CakNun.com

Internalisasi dan Sosialisasi Nilai dalam Jebakan Promosi

Harianto
Waktu baca ± 2 menit

Nilai sering hadir dalam hidup kita sebagai sesuatu yang tampak jelas dan disepakati bersama. Ia dibicarakan dalam berbagai ruang, diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, dan disebut-sebut sebagai penyangga kehidupan bersama. Namun, di balik kepastian itu, kerap muncul rasa asing: nilai terasa dekat sebagai kata, tetapi jauh sebagai pengalaman.

Dalam banyak percakapan, sosialisasi nilai sering dipahami sebagai upaya mengenalkan nilai agar dipahami dan diikuti. Nilai diharapkan menjadi bagian dari kehidupan bersama melalui pengajaran dan penjelasan. Cara ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi sering berhenti pada permukaan, pada pengenalan, belum menjangkau kedalaman batin manusia.

Manusia memiliki ruang batin yang tidak selalu tersentuh oleh penjelasan. Di ruang inilah internalisasi nilai berlangsung. Internalisasi bukan sekadar memahami, melainkan mengizinkan nilai tumbuh dan berakar dalam kesadaran. Ia terjadi perlahan, melalui pengalaman, refleksi, dan perjumpaan dengan makna hidup itu sendiri.

Ketika nilai belum terinternalisasi, ia cenderung hadir sebagai sesuatu yang berada di luar diri. Nilai dikenal, diakui, bahkan dikagumi, tetapi belum menjadi bagian dari laku sehari-hari. Dalam keadaan ini, nilai masih berada pada jarak tertentu dari suara nurani.

Pada titik inilah sering muncul kekeliruan pemahaman. Proses yang sejatinya masih berada pada tahap pengenalan kerap disamakan dengan sosialisasi nilai. Padahal, yang berlangsung lebih dekat dengan promosi nilai: nilai diperlihatkan dan diperbincangkan, tetapi belum sungguh-sungguh dialami.

Sosialisasi nilai, dalam pengertian yang lebih dalam, justru terjadi setelah internalisasi. Ketika nilai telah hidup dalam diri seseorang, ia akan hadir secara alami dalam relasi sosialnya. Nilai tidak ditawarkan sebagai ajakan verbal, melainkan hadir sebagai sikap, perhatian, dan pilihan hidup.

Kejujuran, kepedulian, dan ketekunan menjadi bermakna karena dirasakan dalam perjumpaan. Orang lain belajar bukan dari penjelasan, melainkan dari pengalaman berelasi. Nilai menyentuh bukan karena disampaikan, tetapi karena dirasakan nyata dalam keseharian.

Dalam suasana seperti ini, nilai menyebar tanpa direncanakan. Ia hadir sebagai resonansi, sebagai gema dari kehidupan yang dijalani dengan kesadaran. Sosialisasi berlangsung sebagai akibat wajar dari internalisasi, bukan sebagai penggantinya.

Ketika nilai lebih banyak dipromosikan daripada dihidupi, ia berisiko menjadi hiasan wacana. Ia tampak indah dalam bahasa, tetapi kurang meninggalkan jejak dalam perjumpaan manusia. Nilai pun perlahan kehilangan daya sentuhnya.

Mungkin yang perlu kita renungkan kembali bukanlah bagaimana memperbanyak pembicaraan tentang nilai, melainkan bagaimana memberi ruang agar nilai sungguh tumbuh dalam diri manusia. Dari sanalah sosialisasi akan menemukan jalannya sendiri—tenang, alami, dan bertahan lama. (HAR-25)

Harianto
Penggiat Maiyah. Aktif dalam berbagai kegiatan di lingkungannya di daerah Rejowinangun Kotagede Yogyakarta. Lulusan Magister Studi Islam UII Yogyakarta, sehari-hari bekerja sebagai Graphic Designer.
Bagikan:

Lainnya

Tuhan Simbolik dan Logika Kekuasaan

Tuhan Simbolik dan Logika Kekuasaan

Jika kita meletakkan fokus pembahasan pada tingkat struktur kekuasaan, bukan perilaku personal pejabat, maka menjadikan Tuhan sebagai pusat realitas dapat menghadirkan ancaman yang nyata bagi kekuasaan.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid

Topik