CakNun.com

Sebuah “Apa”

Kita menyangka bahwa sebagai gubernur itu lebih penting dibanding sebagai manusia? Sehingga, di mana-mana pun kita adalah gubernur: di kantor, di rumah, di warung, atau jalan raya? Sehingga, kapan pun tetap gubernur?

Bahkan, kalau shalat pun harus disediakan saf terdepan dan imam tak bisa memulai sebelum sang “apa” ini hadir? Adakah Allah menerima shalat seorang gubernur di masjid, ataukah yang bersujud itu “sekadar” manusia hamba-Nya? Bukankah “shalat” seorang gubernur adalah dalam terjemahan tugas-tugas kenegaraannya sehingga kalau di masjid ia bukan gubernur lagi? Bukankah kita sering merancukan dua kedudukan ini? Sehingga, terkadang hampir tak bisa lagi menghidupi dan mempersepsikan diri sendiri selain sebagai gubernur?

Padahal, gubernur itu sebuah “apa” yang bersifat relatif dan sangat sementara. Sementara itu, sebagai manusia inilah jalanan yang lebih dekat ke keabadian, ke kefitrian, ke mata pandang Tuhan.

Lainnya

Bernilai Lailatul Qadar

Bernilai Lailatul Qadar

Di akhir penjelasannya ihwal Al-Qur`an dan Lailatul Qadar kepada penduduk kampung, Kiai Sudrun menutup, ...

Kalau

Kalau

Kalau lampumu tak bersumbu dan tak berminyak, jangan bayangkan api. Kalau gelasmu retak, jangan ...