsi yang dikejar, rakyat yang ragu
Negara mencoba meniupkan nyawa lewat stimulus — subsidi belanja, proyek infrastruktur, pelonggaran moneter. Namun apa arti uang tunai bila keyakinan sudah goyah? Rumah tangga menahan kantong, bisnis enggan melangkah. Di bawah tanah, ketimpangan menganga, sistem pensiun rapuh, penduduk menua terlalu cepat, generasi muda bertemu dengan masa depan yang mengecil. Apa jadinya sebuah negeri yang menaruh harap pada konsumsi, ketika konsumennya tak percaya pada hari esok?
Kontrol yang menutup ruang resah — Seperti slogan Mao: “biarkan seratus bunga mekar” — yang kemudian dipangkas — ruang diskusi hari ini pun dijaga ketat. Kritik ekonomi segera disensor, laporan statistik disulap menjadi propaganda. Ekonomi yang gamang dijaga bukan dengan keberanian membuka pintu, melainkan dengan menutup jendela. Kebebasan berpendapat tidak lagi dilihat sebagai obat, melainkan penyakit.
Mesin OE, organ yang kepayahan — Otoritarianisme dulu disebut sebagai “keunggulan model Tiongkok” — mampu bergerak cepat, memutuskan tanpa debat. Tapi kini ia menjadi beban. Organ-organ sosial — pasar, wirausaha, universitas — tersengal di bawah kendali pusat. Ketika pertumbuhan menuntut improvisasi, sistem justru menekan. Model itu menjadi semacam exoskeleton: memberi bentuk, tetapi menyulitkan tubuh yang ingin membungkuk, berputar, menari.
Ketidakstabilan sosial di balik tirai — Angka hanya menunda gejolak. Frustrasi merembes ke jalan-jalan, kadang menjelma unjuk rasa, kadang meledak menjadi serangan “balas dendam terhadap masyarakat”. Ini bukan semata ekonomi, melainkan rasa: rasa bahwa janji kemakmuran hanyalah pinjaman — tidak diwariskan, tidak berakar.
Sejarah seperti sedang mengulang ironi Mao: mendengar gema suara sendiri, menutup telinga dari kontradiksi. Tiongkok hari ini bergerak seperti mesin raksasa yang dikelilingi bunga plastik — indah dipajang, tapi tak berbau, tak berakar.
Sejarah Tiongkok mengajarkan bahwa angka bisa lebih mematikan daripada peluru. Pada masa “Lompatan Jauh ke Depan”, grafik naik bukan karena hasil panen melimpah, melainkan karena birokrat takut kehilangan kursi. Realitas ditutupi laporan. Statistik jadi mantra, sementara rakyat lapar.
Empat puluh tahun, dan kini Tiongkok berdiri sebagai raksasa ekonomi. Namun bayangan masa lalu masih menyelinap: kebenaran yang tak diucapkan bisa membelokkan arah bangsa.
Indonesia pun punya cerminannya sendiri. Kita juga punya “lompatan-lompatan pembangunan” yang dipajang lewat baliho. Jalan tol, gedung-gedung, angka pertumbuhan PDB — semua berkilau, sementara kontradiksi nyata tetap menganga: kesenjangan, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pendidikan yang pincang. Pertanyaan yang tersisa: apakah kita berani melihat kenyataan apa adanya — atau kita memilih hidup dalam dongeng angka yang nyaman?
Karena, sebagaimana Mao dulu terjebak mendengar gaung suaranya sendiri, negeri ini pun bisa kehilangan arah jika lebih percaya pada angka ketimbang suara rakyatnya.[]
Nitiprayan, 28 Agustus 2025
