Massa Mengambang dalam Arus Politik: Desain Awal Orde Baru dan Warisannya
Dalam panorama politik Indonesia, desain awal Orde Baru (ORBA) memiliki dampak yang masih terasa hingga saat ini. Salah satu ciri khasnya adalah pemisahan massa dari partai politik, yang mengakibatkan mereka mengambang, bergantung pada arus yang dihembuskan oleh kekuatan ekonomi, media, dan aparatur negara.
Fenomena ini mengakibatkan transformasi besar dalam dinamika politik dan kepemimpinan di Indonesia, memengaruhi massa dalam pemilihan pemimpin dan kehilangan identitas ideologis serta kesetiaan pada partai.
Massa mengambang dalam arus politik desain awal Orde Baru menciptakan paradigma di mana massa politik dipisahkan dari partai politik mereka. Ini berarti bahwa massa tidak lagi memiliki landasan ideologis atau keanggotaan yang kuat dalam partai tertentu. Sebagai gantinya, mereka menjadi rentan terhadap pengaruh dari penguasa ekonomi, media massa, dan aparat negara. Pemimpin politik yang muncul menjadi objek dari arus ini, ditentukan oleh kebijakan, citra, dan narasi yang dikembangkan oleh kekuatan-kekuatan tersebut.
Dalam situasi di mana angin politik mendorong pemimpin yang dianggap cerdas, bijaksana, dan beretika, massa akan cenderung mendukung mereka. Namun, jika angin berubah dan meniupkan kebutuhan akan pemimpin yang tegas dan otoriter, massa juga akan mengubah preferensi mereka. Dengan demikian, massa kehilangan kemandirian politiknya, terjebak dalam dinamika yang lebih besar di luar kendali mereka.
Efek pada Identitas Massa dan Partai Konsekuensi dari mengambangnya massa politik ini adalah kehilangan identitas ideologis dan kesetiaan pada partai politik. Massa tidak lagi terikat pada visi atau misi partai tertentu, melainkan lebih cenderung untuk mengikuti arus mayoritas atau narasi yang dominan pada saat itu. Ini mengakibatkan perubahan sikap yang cepat dan tidak konsisten terhadap pemimpin dan partai, dengan massa sering kali mengalami pergeseran dalam preferensi politik mereka tanpa dasar ideologis yang kokoh.
Desain politik Orde Baru (Orba) di Indonesia mencakup aspek monolitisme ideologis di dalam partai politik, yang berdampak hingga kini. Dalam konteks ini, partai politik hanya memiliki satu ideologi dominan, yang seringkali dapat ditafsirkan ulang tergantung pada kepentingan penguasa. Hal ini memungkinkan perubahan sikap yang cepat dan terkadang drastis dari pengurus partai atau tokoh politik, serta memfasilitasi pembentukan koalisi partai yang fleksibel. Kembali, kekuatan ekonomi dan media memainkan peran penting dalam menentukan arah politik partai dan koalisi.
Monolitisme ideologis dalam politik Orde Baru Desain politik Orde Baru memandang partai politik sebagai alat untuk menyebarkan ideologi tunggal yang ditetapkan oleh penguasa. Baik itu Pancasila atau pembangunan, ideologi tersebut dapat diinterpretasikan kembali sesuai dengan kepentingan politik yang berubah-ubah. Dalam praktiknya, ini menghasilkan situasi di mana pengurus partai atau tokoh politik dapat dengan mudah mengubah posisi mereka, seringkali untuk mendukung kekuasaan yang sedang berkuasa.
Perubahan sikap yang cepat ini memungkinkan terbentuknya koalisi partai yang tidak stabil, di mana partai-partai dengan ideologi yang tidak konsisten dapat dengan mudah bergabung sesuai dengan kepentingan pragmatis mereka. Oleh karena itu, ikatan politik antara partai dan ideologi menjadi kurang jelas, lebih tergantung pada arus politik yang dihembuskan oleh penguasa ekonomi dan media.
Efek warisan dalam politik kontemporer warisan monolitisme ideologis dalam politik Orde Baru masih terasa hingga saat ini. Meskipun telah terjadi reformasi politik dan demokratisasi, praktek-praktek politik pragmatis yang diwarisi dari era Orba tetap memengaruhi dinamika politik di Indonesia. Pengurus partai dan tokoh politik masih cenderung untuk berubah-ubah dan berganti posisi sesuai dengan kepentingan politik saat ini. Koalisi partai juga sering kali terbentuk dan bubar dengan cepat, tergantung pada perubahan keadaan politik dan oportunisme politik yang berkembang.
Warisan politik dari rezim Orde Baru (Orba) di Indonesia menciptakan dinamika yang kompleks di antara para pemimpin dan elit politik saat ini. Meskipun banyak kebijakan dan praktik politik dari masa Orba yang masih diwarisi dengan semangat oleh generasi penerusnya, seringkali hal ini disertai dengan sikap penolakan atau bahkan sumpah-serapah terhadap figur-figur yang memberikan warisan tersebut. Perbandingan dengan kisah Malin Kundang memberikan gambaran yang kuat tentang hubungan yang rumit antara pewaris Orba dan warisan politiknya.
Pewarisan dengan sumpah-serapah Banyak dari warisan Orba yang masih dinikmati dengan penuh semangat oleh para pewarisnya. Kebijakan-kebijakan ekonomi, politik, dan sosial yang diperkenalkan selama masa Orba, seperti pembangunan infrastruktur dan stabilisasi ekonomi, masih dianggap sebagai prestasi yang patut dijunjung tinggi. Namun, di balik penikmatan terhadap warisan tersebut, terdapat sikap penolakan yang kuat terhadap figur-figur yang bertanggung jawab atas Orba. Para pemimpin dan elit politik masa kini seringkali terlihat malu untuk mengakui hubungan mereka dengan tokoh-tokoh Orba, seolah-olah mereka adalah anak durhaka yang menolak mengakui orang tua mereka.
Anak durhaka dan harapan untuk pemulihan sikap penolakan terhadap figur-figur Orba, seperti yang tergambar dalam kisah Malin Kundang, mencerminkan kompleksitas dalam hubungan antara pewaris dan warisan politik. Namun, ada juga tanda-tanda kesadaran dan kesediaan untuk mengakui warisan politik yang ada. Beberapa pemimpin dan elit politik mulai menyadari bahwa penolakan terhadap warisan Orba tidak akan membawa kemajuan, dan malah bisa memperkuat pola-pola politik yang tidak sehat. Dengan demikian, munculnya tanda-tanda kesediaan untuk mengakui orang tua politik mereka bisa menjadi langkah awal menuju pemulihan dan rekonsiliasi dalam politik Indonesia.
Harapan untuk pembebasan dari kutukan diharapkan bahwa dengan adanya kesediaan untuk mengakui warisan politik Orba, para pewarisnya dapat membebaskan diri dari kutukan yang mengikat mereka dalam pola perilaku politik yang tidak sehat. Dengan menerima dan mengakui sejarah politik mereka, mereka dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi Indonesia, yang didasarkan pada nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua rakyat.
Ilustrasi massa politik yang mengambang bagaikan sampah di tengah lautan memberikan gambaran yang kuat tentang dinamika politik yang terjadi di Indonesia. Bayangkanlah sekelompok sampah yang terombang-ambing di atas permukaan air, tanpa arah atau tujuan yang jelas, terpengaruh oleh arus dan ombak yang menghantam mereka.
Sampah-sampah tersebut mewakili massa politik yang terpisah dari partai politik mereka, kehilangan identitas ideologis dan kesetiaan pada partai tertentu. Mereka tidak lagi memiliki landasan yang kokoh untuk berpegang, dan akhirnya mengambang bebas di tengah lautan politik yang luas.
Ombak yang menghantam representasi dari perubahan politik yang cepat dan tidak terduga. Ketika angin politik mendorong pemimpin yang dianggap tepat, massa politik bergerak bersamanya. Namun, begitu angin berubah, mereka dengan cepat beralih ke arah yang baru, tanpa pertimbangan ideologis yang mendalam.
Lautan politik yang luas mencerminkan kompleksitas dari tantangan dan dinamika politik di Indonesia. Kekuatan ekonomi, media massa, dan aparatur negara menjadi pembentuk utama dari arus politik yang menggerakkan massa politik ini. Mereka menjadi penentu arah politik yang diikuti oleh massa yang mengambang, sementara massa itu sendiri menjadi pasif dan terombang-ambing di tengah arus tersebut.
Secara keseluruhan, ilustrasi massa politik yang mengambang bagaikan sampah di tengah lautan politik menggambarkan keadaan yang kacau dan tidak terkendali. Massa politik kehilangan kemampuan untuk mengarahkan perubahan politik, dan akhirnya menjadi alat dari kekuatan-kekuatan yang lebih besar di dalam sistem politik yang kompleks ini. []
Nitiprayan, 23 Februari 2024