Ubet, Uthek, Ulet dan Keadilan Tuhan
Sedulur Maiyah tampak melingkar di teras ndalem kasepuhan. Pak Anshor dan Cak Faisal bersama keluarga serta teman-teman mahasiswa dari Rejoso Peterongan ngobrol gayeng ditemani Cak Dil dan Cak Nang. Ini pengajian rasa pasedulurannya memang tidak berubah sejak 29 tahun lalu. Aura yang tidak lepas dari nuansa mudik setiap malam padangmbulan ketika keluarga Mentoro berkumpul bersama.
Ngobrol di teras ndalem menjadi semacam “pemanasan” untuk menemukan pintu masuk, memetakan persoalan — serta, yang pasti, menata hati dan menjernihkan pikiran. Bahasan tentang asal-usul bahasa Madura, involusi umat Islam yang seperti buih ketika menghadapi serangan tapi sigap bukan main ketika berperang “ke dalam”, hingga pembicaraan tentang kesenian jamaah dan kesenian panggung menjadi obrolan yang menarik.
Lalu ketemulah pintu masuk Pengajian Padhangmbulan, Selasa, 15 Februari 2022, tentang tiga kata bahasa Jawa, yakni ubet, uthek, ulet. Ini bukan sekadar kata apalagi semacam pelajaran bahasa daerah anak-anak sekolah. Sesepuh kita, mbah buyut yang mewariskan peradaban Jawa, memberikan bukti bahwa kata bukan hanya bunyi yang tersusun dari huruf-huruf.
Inti dari semua bahasa lokal kita adalah semantik, ungkap K.R.T Manu J. Widyasěputra. Semantik bukan permainan kata-kata melainkan pemaknaan sebuah kata dalam aspek sintaksis dan pragmatik. Ternyata satu kata dalam bahasa Jawa tidak cukup dilacak melalui analisa semantik. Ahli filologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu menyatakan satu kosa kata bahasa Jawa diajarkan dengan sistem rasa.
Lantas, ada apa dengan ubet, uthek, ulet? Pada sesi pembuka pengajian Padhangmbulan Lek Hammad mengajak jamaah agar menyadari sisi-sisi kenyataan yang membuat kita tetap optimis. Yakin dan husnudhan dengan pertolongan Allah di tengah kondisi tidak menentu saat ini. Kita perlu melakukan aktivasi mental, pikiran, spiritual agar ubet, uthek, ulet-nya manusia Jawa menyala kembali.
Cak Faishol, manusia Madura, menunjukkan sikap yang lugas. “Hidup itu kan mampir ngombe,” ujarnya. “Jadi ya dijalani saja secara apa adanya. Kalau lapar ya makan, haus ya minum, ngantuk ya tidur, sakit ya berobat. Waktunya mati ya mati. Itu semua keadilan Tuhan.”
Senang bahagia, sehat sakit, kaya miskin, padang peteng merupakan pasangan (zaujani) yang menunjukkan keadilan Tuhan. Yang berpasangan antara laki-laki dan perempuan, suami dan istri, bukan hanya manusia. Setiap dinamika yang terjadi dalam kehidupan merupakan hasil kerja antar pasangan itu.
Tidak ada makhluk Tuhan yang bergerak secara mono, berdiri sendiri tanpa terlibat dialektika yang berpasangan. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS adz-Dzariyat: 49).
Tuhan pasti Maha Adil, namun, persoalannya adalah dalam diri kita terdapat gumpalan-gumpalan egoisme sehingga keadilan itu tidak tampak. Saat keinginan tercapai kita menilai Tuhan Maha Adil. Sebaliknya, saat hati sumpek, tidak punya uang, nyambut gawe angel kita merasa Tuhan tidak adil. Padahal dinamika itu menjadi bagian dari sunnatullah.
Cak Dil menegaskan bahwa orang mulai tidak menyadari ubet, uthek, ulet dalam dirinya. Alih-alih ubet, kebanyakan orang memilih jalan pintas alias shortcut. Ulet masih sering terdengar karena ia diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan ubet dan uthek tidak ada sinonimnya dalam bahasa Indonesia. Untuk itu Cak Dil mengajak jamaah menggali cerita dan pengalaman tentang ubet, uthek, ulet dalam hidup keseharian. Soal apa saja boleh: mulai pekerjaan, cari ilmu, berdagang dan lain sebagainya.
Adalah Bapak Luqman, pedagang makanan keliling antar sekolah, menceritakan pengalaman ubet, uthek, ulet-nya. Ketika pembelajaran di sekolah dialihkan ke rumah ia dihadapkan pada situasi sulit. Sekolah sepi. Ia tidak bisa berharap pada anak-anak sekolah. Ubet uthek ulet-nya Pak Luqman adalah tetap berkeliling ke sekolah-sekolah. Hingga rezeki pun datang. Ada satu sekolah yang memberikan izin ia boleh berjualan dalam area sekolah.
Hal serupa disampaikan Mas Zainal dan Isa Anshori yang ubet, uthek, ulet pada aktivitas berjualan online dan keliling menjual krecekan (bahan kerupuk yang belum digoreng). Yang menarik, tiga kata tersebut seakan-akan tidak bisa dipisah. Kendati Cak Dil kembali menegaskan kita tidak perlu memaksa setiap kata itu saling terkait. “Yang penting dan ini sederhana saja, mari kita menyadari ubet, uthek, ulet dalam setiap pekerjaan kita,” tegas Cak Dil.
Bagaimana dengan ubet, uthek, ulet orang Madura? Cak Faishol mengaku tiga kata itu merupakan warisan dari para leluhur kita. Orang Madura menerapkannya dalam hidup sehari-hari. “Yang penting uthek, terus bekerja. Ulet dan pantang menyerah. Ubet menemukan solusi,” ungkapnya.
Giliran teman-teman Lemud Samudro berbagi cerita. Dipandu oleh Cak Majid teman-teman menceritakan pengalaman meng-ubet-i, meng-uthek-i dan meng-ulet-i fadlilah mereka di bidang musik.
Benar apa yang diungkapkan Pak Manu bahwa penghayatan estetik yang terkandung dalam kosakata itu menunjukkan hubungan antar kita semua di semesta ini. Dalam estetika kata ubet, uthek, ulet tersimpan seluruh pengetahuan, etika, moral, spiritual.
Kita terus berproses, terus berjalan, terus ubet, uthek, ulet sesuai fadlilah kita masing-masing dalam naungan keadilan dan pertolongan Allah Swt.
Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashir.
Jagalan, 16 Februari 2022