Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas
Salah satu pertanyaan workshop dalam Sinau Bareng di balai desa Condongcatur pada hari Jum’at malam 20 Desember 2019 menarik perhatian saya. Mbah Nun memberikan tiga pertanyaan sebenarnya, tapi kali ini saya ingin fokus pada satu pertanyaan ini.
“Hari jadi desa Condongcatur ini mengambil tema atau tagline ‘Condongcatur Untuk Semua’, sebutkan apa saja yang ingin disemuakan itu?” Mas Helmi membantu memberikan pertanyaan kepada para peserta workshop. Dalam liputan yang dibuat oleh Mas Helmi juga, kita diberi gambaran mengenai kondisi sosio-kultural Condongcatur, iya ini adalah wilayah urban yang padat. Tempat ragam bentuk bertemu dan bersua. Dan seperti lazimnya, perputaran ekonomi menderu kencang pada wilayah ini.
Kenapa saya ingin fokus pada pertanyaan ini? Mungkin begini, saya rasa ini satu pertanyaan yang jitu dan patut sekali untuk direnungkan kita bersama, tidak hanya bagi masyarakat Condongcatur. Tapi kita semua? Semua itu siapa? Ya katakanlah masyarakat planet bumi. Buset.
Pribumi Di Atas Satu Bumi Siapa Yang Asing
Urgensi pertanyaan ini akan terasa bila kita coba zoom-out sedikit pandangan kita. Bagaimana kondisi dunia pada saat ini? Bermasalah? Ya kapan tidak? Memang begitulah dunia tercipta. Cuma tepat atau tidak kita menjuruskan pandang untuk melihat permasalahan, itulah sungguh pertanyaannya.
Apa yang ingin disemuakan? Kalimat tanya itu terngiang-ngiang betul di telinga saya. Sambil duduk di sebuah bangku di barisan paling belakang, dekat tempat Om Ma’ruf berjualan, bertemu beberapa kawan. Ada cafe yang membuka stand di depan balai desa yang sedang dijadikan tempat obral buku. Saya baru saja membeli dua buah novel, salah satunya novel terjemahan The Professor karya Charlotte Bronte. Stand cafe menyajikan cold brew gula aren, satu jenis sajian kopi yang sedang marak di dunia perkopian belakangan ini. Dan beginilah malam itu saya menikmati Sinau Bareng.
Kita bisa mulai membahas pertanyaan workshop ini, dengan melihat situasi global-lokal yang saling berkelindan. Era ini kita akan melangkah pada konsep pribumi bersama di atas satu bumi. Pembagian ras dan etnis menjadi semakin tidak relevan di hadapan permasalahan dunia saat ini. Konsep dunia milik bersama adalah konsep yang menyenangkan untuk dibayangkan secara pergaulan sosial, tapi menemukan tantangan ketika terbentur pada kuasa-kuasa industri berkapital raksasa.
Komunitas manusia yang masih berkeras hati dengan eksklusivisme tampaknya akan sirna dilahap evolusi zaman. Kenapa? Karena ekosistem dunia sedang menuntut kerja sama dari banyak pihak. Survival of the fittest adalah hukum yang masih akan berlaku. Bukan survival of the strongest atau smartest. Kekuatan dan kepintaran tidak pernah jadi penentu keberhasilan kebertahanan bentuk kehidupan, tapi tingkat adaptasi pada lingkungan. Dan tampaknya eksklusivisme semakin akan tidak menemukan tempat pada ekosistem zaman sekarang.
Ini akan menyambung pada satu pertanyaan Mbah Nun malam itu juga di hadapan warga “Kenapa harus Sinau Bareng?”. Tentunya karena kompleksitas persoalan dunia sekarang menuntut agar orang mau membuka batok kepalanya dengan ide-ide yang berbeda, dengan konsep yang saling melengkapi satu sama lain. Pembaca yang budiman boleh setuju dan boleh tidak setuju, tapi bagi saya Sinau Bareng tidak hanya berbarengan antar individu namun juga antar satu budaya dengan budaya lainnya. Di sini kita perlu presisi, kita perlu tetap punya kepercayaan diri dengan bekal budaya kita namun juga menghindari rasa tinggi budaya murni yang keterlaluan, sebab dua titik ekstrem itu akan menghambat ke-SinauBareng-an kita. Karena dua hal inilah yang seringnya melahirkan ekslusivisme.
Apa pula budaya murni dan sejak kapan juga budaya adalah identitas? Budaya perlu dimaknai sebagai ide pikir yang coba kita ajukan untuk menyelesaikan persoalan. Sebab semua konsep harus teruji efektivitasnya dalam menghadapi masalah. Kalau tidak, ya sekadar konsep mengambang di ruang hampa dan kadaluwarsa. Makhluk hidup berevolusi, pun juga cara pikir, selera, daya tangkap yang kemudian juga akan jadi sistem, tatanan, hukum dan lain sebagainya. Sunnatullah evolusi tidak bisa dicegah, hanya bisa dipahami polanya bagi yang berkenan untuk berpikir.
Jadi apa yang disemuakan? Apakah karena kita menghadapi era masyarakat dunia bersama-sama lantas setiap yang asing adalah pendatang yang boleh mengeksploitasi apapun di dalam kandungan ibu bumi? Atau kita akan memilih menjadi masyarakat eksklusif yang anti asing, meyakini delusi adiluhung ketinggian budayanya dan membabi-buta mendaku pribumi lokal? Masih akan menganut nativisme? Kita akan jadi yang mana? Pertanyaan ini sangat relevan, kita akan mensemuakan hal apa dari diri kita? Diri sebagai indvidu maupun diri sebagai masyarakat. Sekali lagi, akan mensemuakan yang mana?